Jangan Gunakan Istilah Mabuk Agama

Pertanyaan:

Mohon pencerahannya ustadz. Saya mendapati ada sebagian ustadz yang menggunakan istilah “mabuk agama” terhadap orang-orang yang menurut beliau berlebihan dalam beragama. Apakah penggunaan istilah “mabuk agama” ini dibenarkan?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Hendaknya menjauhi istilah “mabuk agama” atau “mabuk manhaj”, karena beberapa poin berikut:

Pertama, perkataan seperti ini tidak ada contohnya dari para ulama salaf maupun khalaf. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah sering menasehati murid-murid beliau:

إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ

“Jauhkan dirimu dari berkata-kata dalam suatu masalah, yang mana engkau tidak memiliki imam (pendahulu) dalam perkataan tersebut” (Siyar A’lamin Nubala, 11/296).

Bahkan istilah “mabuk agama” merupakan perkataan yang sering dilontarkan oleh orang liberal, atheis, dan para pembenci Islam. Istilah “mabuk manhaj” juga istilah yang sering dilontarkan oleh para pembenci dakwah sunnah. Yang sudah seharusnya kita tidak menyerupai mereka. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

تشبه بقوم فهو منهم

“Orang yang menyerupai suatu kaum, seolah ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, dishahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).

Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair menjelaskan: 

ولا شك أن الموافقة بالظاهر قد يكون لها نصيب في الموافقة بالباطن، وقد تجر إليه، وقل مثل هذا في التشبه بالمبتدعة، سواء كانت البدع كبيرة أم مغلظة أم خفيفة، وقل مثل هذا في التشبه بالفساق وغيرهم، كل هذا له دلالته على شيء من الموافقة بالباطن والميل القلبي

“Tidak ragu lagi bahwa keserupaan secara lahiriah memiliki pengaruh dalam keserupaan dalam batin. Terkadang keserupaan secara lahiriah membawa kepada keserupaan dalam batin. Ini juga berlaku dalam perkara menyerupai ahlul bid’ah, baik bid’ah yang besar atau berat ataupun bid’ah yang ringan. Demikian juga ini berlaku dalam perkara menyerupai orang fasik. Semuanya akan membawa kepada keserupaan dalam batin dan kecondongan hati kepada mereka” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, halaqah ke-68, tanggal 11/2/1433).

Oleh karena ini hendaknya gunakan istilah-istilah yang syar’i atau yang digunakan oleh para ulama untuk menyatakan sikap berlebihan dalam beragama, seperti: ghuluw, tanatthu’, ifrath, takalluf, atau semisalnya.

Kedua, perkataan ini mengandung makna bahwa agama Islam bisa membuat orang mabuk dalam artian: sesat. Padahal agama Islam itu pasti benar dan lurus, yang membuat sesat adalah pemahaman orang yang menyimpang, bukan agama Islamnya.

Perkataan ini juga bisa bermakna bahwa orang semakin dalam belajar Islam akan semakin sesat dan ngawur seperti orang yang mabuk. Ini pernyataan yang batil. Justru semakin belajar Islam dan semakin rajin menuntut ilmu agama, akan bertambah ilmu dan iman. Sehingga menjadi sebab ia semakin shalih dan semakin baik. Buktinya Allah perintahkan kita untuk berdoa meminta tambahan ilmu. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS. Thaha: 114).

Dalam hadits disebutkan bahwa orang yang memiliki ilmu sama saja seperti mengambil warisan para Nabi. Semakin banyak ilmunya, semakin banyak warisan para Nabi yang ia dapatkan. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَن سلَك طريقًا يطلُبُ فيه عِلْمًا، سلَك اللهُ به طريقًا مِن طُرُقِ الجَنَّةِ، وإنَّ الملائكةَ لَتضَعُ أجنحتَها رِضًا لطالبِ العِلْمِ، وإنَّ العالِمَ ليستغفِرُ له مَن في السَّمواتِ ومَن في الأرضِ، والحِيتانُ في جَوْفِ الماءِ، وإنَّ فَضْلَ العالِمِ على العابدِ كفَضْلِ القمَرِ ليلةَ البَدْرِ على سائرِ الكواكبِ، وإنَّ العُلَماءَ ورَثةُ الأنبياءِ، وإنَّ الأنبياءَ لم يُورِّثوا دينارًا ولا درهًما، ورَّثوا العِلْمَ، فمَن أخَذه أخَذ بحظٍّ وافرٍ

“Barang siapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga. Dan para Malaikat akan merendahkan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu, karena ridha kepada mereka. Dan orang yang berilmu itu dimintakan ampunan oleh semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi, juga oleh ikan-ikan yang ada di kedalaman laut. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan orang yang ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama dibandingkan seluruh bintang-bintang. Dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, Namun mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang menuntut ilmu sungguh ia mengambil warisan para Nabi dengan jumlah yang besar (HR. At-Tirmidzi no. 2682, Abu Daud no. 3641, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Semakin banyak ilmu seseorang maka ia semakin terpuji, bahkan sampai dibolehkan iri kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا حسدَ إلا في اثنتين : رجلٌ آتاه اللهُ مالًا؛ فسلَّطَ على هَلَكَتِه في الحقِّ ، ورجلٌ آتاه اللهُ الحكمةَ؛ فهو يَقضي بها ويُعلمُها

“Tidak boleh hasad kecuali pada dua orang: seseorang yang diberikan harta oleh Allah, kemudian ia habiskan harta tersebut di jalan yang haq, dan seseorang yang diberikan oleh Allah ilmu dan ia memutuskan perkara dengan ilmu tersebut dan juga mengajarkannya” (HR. Al-Bukhari 73, Muslim 816).

Dan dalil-dalil yang lainnya yang menunjukkan bahwa semakin sering seseorang menuntut ilmu, semakin baik bukan semakin mabuk atau ngawur

Dan semua perkataan yang mengandung kemungkinan makna-makna yang batil, harus dihindari.

Ketiga, ini bentuk mencampur-adukkan antara haq dan batil. Agama itu haq, mabuk itu kebatilan. Padahal kita dilarang mencampur-adukkan antara haq dan batil. Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

“Dan janganlah kamu campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah: 42)

Jika istilah-istilah seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin nantinya akan ada istilah “mabuk Al-Qur’an”, “mabuk hadits”, “mabuk iman”, “mabuk takwa”, “mabuk sedekah”, dll. Yang akan membawa kepada pelecehan terhadap syariat Islam. Allahul musta’an.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

***