Kasus-kasus pinjaman macet kini makin banyak terjadi pada pengguna berusia di bawah 19 tahun yang belum berpenghasilan. Gara-gara paylater, banyak Gen Z (mereka yang lahir pada tahun 1997- 2012) terlilit utang akibat promosi menggiurkan.
Peneliti Institute for Development of Economic Studies (INDEF), Nailul Huda mengatakan, akibat pemahaman rendah soal risiko paylater, ditambah mitigasi risiko gagal bayar yang lemah telah memicu fitur Buy Now Pay Later (BNPL) berujung menjadi jerat utang yang melilit.
“Rata-rata kredit macetnya itu Rp2,8 juta per orang, itu adalah angka tertinggi kalau dibandingkan dengan kelompok umur lainnya,” kata Nailul dikutip BBC.
Di media sosial, fitur paylater yang berujung gagal bayar telah berulang kali menjadi pembahasan. Sejumlah pengguna Twitter sempat membagikan tangkapan layar yang menunjukkan tagihan paylater yang membuatnya merasa “sesak” membayar.
Gen Z, sebagai generasi yang paling adaptif terhadap teknologi, disebut Nailul cenderung memilih fasilitas kredit melalui platform online seperti paylater dibanding kredit perbankan.
Hal ini karena proses pengajuannya yang mudah serta persyaratannya yang minim membuat banyak orang bisa lolos meski profil keuangannya sebetulnya tidak layak untuk diterima.
“Dulu kan ada layanan finansial yang menyediakan kredit, tapi untuk menyetujuinya mereka sampai harus survei dulu ke rumah. Sekarang tidak begitu,” jelas Nailul. “Di e-commerce, misalnya, dilihat bahwa ‘oh transaksinya bagus nih bisa beli banyak barang’. Lalu itu dijadikan landasan untuk skor kredit. Padahal mungkin saja itu dibayari orang tuanya.
“Begitu juga di platform lain yang mengukurnya misalnya lewat riwayat perjalanan, misalkan saya sering ke restoran mahal, lalu itu dijadikan sebagai indikasi punya pendapatan bagus,” kata dia.
Nailul termasuk yang setuju bahwa siapa pun berhak mendapatkan akses kepada kredit, namun dia mengatakan pengukuran atas kemampuan penggunanya untuk membayar kembali mesti lebih akurat. “Kalau untuk anak-anak di bawah 19 tahun misalnya, sebaiknya ada semacam persetujuan dari orang tua atau sejenisnya. Kalau pun disetujui sebaiknya diberi limit pinjaman yang rendah,” kata dia.
Secara keseluruhan OJK menyatakan bahwa angka kredit macet paylater telah mencapai 7,61% pada September lalu. Meski demikian, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank OJK, Bambang W Budiawan, menuturkan bahwa bisnis Buy Now Pay Later (BNPL) ini tidak membutuhkan regulasi khusus.
Yang terpenting, dalam memberi persetujuan, penyedia layanan BNPL diminta untuk lebih berhati-hati dalam tahap pre-screening, memilih segmen pengguna, serta profil risiko kredit.
Survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap 3.560 responden pada Maret 2021 menunjukkan bahwa jumlah pelanggan baru paylater meningkat sebesar 55% selama pandemi.
Menurut Nailul yang mengutip data OJK, karakter pengguna yang kesulitan membayar tunggakan kredit menjadi semakin muda. “Ini perlu diwaspadai untuk karakter pinjaman macet itu sekarang perkembangannya lebih tinggi untuk peminjam yang usianya di bawah 19 tahun,” kata Nailul.
“Karena sistem paylater ini mudah, bisa connect secara digital, generasi muda yang lebih efektif banyak yang mengajukan padahal belum punya pendapatan.”
Fitur paylater seperti ini, kata dia, pada akhirnya menjadi alternatif bagi orang-orang yang “tidak bankable” untuk mengakses kredit. Apalagi dengan kolaborasi penyedia layanan multifinance dan P2P lending yang kini berkolaborasi dengan banyak e-commerce untuk menyediakan opsi pembayaran “beli sekarang, bayar nanti”.
Menurut Nailul, penyaluran kredit jenis ini pun banyak tertuju pada sektor konsumtif seperti pembelian gawai, fesyen, dan lain-lain.
Adalah Krisna (23), mengaku pertama kali menggunakan paylater sekitar tiga tahun yang lalu ketika dia masih berstatus mahasiswa dan belum berpenghasilan. Ia mengaku prosesnya cukup mudah, hanya dengan mengisi data di aplikasi yang kemudian disetujui dalam waktu kurang dari 24 jam.
“Aku ingin jajan tanpa diketahui orang tuaku, nggak perlu repot-repot minta orang tua dan merasa bisa lebih leluasa,” kata Krisna yang pada akhirnya meminta uang ke orang tuanya untuk membayar tagihan paylater tersebut.
Saat ini, dia terdaftar menggunakan paylater di dua aplikasi. Salah satunya di layanan e-commerce, yang biasanya dia manfaatkan untuk membeli hal-hal yang berkaitan dengan hobinya.
“Aku suka koleksi K-Pop dan anime nih, aku bayar pakai paylater. Aku hitung per bulan harus bayar berapa supaya di akhir bulan nggak kaget,” kata dia. Sayangnya, dia mengaku “kebablasan” sampai tagihan paylater-nya mencapai Rp5 juta.
Paylater adalah fasilitas keuangan yang memungkinkan metode pembayaran dengan cicilan tanpa kartu kredit. Sebagaimana kartu kredit, seseorang bisa melakukan pembelanjaan sekarang dan membayar nanti atau belakangan, tentu saja ditambah bunga.*