Kisah Pemaaf

SEBUAH hadis menceritakan secara menarik kepada kita yang kandungan isinya menyangkut bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk selalu bersikap sebagai seorang pemaaf. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Lengkapnya, kisah itu sebagai berikut: Abu Hurairah berkata. “Seseorang telah mencela Abu Bakar. Abu Bakar pun diam, sedangkan Nabi SAW ketika itu bersama mereka. Nabi merasa kagum, lalu tersenyum. Ketika orang itu memperbanyak cercaannya, maka Abu Bakar menimpali sebagian yang diucapkannya. Nabi pun marah dan beranjak pergi.

Abu Bakar kemudian menyusul beliau dan bertanya. ‘Wahai Rasulullah, orang itu telah mencerca diriku, dan engkau tetap duduk. Namun, disaat aku menimpali sebagian yang diucapkannya, mengapa engkau marah dan berdiri?’

Rasulullah pun menjawab, ‘Bersamamu tadi ada malaikat yang menimpali orang tersebut, sementara engkau diam. Akan tetapi, ketika engkau menimpali sebagian yang diucapkannya, setan pun datang dan aku pun tidak mau duduk dengan setan.’

Kemudian beliau SAW bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, ada tiga perkara yang semuanya adalah hak. Tidaklah seseorang yang dizalimi dengan suatu kezaliman, kemudian ia memaafkannya karena Allah, melainkan Allah akan memuliakannya karena perbuatannya itu dan akan menolongnya. Dan tidaklah seseorang yang membukakan pintu untuk menyampaikan suatu pemberian dengan niat bersilaturahim, melainkan Allah akan memperbanyak hartanya. Dan tidaklah seseorang membuka pintu untuk meminta-minta dengan niat meperbanyak hartanya, melainkan Allah akan menyedikitkan hartanya.”

Pemaaf merupakan sifat yang sangat terpuji dan salah satu sikap yang sangat dianjurkan di dalam Alquran. Allah SWT berfirman, “Jadilah pemaaf dan surulah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS 7: 199).

Dalam ayat lain Allah berfiman, “… dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS 24: 22)

Mereka yang enggan dan tidak mau mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW akan merasa sulit memaafkan kesalahan orang lain. Sebab, boleh jadi hasad dan dengki sudah mengakar di dalam jiwa mereka. Sehingga apapun bentuk perbuatan baik yang dilakukan seseorang akan bernilai jelek di hadapan orang yang pendengki dan pemarah. Padahal, Allah telah menegaskan kepada orang yang beriman bahwa sikap memaafkan adalah lebih baik.

“… dan jika kamu memaafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS At-Tagabun: 14).
Berlandaskan hal tersebut, maka orang-orang yang beriman adalah mereka yang bersifat pemaaf, pengasih, dan berlapang dada. Alquran surah Ali ‘Imran menegaskan hal itu; “… dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain… “ (QS 3: 134)

Pemahaman orang-orang yang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai dengan ajaran Alquran. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan amarah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung tetap menampakkan amarah.

Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Sebab, mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini dan belajar dari kesalahan mereka. Mereka berlapang dada dan mampu memaafkan, walau sebenernya mereka benar dan orang lain salah.

Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Orang yang yang beriman tahu semua terjadi karena kehendak Allah dan berjalan sesuai takdir tertentu. Oleh sebab itu mereka berserah diri dengan peristiwa tersebut dan tidak pernah terbelenggu oleh amarah.

Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan baha mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat secara kejiwaan maupun ragawi. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang telah menyakiti hati mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa para pemaaf merasa lebih baik, tidak hanya secara batinah, namun juga jasmaniah.

Dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa marah adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan di sisi lain –meskipun terasa berat– akan terasa membahagiakan. Memaafkan, selain merupakan bagian dari akhlak terpuji, ia juga dapat menghilangkan segala dampak yang merusak yang ditimbulkan oleh amarah, juga membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin.
Namun demikian, memaafkan haruslah dengan tujuan bahwa hal tersebut dilakukannya untuk mendapatkan ridha Allah SWT. (*)

 

Oleh Ustad Jefri Al Bukhori

sumber: Tribun News