Sedari dulu hingga sekarang, tak bisa dipungkiri bahwa permasalahan isu-isu mengenai upaya penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah usai. Walaupun Indonesia sudah mempunyai idelogi final, yaitu pancasila -yang sejatinya sudah selaras dengan nilai keislaman- tetap saja di luar sana masih ada golongan yang tidak mau menerimanya. Golongan-golongan ini berrsikeras dengan pendapat mereka bahwa penegakan syariat Islamlah yang dipandang cocok dan harus diterapkan di Indonesia. Salah satu golongan yang mempunyai cita-cita dan tujuan untuk menegakan syariat Islam di Indonesia ini adalah Majelis Mujahidin Indonesia, atau biasa disingkat menjadi MMI.
Organisasi ini didirikan pada tahun 2000 bertempat di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta. Pada kongres yang disebut sebagai kongres Mujahidin ini, mereka mendirikan MMI dengan amir (istilah ketua dalam struktur mereka) terpilih yaitu Abu Bakar Baasyir.
Setidaknya ada tiga alasan besar kenapa mereka mendirikan MMI. Yang pertama, belum diberlakukannya syariat Islam secara formal khususnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, karena bagi mereka dengan kuantitas muslim yang besar harusnya dapat diberlakukan syariat Islam. Kedua, menurut mereka umat Islam dewasa ini tidak memiliki tata kepemimpinan yang efektif untuk menciptakan masyarakat yang beradab sesuai dengan anjuran al-Quran.
Kemudian yang ketiga, mereka melihat bahwa umat Islam kini terjebaknya dalam tempurung kebodohan dan kejumudan, serta keterbelakangan padahal umat Islam memiliki pedoman hidup yang sangat komprehensif berupa al-Quran. Hal ini dikuatkan lagi dengan slogan mereka yang berbunyi; “Penegakan syariah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa”.
Namun dengan ketiga alasan tadi, Ahmad Syafii Maarif menepis semua argumen mereka dengan menyebutkan bahwa alasan besar dan mendasar sebenarnya karena rasa kekecewaan sebab kegagalan negara gagal dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Dalam artian tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi salah satu bukti dari kegagalan ini. Oleh karenanya Syafii Maarif menyebutkan bahwa mereka sebenarnya kecewa, namun pada akhirnya menempuh jalan pintas yang kurang tepat sebab kurangnya pengetahuan mereka mengenai peta sosiologis Indonesia yang memang tak sederhana.
Berbeda dengan Ma’arif, Gus Dur justru lebih pedas menyebut mereka dengan istilah al-nafs al-lawwamah (jiwa yang tegang). Bagi Gus Dur, dengan kedangkalan mereka memahami Islam secara utuh dan gagalnya membaca peta sosiologis dengan menyeluruh, menghasilkan output yang kurang tepat. Mereka tak sadar dengan pergerakan mereka ini, justru sebenarnya secara tidak langsung mereka sedang mengubah Islam dari agama menjadi sebuah ideologi dan alat politisasi. Dan hal ini merupakan hal yang kurang tepat.
Di samping itu semua, tak bisa dipungkiri juga bahwa pergerakan dari Majelis Mujahidin Indonesia ini terhitung cukup masif pada masanya. Hal ini dibuktikan dengan hasil survey yang mengakatan pada tahun 2006 silam, MMI mencapai posisi keempat setelah NU, Muhammadiyah, dan FPI yang mendapat dukungan dari masyarakat akan eksistensi dan peranannya.
Setelah digantinya Baasyir oleh Muhammad Thalib pada tahun 2008, eksistensi MMI mulai menurun. Yang artinya tidak sefenomenal dan semasif zaman Baasyir. Namun di tangan Muhammad Thalib ini, kekuatan MMI di bidang literasi dan intelektual berkembang dengan pesat. Hal ini mungkin dipengaruhi juga dengan pribadi Thalib yang notabennya seorang penulis dan penggiat literasi. Kurang lebih demikianlah peta dan sejarah singkat mengenai perkembangan MMI di Indonesia.