Di antara dampak negatif dari adanya media sosial yang semakin canggih adalah semakin beraninya seseorang dalam ikut bersuara. Dengan percaya diri, ia mengeluarkan semua yang ada dalam pikirannya, kemudian dituangkan dalam media sosial. (Baca: Adab Menggunakan Media Sosial)
Islam sebagai agama penebar rahmat dan kedamaian, sejatinya menolak bahkan sangat melarang pemeluknya untuk melakukan pekerjaan atau tindakan-tindakan yang memiliki potensi akan menimbulkan kegaduhan. Oleh karenanya, prinsip Islam sebagai agama Rahmat dan damai tidak lagi sekadar selogan yang disampaikan di mana-mana, akan tetapi menjadi nilai dan simbol yang harus dipraktikkan di mana-mana.
Sebelum membahas lebih panjang, ada salah satu hadits Rasulullah yang perlu diketahui dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan kejadian di atas. Di antaranya salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi, Rasululah SAW bersabda,
أٙجْرٙؤُكُمْ عٙلٰى الْفٙتْوٰى أٙجْرٙؤُكُمْ عٙلٰى النّٙارِ
“Yang paling berani dari kalian dalam (mengeluarkan) fatwa adalah orang yang paling berani ke neraka.” (Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunan ad-Darimi, dengan status hadis mursal dari ‘Ubaidillah bin Abi Ja’far)
Berhati-hati dalam ber-statement dan berfatwa (at-tawarru’ ‘anil-futya) merupakan akhlak/karakteristik para ulama terbaik pada zaman dulu (salafuna ash-shalih). Mereka benar-benar mempertimbangkan dampak positif atau negatif sebelum statement atau fatwa itu dicetuskan.
Dalam hal ini, Imam ‘Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi (wafat 82 H), pakar fikih dari golongan tabi’in berkata: “Aku mendapati 120 shahabat Rasulullah SAW, (saat) salah satu dari mereka ditanya tentang sebuah masalah, ia mengembalikan masalah itu kepada shahabat yang lain (dan hal itu berputar terus-menerus di kalangan mereka) hingga masalah itu kembali (diajukan) ke orang pertama (lagi).”
Nasihat di atas, tentu mengajarkan bagi generasi setelahnya, khususnya generasi saat ini, bahwa hati-hati dalam bersetatement menjadi ciri khas para sahabat saat itu. Mereka justru mengedepankan orang lain agar mengeluarkan pendapatnya, sebelum diri sendiri yang menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya.
Imam Malik bin Anas (pendiri mazhab Malikiah) dari kalangan tabiut tabiin berkomentar lebih tegas. Ia mengatakan, “Barang siapa menjawab sebuah masalah, hendaknya sebelum menjawab ia menghadapkan dirinya ke surga dan neraka serta bagaimana selamat (dari neraka tersebut). Kemudian baru menjawab.”
Akhlak seperti ini juga tergambar jelas dalam nasehat umum Imam asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu tentang kehati-hatiannya dalam mengeluarkan statement dan berbicara:
“Apabila salah satu dari kalian hendak berbicara, maka ia wajib memikirkan terlebih dahulu perkataannya! Jika perkataan tersebut mengandung kemaslahatan (kebaikan), maka berbicaralah! Namun jika ragu-ragu (perkataannya tidak mengandung kemaslahatan), maka urungkanlah untuk berbicara hingga benar-benar perkataanmu mengandung kemaslahatan!”
Namun ironisnya, pada zaman ini ada sebagian orang yang merasa berilmu dengan mudahnya mengeluarkan statement tanpa menimbang dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut. Mungkin benar, statement-nya punya dasar yang diambil dari qaul-qaul ulama. Tapi, apakah bijak mempublikasikan statement itu sehingga berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat awam, bahkan fitnah keimanan di hati mereka?
Tahu qaul-qaul lemah yang bertebaran di khazanah Islam memang baik, namun terlalu mudah mempublikasikan pendapat-pendapat dhaif tersebut adalah tindakan yang tidak tepat.
Diam atau Ikut Bersuara?
Ada seorang yang bijak bestari yang mengatakan:
إِذٙا أٙعْجٙبٙكٙ الْكٙلٙامُ فٙاصْمُتْ، وٙإِذٙا أٙعْجٙبٙكٙ الصُّمْتُ تتٙكٙلّٙم
Artinya, “Jika kamu suka untuk berbicara, maka (lebih baik) diamlah! Namun jika kamu suka untuk diam, maka (lebih baik) berbicaralah!” (Dikutip oleh Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam Qami’uth-Tughyan ‘ala Manzhumati Syu’abil-Iman)
Term a’jaba di atas tidak sekadar bermakna ‘suka’. Ditinjau dari akar katanya, term tersebut berkorelasi dengan istilah ujub. Kita mungkin sudah tahu bahwa ujub merupakan perilaku yang tercela.
Imam al-Ghazali menyebutkan, perasaan ujub adalah kecintaan seseorang akan suatu karunia yang ada pada dirinya dan merasa memilikinya sendiri serta tidak menyadari bahwa karunia tersebut adalah pemberian Allah SWT. Singkatnya, ujub adalah perilaku atau sifat mengagumi diri sendiri dan senantiasa membanggakan dirinya sendiri.
Dengan demikian, makna pepatah bijak di atas dapat kita artikan lebih luas sebagai berikut:
“Jika berbicara dapat membuat hatimu ujub (merasa lebih hebat dan tinggi daripada orang lain, karena punya kemampuan hebat dalam berbicara), maka (lebih baik) diamlah! Namun jika diam dapat mendorongmu untuk ujub (merasa bangga dan hebat karena orang-orang menganggap sebagai orang yang alim, khusyuk, misalnya), maka (lebih baik) berbicaralah!”
Pepatah bijak di atas, seharusnya menjadi nasehat yang tepat untuk orang-orang yang suka berbicara kontroversial di ranah publik, baik dalam dunia nyata atau dunia maya. Orang-orang model seperti ini mungkin salah satu motivasinya dalam berbicara kontroversial adalah ‘cari panggung’. Mereka terobsesi dengan popularitas.
Dengan mengeluarkan statement-statement kontroversial secara tidak langsung namanya akan dikenal oleh masyarakat. Perilaku ini dikenal dengan istilah hubbusy-syuhrah (cinta popularitas). Tingkat pemahaman agama, komitmen agama, dan kepentingan-kepentingan pribadi yang berbeda-beda sangat berpengaruh dalam eksistensi dan tidaknya sifat tercela tersebut.
مٙا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf [50]: 18).
Dari penjelasan di atas semoga menjadi pelajaran, bahwa sikap yang tepat adalah menghilangkan kegaduhan dan keributan bukan menciptakan keduanya.
Referensi: al-Manhaj as-Sawi, hlm. 102 & Khulashatu Akhlaqis-Salaf, hlm. 5