Kisah Detil Prof Jeffrey Lang Menjadi Mualaf, Awalnya Sangat tidak Percaya Tuhan

Prof Jeffrey Lang menjadi mualaf setelah berinteraksi dengan Alquran.

Rasa ketidak percayaan Jeffrey Lang akan Tuhan bukan lahir secara tiba-tiba. Masa kecil yang sulit, penderitaan yang tak berkesudahan yang dialami ibunya membuatnya tidak percaya akan kehadiran Tuhan. Ditambah lagi dengan kekerasan dan pembunuhan, yang dengan mudah ia jumpai di depan mata, membuatnya yakin, tidak ada Tuhan di dunia ini.

“Mengapa harus terjadi kekerasan? Mengapa Tuhan menciptakan dunia yang cacat dan kejam?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya. 

Jika memang Tuhan ada, kata Lang, Tuhan seharusnya tidak membiarkan ibunya, seumur hidupnya menderita karena harus menikah dengan seorang laki-laki yang bengis. Ibu adalah seorang perempuan berhati lembut, hingga orang-orang menyebutnya sebagai orang suci.

Pertanyaan—pertanyaan dan keraguan akan Tuhan, semakin menumpuk dalam diri Jeffrey Lang. Mengapa Tuhan membiarkan yang kuat menganiaya dan menindas yang lemah? Mengapa Dia diam saja melihat kekerasan sedemikian hebat?

“Aku ingin tahu mengapa, dan aku menuntut sebuah jawaban. Aku tak peduli apakah jawaban itu datang dari surga atau neraka, dari malaikat atau setan, dari paus atau charles Manson. Aku hanya menginginkan sebuah penjelasan yang meyakinkan dan logis. Aku hanya ingin mengetahuinya kebenaran yang sebenar-benarnya.” ujar Lang dalam bukunya, ‘Aku Beriman, Maka Aku Bertanya’

Jeffrey Lang adalah seorang pakar Matematika, seorang guru besar di Universitas San Fransisco.  Jeffrey dilahirkan dalam sebuah keluarga penganut paham Katolik Roma di Bridgeport, Connecticut pada 30 Januari 1954. Namun memutuskan menjadi seorang ateis ketika berusia 16 tahun. Jika Tuhan itu ada, dan Dia punya belas kasih dan sayang, lalu kenapa ada begitu banyak penderitaan di atas bumi ini? Kenapa Dia tidak masukkan saja kita semua ke dalam surga? Kenapa juga dia menciptakan orang-orang di atas bumi ini dengan berbagai penderitaan?” 

Kisah pertemuannya dengan Islam dimulai saat dia pindah ke San Fransisco di tahun 1982 dan menjadi pengajar di sana, di usia yang masih terbilang muda, 28 tahun, Jeffrey bekerja di Universitas San Francisco (USF).

“Segera setelah bekerja di sini, aku menjalin persahabatan yang akrab dengan sebuah keluarga muslim, tiga bersaudara dari Arab Saudi. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa USF, Mahmoud, Umar, dan Regina Qandeel dua lelaki dan seorang perempuan yang semuanya berumur dua puluhan tahun,” ujar Jeffrey.

Kepada keluarga Muslim itu, Jeffrey banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang keraguannya pada keberadaan Tuhan. Hingga pada suatu ketika, salah satu dari tiga bersaudara itu, Qandeel meninggalkan sebuah buku tebal bersampul hijau bertuliskan The Holy Qur’an di mejanya.  “Aku menangkap maksudnya, agar aku membacanya sendiri bila masih mempunyai banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain tentang Islam.” Kata Jeffrey.

Jeffrey mulai membaca Terjemahan Alquran dalam bahasa inggris tersebut. Ia membacanya perlahan dan menganggap bahwa semua Alquran berisi sama, pujian-pujian terhadap Tuhan. Kemudian mulai membuka surat kedua, Al Baqarah dan membacanya secara perlahan. Namun ketika sampai pada ayat ke 30-39, yakni kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan bagaimana dia ditunjuk menjadi Khalifah di Bumi,  Jeffrey terus mengulang-ulangnya. Dalam kitab suci agama lain, penurunan Adam ke bumi adalah sebuah hukuman, tetapi berbeda dengan yang dikisahkan dalam Alquran.

“Aku membaca ayat-ayat itu beberapa kali, tetapi tak kunjung dapat menangkap apa persisnya yang hendak dikatakan Alquran. Bagiku, Alquran sepertinya sedang menyampaikan sesuatu yang sangat mendasar atau mungkin keliru. Aku membaca lagi ayat 30 secara perlahan dan saksama, baris demi baris, untuk memastikan apakah ayat ini menyampaikan sebuah paparan yang logis,” ungkapnya.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusuhan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. 2: 30)

Mula-mula, aku bertanya apakah penulisnya salah dengar atau salah paham soal kisah tradisional tentang Adam dan Hawa, sebab ayat tersebut menolak seluruh inti kisah dan tujuan penciptaan mereka. Tetapi, setelah membacanya untuk kedua, ketiga, dan keempat kalinya, aku mulai merasakan bahwa penulisnya sengaja mengubah dan memodifikasi detail-detail cerita kuno itu.

“Allah memfirmankan ayat ini di surga dengan maksud memberitahu para malaikat bahwa Dia akan menempatkan manusia di bumi untuk mewakili-Nya: “Sesungguhnya, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Tuhan salah, protesku. Manusia ditempatkan di bumi bukan untuk berbuat kebaikan; manusia ditempatkan di bumi sebagai hukuman lantaran dosa Adam.  Aku mulai mendebat Tuhan, yang bahkan seharusnya aku tidak mempercayai adanya Tuhan. Aku Atheis,” ujarnya. 

Tetapi, tiada kata-kata dalam ayat tersebut yang menceritakan kesalahan Adam atau Hawa, dan seperti dituturkan ayat-ayat selanjutnya, tak ada informasi perihal dosa itu. Seolah keraguanku diwakilkan oleh para Malaikat yang kemudian bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” 

Di sini, malaikat-malaikat itulah yang ingin mengembalikan cerita tersebut kepada kisah tradisionalnya, kisah yang telah kudengar sejak kecil. Pada dasarnya, mereka bertanya: Mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang penuh dosa dan kekasaran ini? Mengapa Engkau menempatkan di muka bumi makhluk yang akan mendatangkan kerusakan? Mengapa Engkau menciptakan makhluk yang penuh kekurangan, padahal Engkau dapat menciptakan kami, malaikat? Mereka berterus terang, “padahal kami senantiasa bertasbih, dengan memuji dan mensucikan engkau,?” Pertanyaan malaikat ini tentunya sangat signifikan sebab dilontarkan di dalam surga.

Kenapa Tuhan menciptakan makhluk yang jahat ini dan menempatkannya di bumi, padahal bisa saja Tuhan dengan gampangnya menciptakan malaikat dan menempatkannya di surga? Inilah pertanyaanku!

Hidupku dihantui oleh tiga atau empat pertanyaan ini. Aku merasa seolah-olah Alquran sedang mengaduk-aduk emosiku, menggunakan kisah tersebut untuk memprovokasiku. Lalu, masalahnya menjadi semakin kacau ketika Tuhan menjawab pertanyaan malaikat-malaikat itu dengan sekadar berkata, “Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Seakan-akan, Dia berkata, “Aku tahu persis apa yang sedang Kulakukan.” 

Allah kemudian memperlihatkan kepada para malaikat tentang kemampuan akal manusia, bahwa manusia dikaruniai akal untuk membuat sebuah pilihan, yang baik atau yang buruk. Allah memberikan Nabi Adam kemampuan intelektual, bisa belajar bahasa, dan mempelajari benda-benda yang ditemui di bumi. 

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama (benda-benda), kemudian memperlihatkannya kepada para malaikat, dan Dia berfirman: sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar.” (QS. 2: 31)

Yang kemudian dijawab oleh malaikat bahwa mereka tidak mampu untuk mengetahui, selain apa-apa yang telah ditunjukkan oleh Tuhan kepada mereka. “Maha Suci Engkau, tak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. 2:32)

Ayat ketiga puluhan surat Al Baqarah ini memberikan banyak pencerahan terhadap Jeffrey Lang. Informasi yang selama ini meragukannya dalam ajaran agama lain seperti tentang dosa turunan manusia, tentang kenapa manusia diturunkan ke bumi, tentang kesalahan nabi Adam, dan lainnya, terjawab surah dengan gamblang dalam Alquran. Termasuk tentang tujuan diturunkannya manusia ke bumi sebagai khalifah.

Sejak saat itu, Lang pun memutuskan masuk Islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Dia menjadi seorang mualaf pada awal 1980. Ia mengaku bahwa dengan menjadi seorang Muslim, banyak sekali kepuasan batin yang didapatkannya.

Itulah kisah perjalanan spiritual sang profesor yang juga meraih karier bagus di bidang matematika. Dia mengaku sangat terinspirasi dengan matematika yang menurutnya logis dan berisi fakta-fakta berupa data riil untuk mendapatkan jawaban konkret.

‘Dengan cara seperti itulah, saya bekerja. Ada kalanya, saya frustasi ketika ingin mencari sesuatu, tapi tidak mendapat jawaban yang konkret. Namun, dengan Islam, semuanya rasional, masuk akal, dan mudah dicerna,” tukasnya.

IQRA REPUBLIKA