Syahdan, Salim bin Abdullah, seorang ulama tabiin menemui Gubernur Hajjaj bin Yusuf untuk menyampaikan tentang kebutuhan kaum Muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan ramah dan memuliakannya.
Tidak lama, beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj. Rambut mereka kusut dengan wajah pucat. Debu pun menempel di badan. Semua tahanan di belenggu. Hajjaj berkata kepada Salim, “Mereka adalah pemberontak yang telah membuat kerusakan di muka bumi dan menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”
Hajjaj menyerahkan pedangnya kepada Salim sambil menunjuk kepada salah seorang dari mereka. Dia berkata kepada Salim: “Pergilah dan tebaslah lehernya!” Salim menerima pedang dari tangan Hajjaj lalu berjalan mendekati orang yang dimaksud.
Salim berhenti tepat di depan orang tersebut, lalu bertanya, “Apakah Anda Muslim?” Terdakwa, “Benar saya Muslim. Tapi, apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!” Salim, “Apakah Anda shalat Subuh?” Terdakwa, “Sudah saya katakan bahwa saya Muslim. Mengapa Anda masih bertanya lagi?” Salim, “Saya bertanya, apakah Anda shalat Subuh hari ini?” Terdakwa, “Semoga Allah memberimu hidayah. Tentu saya shalat Subuh! Silakan Anda melaksanakan perintah orang zalim itu agar ia tidak murka kepada Anda.”
Salim berbalik menghadap Hajjaj kemudian melemparkan pedang yang digenggamnya sambil berkata, “Orang ini mengaku sebagai Muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat Subuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa shalat Subuh, dia berada dalam perlindungan Allah.” Saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan-Nya!”
Hajjaj marah dan berkata, “Kami akan membunuhnya bukan karena dia tidak shalat, tetapi karena dia ikut terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman bin Affan.” Salim menjawab, “Masih ada orang lain yang lebih berhak dari saya dan dari Anda untuk menuntut darah Utsman bin Affan!” Hajjaj terdiam seribu bahasa.
Di antara pelajaran dari kisah Salim ini, pentingnya berdiplomasi untuk menghindari kekecewaan orang lain atau meringankan mudharat yang mungkin timbul. Di antara manfaat berdiplomasi dapat menghindari salah paham, meredam amarah, bahkan membuat gembira orang yang mendengarnya.
Seorang anak muda mengadu bahwa ayahnya marah besar. Ayah menyuruhnya untuk membelikan rokok di warung. Dia langsung menolak dan mengatakan bahwa rokok hukumnya haram dan membelikan rokok juga haram karena termasuk tolong menolong dalam kemaksiatan.
Di tempat lain, seorang ayah menyuruh anaknya membeli rokok di warung. Si anak berkata kepada ayahnya, “Merupakan kehormatan bagi anak untuk taat kepada orang tua. Tapi, tolong satu saja permintaan ayah yang terasa berat untuk dilaksanakan, yaitu membelikan rokok. Karena, kalau nanti ayah sakit maka saya akan merasa berdosa telah menjadi penyebab ayah sakit. Tolong ayah perintahkan saya selain itu, saya akan selalu siap melaksanakannya.”
Sang Ayah hanya tersenyum saja dan tidak lagi menyuruh anaknya untuk membelikan rokok. Dia bangga memiliki anak yang patuh dan taat kepadanya. Subhanallah! Prof Dr Nashir Al Umar dalam ceramahnya menyampaikan kisah seorang raja yang bermimpi giginya copot. Raja mengumumkan sayembara siapa yang bisa menakwilkan mimpinya. Ada seseorang yang datang dan menafsirkan mimpi raja bahwa anak-anaknya akan meninggal duluan.
Sang raja marah dan memenjarakan si penakwil mimpi. Lalu, datang orang lain lagi dan mengatakan, “Usia tuan insya Allah lebih panjang dibandingkan usia anak-anak tuan.” Sang raja senang mendengar jawaban tersebut dan memberinya hadiah yang banyak.
Kesimpulannya, kita harus terus berlatih untuk mengontrol dan menyusun kata-kata dan tulisan kita agar bisa menggembirakan dan tidak mengecewakan orang lain selama dalam rel syariat Islam. Wallahualam.
Oleh: Fariq Gasim