Republik Iran pada awal Februari lalu digemparkan oleh sebuah peristiwa laki-laki yang berkeliling kota Ahwaz sambil menenteng penggalan kepala seorang perempuan. Ialah Sajjad yang memenggal kepala istrinya, Mona Haedari yang menjadi korban pernikahan anak dan KDRT.
Pernikahan anak di negeri Iran, dikutip dari laman rferfl.org bahwa pada tahun 2020, pernikahan yang mellibatkan anak usia 10-14 tahun meningkat dibandingkan pada tahun 2019. Iran sendiri melegalkan pernikahan pada anak yang minimal masuk usia 13 untuk perempuan dan 15 untuk laki-laki. Beberapa aktivis HAM sudah menyampaikan kritik dan protes tentang kebijakan ini.
Dari laman BBC, diberitakan bahwa saat itu usianya sudah menginjak 17 tahun dan telah memiliki anak berusia 3 tahun bersama suaminya itu, Sajjad. Semasa usia pernikahan, Mona kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya. Ia sudah berusaha mencari pembelaan dari keluarganya, tapi tak ada tindakan apapun selain memintanya untuk tetap bertahan dan sabar.
Pada usianya yang masih belia, akhirnya ia mencari perlindungan lain di media sosial dan bertemu dengan seorang laki-laki yang berasal dari Turki. Tapi ternyata, laki-laki tersebut adalah seorang pemeras dan penipu. Mona diminta untuk menghubungi keluarganya untuk meminta sejumlah uang dan diancam akan dibunuh. Orang tuanya pun menebus Mona dan membawanya pulang ke Kota Ahwasz, Iran.
Berharap mendapat perlindungan dan suaminya bisa sadar tentang alasan Mona yang kabur dari rumah, Sajjad justru membunuh Mona karena terbakar api cemburu. Dibantu oleh kerabatnya, Sajjad membunuh Mona dan memenggal kepalanya. Lebih gilanya lagi, Sajjad dengan percaya diri berkeliling kota sambil membawa penggalan kepala istrinya sendiri.
Pernikahan Anak
Islam memang tidak membatasi usia pernikahan secara tekstual. Beberapa ulama mazhab juga berbeda pendapat tentang batas minimal usia pernikahan. Dalam buku “Perempuan, Islam, dan Negara” karya Buya Husein, disebutkan bahwa Imam Syafi’i menyebutkan usia minimal bagi perempuan adalah 15 tahun. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan 17 tahun, sementara Ibnu Syubrumah berpendapat 18 tahun.
Beberapa negara mayoritas muslim memiliki peraturan yang berbeda dalam Undang-Undang Perkawinan. Terlepas dari perbedaan peraturan dan batasan minimal usia pernikahan, hal yang harusnya menjadi nilai utama dalam usia perkawinan adalah kemaslahatan umum.
Pernikahan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah usia 15 tahun ternyata tidak menunjukkan kemaslahatan dalam beberapa aspek, seperti pendidikan, kecakapan bertindak, dan kemampuan fisik. Aspek-aspek ini harus diperhatikan.
Maka kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah) menjadi tujuan paling utama dalam menentukan usia pernikahan, bukan hanya untuk perempuan tapi juga laki-laki. Adapun ketetapan yang ditentukan oleh negara tidak memunculkan kontroversi. Sebagaimana kaedah fikih yang menyatakan, “Hukm al-hakim ilzam wa Yarfa’ al-Khilaf”, keputusan pemerintah atau pengadilan adalah mengikat dan menuntaskan kontroversi.
Islam Melarang Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ada beberapa ayat yang menjadi legitimasi bagi laki-laki atau ulama untuk membenarkan tindakan kekerasan pada istri. Ayat tersebut adalah surat an-Nisa ayat 34:
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.
Buya Husein, dalam buku “Islam Agama Ramah Perempuan” melakukan pendekatan sosial pada ayat ini dengan melihat kondisi masyarakat Arab pada masa itu. Ayat ini hendak menceritakan pada masa itu, laki-laki dilebihkan atas kesempatan dan kemampuannya untuk memberikan nafkah. Pada ayat yang sama, perintah memukul menjadi pilihan paling terakhir saat istri tidak setia. Ayat ini, menurut Buya Husein mengajarkan rekonsiliasi sebagai solusi pertama dalam permasalahan rumah tangga.
Maka Alquran hendak mengajarkan kepada kita bahwa kekerasan fisik dan verbal tidak menjadi solusi atas permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga. Pemahaman ayat harus dilakukan dengan pendekatan yang kontekstual dan sosio-kultural hingga memahami ayat secara utuh. Wallahu a’lam.