Artikel ini akan membahas tentang ketika demokrasi krisis, kritik sosial hukumnya wajib!. Pasca statement pak Presiden yang mengundang kontroversi – Presiden boleh menentukan sikap secara eksplisit bahkan mengampanyekannya senyampang tidak menggunakan fasilitas negara – maka tak sedikit rakyat geram. Mulai dari para petani hatta akademisi. Terlebih nasib sistem demokrasi yang mulai terkoyak-koyak di Indonesia.
Hingga akhirnya kritik mulai berseliweran dari berbagai kalangan sebagai seruan moral untuk mengawal nasib demokrasi. Tidak hanya individual, kritik itu dilakukan secara serempak oleh para organisasi akademik maupun sosial kemasyarakatan. Misalnya, Muhammadiyah telah melakukan tugas tersebut (mengkritik) sebagai civil society menghadapi krisis demokrasi.
Dari kalangan akademik, Universitas Gadjah Mada – yang menjadi sarang kaum intelek terkhusus roda kepemimpinan Indonesia, mulai dari Jokowi, Imin, Ganjar, dan Anis – secara resmi merilis kritikan dan mendeklarasikan petisi Bulak Sumur untuk penguasa saat ini.
Sehari setelahnya UII mengikuti mendeklarasikan dalam menentukan sikap politik tersebut guna melakukan kritik terkait keadaan demokrasi. Dan diikuti beberapa rektor dari berbagai kampus serentak melakukan kritik bersama-sama. Kritik yang dilayangkan atas nama seruan moral mengawal demokrasi.
Tentu saja kritik sangatlah urgen dalam sistem bernegara apa lagi sistemnya demokrasi. Kritik itu penting, bahkan dalam Islam bukan semata-mata seruan moral tetapi juga merupakan kewajiban sosial. Kritik dalam Islam adalah merupakan implementasi jihad yang paling utama. Nabi Muhammad pernah menyampaikan dalam hadisnya bahwa jihad yang paling utama dan menantang adalah mengkritik penguasa yang lalim.
“أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah melayangkan kritik yang bagus kepada penguasa yang lalim” (HR. Ibnu Majah: 5/144).
Kritik Sosial Hukumnya Wajib
Hadis tersebut mendorong kepada semua rakyat untuk melakukan kritik terhadap penguasa yang lalim, diktator, dan dan menyalahgunakan kewenangan. Namun demikian, penting memahami batas antara kritik dan membangkang. Mengkritik adalah menyampaikan kekeliruan para penguasa untuk mengembalikan dari penyelewengan pada jalan yang seharusnya.
Hal tersebut harus dipahami betul sebab dengan menguaknya banyak kritik dari para cendekiawan mengundang segelintir orang, untuk memakzulkan Presiden. Merespons irama fenomena tersebut, KH. Afifuddin Muhajir memberikan statmennya di laman Facebook pribadinya, “Untuk menghindari chaos, jangan ada upaya memakzulkan penguasa yg bengkok. Cukup dikasi nasehat sampai lurus”. (Postingan 8 Februari 24).
Bahkan ada segelintir masyarakat yang sudah mengotak-atik nasib sistem demokrasi masa mendatang di Indonesia. Buya Husein cukup jeli membaca gelagat tersebut, “Sebagian masyarakat lalu terpicu atau terprovokasi untuk kemudian menuntut kembali pada sistem politik lain yang pernah berjalan di muka bumi di Barat maupun di Timur: ialah sistem Politik/Pemerintahan Dinasti. Khilafah. Kerajaan. Imperium, Kekuasaan otoritarian. Mereka menganggap sistem Demokrasi telah gagal mensejahterakan Masyarakat”, tulis Buya Husein. (Postingan 3 Februari 24)
Merombak Demokrasi
Lalu bagaimana sikap kita menghadapi krisis demokrasi? Tentu saja merombak sistem “demokrasi” — yang sudah mengalami redefinisi menurut Islam — bukanlah yang terbaik. Alih-alih keadilan tegak, kekacauan sosial akan merambah di bumi Indonesia. Yang dalam bahasa kaidah fikih, al-dlarar a’dzamu min maslahat).
Dan hal ini bertentangan dengan doktrin (keyakinan) politik Sunni yang umumnya lebih menempuh jalan aman. sesuai kaidah yang menjadi landasannya, “Lebih memprioritaskan penangkalan mudlarat ketimbang mendapat kemaslahatan”.
Oleh karenanya, jangankan mengubah sistem demokrasi –memakzulkan Presiden dengan kesalahan yang mencuat: tidak netral — adalah bertentangan dengan doktrin politik mazhab sunni. Maka tidak heran bila KH. Afifuddin Muhajir tidak setuju terhadap sikap pemakzulan, apalagi mengubah sistem demokrasi.
Sikap Rakyat Menghadapi Penguasa Lalim
Bertolak dari doktrin politik Sunni, — bahwa kritik bukan saja seruan moral tetapi kewajiban sosial — maka untuk melakukan kritik terhadap penguasa yang lalim mesti dilakukan rakyat sesuai kemampuannya. Keharusan mengkritik tetap berlaku meskipun kritikannya tak didengarkan atau diabaikan.
Abdul Muhsin al-Ubbad, salah satu interpretator kitab Arba’in Nawawi, menarasikan sikap-sikap orang yang menghadapi penguasa lalim dengan mengklasifikasi menjadi tiga (Syarah Al-‘Arbain al-Nawawiyah, 9/30).
Pertama, mengkritik dan mengecam secara terbuka bagi orang atau komunitas yang tidak takut dengan ancaman penguasa. Tidak takut dengan intimidasi serta kebrutalan penguasa.
Kedua, mengkritik secara tertutup bila mendapatkan tekanan bahkan tindakan agresi penguasa, yang kemudian dengan mengingkari dengan hati.
Ketiga, rakyat yang tidak mengkritik penguasa lalim justru menyetujui tindakan penguasa. Maka rakyat demikian hinaan Tuhanlah yang ia dapatkan. Karena ia seolah bersekongkol dengan penguasa.
Maka dalam konteks Indonesia, pertama-tama melakukan kritik dengan berdiplomasi. Setelah itu, maka rakyat dan komunitas yang tidak takut agresi penguasa melakukan kritik terbuka. Dan bila perlu turun ke jalan (demo) bisa dilakukan selama tidak merusak fasilitas negara apalagi punya rakyat? karena saat demokrasi krisis maka mengkritik bukan semata seruan moral tetapi kewajiban sosial dan jihad yang afdhal.