Konsep Taubat antara Islam & Stoikisme

Konsep taubat dalam Islam dan Stoikisme memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal pandangan mereka tentang penyesalan dan perbaikan diri. Nah artikel ini akan membahas tentang konsep taubat antara Islam dan Stokisme.

Kehidupan selalu dipenuhi rasa takut akan penderitaan dan musibah. Padahal rasa takut itu adalah bayangan yang kita ciptakan sendiri. “Dunia bukan dilihat sebagaimana adanya, tapi bagaimana kita bersikap”.

Di kehidupan modern, perubahan sosial, mulai dari gaya hidup, kebutuhan hidup, keinginan hidup, apakah selalu di kontrol dengan arus fyp, viral, hedon, flexing, konsumerisme?.

Kehidupan modern penuh dengan pernak- perniknya yang sebenarnya itu manipulatif dengan segala dramanya. Maka tak heran sekali banyak kasus bunuh diri karena stress, menurut data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, sekitar 971 kasus bunuh diri di Indonesia selama periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka itu sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang 2022 yang jumlahnya 900 kasus. (Imami Teguh, 2024) 

Banyaknya kejadian tersebut merupakan efek gilanya hidup di kehidupan modern ini. Maka daripada itu pentingnya kita untuk bertaubat, kembali kepada Tuhan yang maha pencipta, dan bertaubat dengan menyadari kehidupan adalah anugrah terbesar yang kita miliki, dengan memahami filsafat stoikisme untuk menghadapi hidup yang rumit ini.

Konsep Taubat Islam dengan Stoikisme

Pengertian taubat secara linguistik menurut  Ghazali adalah “kembali” (ruju’), berdasarkan Etimologi, Kata tobat berasal dari Bahasa Arab yakni taubah: taaba-yatuubu-taubatan yang berarti kembali dari kemaksiatan ke ketaatan, kembali dari jalan yang jauh ke  jalan yang dekat. Imam Haramain (Abdul Marri al-Juwayni) mengatakan bahwa bertaubat berarti melepaskan keinginan untuk  melakukan kejahatan seperti sebelumnya demi mengagungkan Allah  dan menjauhkan diri dari murka. (Rozalina Erba, 2017)  

Taubat dalam perspektif islam memiliki pengertian dan makna yang luas untuk menata kembali kehidupan manusia. Bertaubat berarti ia telah meninggalkan dosanya dan Allah telah mengampuni serta menyelamatkannya dari dosanya. 

Tetapi dalam hubunganya dengan Filsafat Stoikisme, yang didirikan Ajaran pertama kali dibawa oleh Zeno dari Cizio tepatnya di pulau Siprus 333 SM- 263 SM. Zeno mulai mempelajari filsafat pada sebuah akademi yang didirikan Plato pada tahun 300 SM. (STF Widya Sasana, 2014)

Selanjutnya Zeno mendirikan sebuah akademi miliknya sendiri di depan teras yang diberi nama Stoa. Stoikisme juga mengajarkan Taubat yakni mengajarkan manusia agat kembali memahami kodrat, dan kendali pada dirinya. Kata Zeno hidup sebenarnya ada di dalam diri manusia. Kebahagiaan menurut stoikisme adalah hidup sesuai dengan kodrat (amor faith). Walaupun stoikisme menolak metafisika dan memasukkannya ke dalam fisika, tapi konsep tersebut ada hubunganya. 

Hubungan Konsep keduanya

Dalam hubungannya islam dan stoikisme ada titik penekanan yakni makna “kembali”, yang artinya manusia harus kembali (bertobat) dari dosa (pikiran yang buruk) kepada keselarasan alam (nature).

Taubat atau tobat tidak selalu berurusan dengan masalah dosa tapi masalah pikiran- tindakan, kita yang seharusnya tidak mengikuti keinginan arus yang berlebihan. Taubat sebenarnya mempunyai 3 (tiga) makna berturut-turut, yaitu ilmu dan kesadaran (‘ilm), keadaan hati (hal) dan perbuatan (fi’il).  (Rozalina Erba, 2017)  

Dalam Taubat Islam dan Stoikisme adalah bagaimana usaha manusia menemukan kesadaraanya kembali, untuk memahami apa yang ada di dalam dirinya. Filsuf Epictetus yang hidup di sekitar tahun 55 – 135 mengutarakan hal serupa:

“Tugas utama dalam hidup adalah mengenali dan memisahkan hal-hal eksternal yang tidak di bawah kendali saya, dan yang berkaitan dengan pilihan yang benar-benar saya kendalikan.”- Epictetus (Pandiangan, 2021) 

Manusia kerap kali kehilangan dirinya di tengah- tengah arus yang hebat, maka perlunya untuk mengenali dirinya sendiri, karena ada maqolah yang mengatakan,

ُمَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه

Artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.

Mengenal Tuhan adalah kebahagiaan dan kebajikan tertinggi, atau socrates mengatakan kebahagiaan tertinggi (eudaimonia). Pada dasarnya banyak persamaan konseptual antara Al-Qur’an dan filsafat Stoa mengenai hakikat kebahagiaan.

Karena Al-Qur’an merupakan pedoman yang mendorong manusia untuk menggunakan akal sehatnya, seperti terlihat pada ungkapan afala tatafakkarun, afala ta’qilun, afala yatadabbarun, yang semuanya merupakan idiom Al-Qur’an dan berkaitan dengan pentingnya mengedepankan akal sebagai metode untuk mencapai kebenaran memiliki kesamaan dengan Al-Quran, yaitu mendorong pentingnya penggunaan akal. ( Rahman Taufik, Dkk, 2022) 

Mulai Bertobat Mengontrol Emosi dan Mengendalikan Pikiran

Terkadang kita selalu, kewalahan menuruti hal eksternal dalam kehidupan kita, seperti opini, tingkah buruk manusia lain, pencapaian orang lain, harta, kekayaan, jabatan. Membuat kita stress berlebihan dan terlena akan dunia. Itu juga dosa kita, jika kita tidak segera bertaubat, dan memahami keselarasan alam. Seperti Epictetus mengatakan,

“Jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginanmu, tetapi 

inginkan hidup terjadi apa adanya, dan jalanmu akan baik adanya.”- Epictetus

Jalanilah kehidupan kita dengan harapan yang sesuai dengan kemampuan kita, dan berhenti untuk menyalahkan keadaan ataupun diri sendiri, itu juga sebenarnya dosa besar kita, yang akhirnya kita tidak sabar dan bersyukur atas kehidupan ini, lalu mengakhiri kehidupan kita, naudzubillah min dzalik.

Dengan memahami tobat dari kedua konsep tersebut seharusnya, kita bisa lebih mengetahui bahwasanya kebahagiaan itu diciptakan oleh kita, melalui sikap, keputusan, komitmen kita dalam berjuang. 

“Anda memiliki kekuatan atas pikiran

Anda─bukan atas peristiwa yang di luar.

Sadarilah ini, dan Anda akan menemukan

kekuatan.” ─ Marcus Aurelius.

Demikian penjelasan terkaitkonsep Taubat antara Islam & Stoikisme. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH