DISEBUTKAN dalam hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.” (HR. Ahmad, 2881, Bukhari 6491 dan Muslim 130)
Dalam masalah pahala, memang tidak bisa kita itung secara matematis. Namun dalam hadis di atas, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memastikan bahwa maksiat yang dilakukan hamba sekali, tidak digandakan dosanya. Tapi ditulis sekali. Sebagai pembenar bahwa Allah tidak menzalimi hamba-Nya.
“Allah sama sekali tidak berkehendak untuk menzalimi seluruh alam. (QS. Ali Imran: 108).
Ada kuantitas, ada kualitas.
Si A dan si B melakukan satu maksiat yang sama. Masing-masing mendapatkan satu dosa. Apakah kita bisa memastikan bahwa nilai dosa keduanya sama? Tentu saja tidak. Ada banyak faktor yang menyebabkan nilai dosanya berbeda. Sehingga bisa jadi yang satu mendapatkan dosa sebesar mobil, sementara satunya mendapat dosa seukuran kerikil. Semua kembali kepada latar belakang masing-masing ketika berbuat dosa.
Kita meyakini amal saleh di bulan Ramadan, pahalanya dilipatgandakan. Dan kita juga perlu sadar bahwa perbuatan maksiat yang dilakukan manusia di bulan Ramadan, dosanya juga lebih besar dibandingkan di luar Ramadan. Bisa jadi, tetap dapat satu dosa, tapi nilainya lebih besar dibandingkan ketika maksiat itu dilakukan di luar Ramadan.
Al-Allamah Ibnu Muflih dalam kitabnya Adab Syariyah menuliskan,
“Pembahasan tentang kaidah, bertambahnya dosa sebagaimana bertambahnya pahala, (ketika dilakukan) di waktu dan tempat yang mulia.”
Selanjutnya, Ibnu Muflih menyebutkan keterangan gurunya, Taqiyuddin Ibnu Taimiyah,
“Syaikh Taqiyuddin mengatakan, maksiat yang dilakukan di waktu atau tempat yang mulia, dosa dan hukumnya dilipatkan, sesuai tingkatan kemuliaan waktu dan tempat tersebut. (al-Adab as-Syariyah, 3/430).
Ada banyak dalil yang mendukung kaidah ini. Diantaranya, firman Allah,
“Siapa yang bermaksud di dalamnya (kota Mekah) untuk melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” (QS. al-Hajj: 25)
Kita bisa perhatikan, baru sebatas keinginan untuk melakukan tindakan dzalim di tanah Haram Mekah, Allah beri ancaman dengan siksa yang menyakitkan. Sekalipun jika itu dilakukan di luar tanah haram, tidak akan diberi hukuman sampai terjadi kezaliman itu.
Alasannya, karena orang ini melakukan kezaliman di tanah haram, berarti bermaksiat di tempat yang mulia. Yang dijaga kehormatannya oleh syariat. (Tafsir as-Sadi, hlm. 535).
Demikian pula, ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan kota Madinah. Beliau mengatakan,
“Madinah adalah tanah haram, dengan batas antara bukit Ir sampai bukit itu. Siapa yang berbuat kriminal di sana atau melindungi pelaku kriminal, maka dia akan mendapat laknat Allah, para Malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima amal sunah maupun amal wajibnya.” (HR. Ahmad 1049 dan Bukhari 1870)
Beliau memberikan ancaman sangat keras, karena maksiat ini dilakukan di tanah haram, yang dimuliakan oleh syariat.
Kita kembali kepada dosa di bulan Ramadan. Mengapa dosanya lebih besar? Orang yang melakukan maksiat di bulan Ramadan, dia melakukan dua kesalahan, Pertama, melanggar larangan Allah.
Kedua, menodai kehormatan ramadhan dengan maksiat yang dia kerjakan. Ini memberikan kita pelajaran agar semakin waspada dengan yang namanya maksiat di bulan Ramadan. Di samping maksiat itu akan merusak puasa yang kita kerjakan, sehingga menjadi amal yang tidak bermutu. Allahu alam.[KonsultasiSyariah]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2381751/dosa-maksiat-di-bulan-ramadan-dilipatgandakan#sthash.FnHwNNSG.dpuf