Bahkan Allah dan Rasul pun Malu Mengatakannya

Pada salah satu pertemuan kuliah dengan Prof. DR. Jum’ah Ali Abdul Qadir (almarhum), beliau menceritakan pengalamannya ketika mengajar di Universitas Ummul Qura Makkah Al-Mukarramah khusus untuk perempuan:

“Suatu kali ketika mengajarkan tafsir surat Ar-Rum ayat 4, saya bertanya kepada salah seorang mahasiswi, apa perbedaan antara kalimat (بِضْع) “bidh’un” dengan meng-kasrah-kan huruf ba’ dan (بُضْع) “budh’un” dengan men-dhammah-kan huruf ba’?

Jawaban mahasiswi itu sangat mencengangkan. Jawaban yang menunjukkan dia seorang perempuan yang cerdas, paham, dihiasi oleh rasa malu dan kehormatan diri.

Dia berkata:

“Adapun “bidh’un” adalah bilangan antara 3 sampai 9, sedangkan “budh’un” adalah sesuatu yang kita malu untuk menyebutkannya di depan orang lain.”

Jawaban ini sangat berkesan bagi saya sampai hari ini, ujar beliau melanjutkan cerita. Demikianlah seharusnya seorang yang mempunyai harga diri, ia harus menjaga bahasanya dari mengucapkan perkataan fulgar dan porno. Terutama dalam majlis ilmu dan forum-forum resmi seperti itu. Lebih-lebih lagi bila di sana hadir laki-laki dan perempuan. Hendaknya dijaga perasaan perempuan yang lebih halus dan lebih pemalu dari pada laki-laki.

Sekalipun seorang guru atau ustadz dituntut untuk menyampaikan sesuatu yang memalukan bila disebut dengan terang-terangan,seperti permasalahan yang berhubungan dengan perkara fikih, ia akan berusaha untuk mencari kosa kata yang bisa mewakili apa yang ia maksud, tapi terjauh dari bahasa yang tidak pantas. Namun orang yang mendengar tetap paham apa maksud perkataan itu.”

Apa yang diajarkan oleh DR. Jum’ah Ali ini sebenarnya penjelasan dari ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Di mana Al-Qur’an selalu memilih kosa kata yang sangat halus untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan laki-laki dan perempuan atau suami-istri.

Contoh, ayat Al-Qur’an mengibaratkan istri itu dengan sawah ladang, dan pergaulan dengannya dipakai istilah bercocok tanam.

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 223)

Maha Mulia Allah yang menggunakan kalimat yang sangat mulia karena Al-Qur’an akan dibaca dalam shalat dan tilawah.

Rasulullah pernah ditanya tentang seorang suami yang telah menceraikan istrinya sampai talak tiga, lalu mantan istrinya itu menikah dengan laki-laki lain. Sebelum digauli oleh suami barunya, ia ditalak oleh suami barunya itu. Apakah dengan demikian dia sudah halal menikah lagi dengan suami lamanya?

Rasulullah menjawab:

«لاَ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا كَمَا ذَاقَ الأَوَّلُ»

“Belum, sampai suami barunya itu mencicipi madunya sebagaimana suaminya yang pertama telah mencicipinya”. (HR. Bukhari Muslim)

Perhatikanlah bagaimana bersih dan indahnya bahasa Rasulullah yang mengibaratkannya dengan madu.

Aisyah menceritakan, suatu kali seorang perempuan bertanya kepada Nabi, bagaimana caranya bersuci dari haid? Rasulullah menjawab, “Ambillah sepotong kapas yang sudah diolesi harum-haruman, kemudian bersihkan dengannya.”

Perempuan itu bertanya lagi, “Bagaimana cara membersihkannya?”

Rasulullah menjawab, “Bersihkanlah dengannya!”

Perempuan itu masih bertanya lagi, “Bagaimana?”

Lalu Rasulullah berkata sambil menutupi wajahnya dengan pakaian, “Subhanallah, bersihkanlah!”

Kemudian Aisyah melanjutkan ceritanya: Lalu aku menarik perempuan itu dengan kuat dan mengatakan kepadanya, “Bersihkan bekas darahnya dengan kapas itu!”

Meskipun pertanyaan perempuan itu sangat urgent demi kesucian dan kesempurnaan ibadahnya, namun Rasulullah tetap memakai bahasa yang sangat halus, yang paling pantas dengan fitrah pemalunya seorang perempuan. Rasulullah tidak hanya mementingkan bagaimana pesan tersampaikan, tapi juga menimbang cara dan kalimat yang paling terhormat.

Amat disayangkan pada masa kita ini, sebagian ustadz dan da’i yang menyampaikan ceramah kurang memperhatikan hal ini. Bahkan seperti disengaja untuk memilih kosa kata fulgar demi membuat jama’ah tertawa. Bagaimana kita akan mengajari umat perihal malu bila kalimat para penceramahnya tanpa sengaja mengikis malu sedikit demi sedikit. Atau dia bagaikan orang yang tidak ada malu di depan jama’ahnya.

Bukankah ceramahnya itu juga akan didengar oleh anak-istri, ipar-besan, dan keluarga serta handai tolannya. Tidakkah ia malu dengan mereka semua?

Dalam sebuah hadits yang sangat masyhur Rasulullah bersabda:

«الْحَيَاءُ مِنَ الْإِيمَانِ»

“Malu itu sebagian dari iman.” (HR. Bukhari Muslim)

Ya Allah, karuniakan kami rasa malu yang sebenarnya.

 

 

sumber: Fimadani

Kuatkan Imanmu, Peliharalah Rasa Malu

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Seseorang lebih patut untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia”

“SESUNGGUHNYA setiap agama mempunyai akhlak dan sesungguhnya akhlak Islam adalah malu,” demikian hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Malu bukanlah sifat yang mudah untuk dimiiki. Malu hanya akan tumbuh dan menjadi perangai seorang Muslim manakala imannya kepada Allah dan hari akhir benar-benar sangat kokoh.

Hari ini nampaknya sebagian besar umat Islam agak abai dengan sifat malu ini. Contoh paling nyata adalah beberapa sikap kaum Muslimah yang belum menutup aurat ketika memajang foto-foto yang semestinya tidak di upload ke dunia maya malah justru sangat disenangi dan digandrungi.

Bahkan ada yang suka memasang foto dirinya saat berenang dengan pakaian yang tidak sepantasnya. Demikian pula dengan yang laki-laki yang juga memajang foto-foto anggota badan yang termasuk aurat ke dalam status Facebook-nya.

Mengenai aurat ini, perhatian Rasulullah sangat tegas. Beliau bersabda; “Sesungguhnya Allah Maha lembut, Maha malu dan Maha menutupi, Dia menyukai sifat malu dan menutupi, maka jika salah seorang dari kalian mandi, hendaknya dia menutup diri.”

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa lihat dari sikap sebagian kaum Muslimin yang tidak bersegera menunaikan kewajiban-kewajibannya. Sudah tahu waktu sholat tidak lama lagi, lantunan adzan pun mulai terdengar, tetapi masih lebih memilih asyik nonton di depan TV, bahkan sebagian lainnya masih asyik ber-Facebook ria. Hal ini juga menandakan bahwa sifat malu belum menjadi bagian tak terpisahkan dari sebagian umat Islam.

Dalam ajaran Islam, seorang Muslim yang melakukan dua contoh sikap di atas, dan termasuk Muslim yang mengabaikan imannya hanya karena urusan keduniaan, termasuk kelompok Muslim yang belum memiliki rasa malu. Mengapa demikian?

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Mereka menjawab, “Alhamdulillah, kami malu.”
Nabi pun melanjutkan sabdanya; “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah hendaknya kamu menjaga kepala dan apa yang dipahaminya, menjaga perut dengan isisnya, hendaknya kamu mengingat kematian dan hancurnya jasad sesudahnya, barangsiapa menginginkan akhirat, niscaya dia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia tetlah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi).

Itulah mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak pernah melewati malam melainkan dengan bangun untuk tahajjud. Beliau malu kepada Allah jika nikmat yang begitu besar dan amanah yang tidak ringan tidak ditunaikan secara sungguh-sungguh dengan penuh kesyukuran. Beliau malu jika sepanjang malam digunakan hanya untuk tidur. Demikianlah sifat manusia agung yang sangat pemalu, terutama kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Ketika malam Mi’raj dalam perjalanan beliau kembali ke langit dunia untuk membawa perintah mendirikan sholat, beliau bolak-balik menghadap Allah karena mendapat saran Nabi Musa agar perintah sholat yang Allah wajibkan atas umatnya dikurangi jumlah raka’atnya.

Akhirnya setelah mendapatkan keringanan menjalankan shalat lima waktu sehari semalam, Nabi Musa masih menyarankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam minta keringanan kepada Allah. “Istahyaytu min rabbi” demikian jawab manusia agung itu. “Aku malu kepada Rabbku”. Subhanallah, Rasulullah saja malu meminta keringanan lagi, lalu mengapa sebagian umat Islam tidak bersemangat mendirikan shalat.

Bahkan Rasulullah malu hanya berdoa untuk dirinya sendiri. Beliau malu kepada Allah sekaligus malu kepada seluruh umatnya jika berdoa hanya untuk diri beliau sendiri, apalagi setiap doa beliau pasti dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.

Hal ini beliau jelaskan dalam sebuah sabdanya; “Setiap Nabi mempunyai doa yang mustajab, lalu masing-masing dari mereka bersegera menggunakan doanya (di dunia), namun aku menyimpan doaku sebagai syafa’at bagi umatku di hari kiamat, ia akan didapatkan Insya Allah oleh siapa pun dari umatku yang mati daam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun.” (HR. Bukhari).

Jika Rasulullah malu kepada kita sebagai umatnya, dan mengkhususkan doa mustajabnya untuk kita, lalu mengapa kita tidak malu mengabaikan amanah dan sunnah-sunnah beliau, sementara kita selalu berharap mendapat syafaatnya kelak di hari kiamat?

Malu dalam Pergaulan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam juga sangat memperhatikan rasa malu dalam pergaulan. Aisyah mengatakan bahwa beliau senantiasa menjaga diri dari yang tidak baik (iffah) dan menjaga kesendirian. “Nabi seorang yang tidak suka berkata kotor, tidak gemar menjelek-jelekkan, dan tidak berteriak-teriak di pasar,” demikian tutur istri beliau yang banyak meriwayatkan hadits-haditsnya.

Urusan malu adalah urusan iman dan termasuk perkara yang besar. “Malu itu termasuk dari iman, dan iman itu di dalam surga, keburukan ucapan termasuk sikap tidak peduli (kurang ajar) dan sikap tidak peduli itu adalah di neraka,” demikian tegas Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oeh Tirmidzi.

Rasulullah menjelaskan bahwa malu adalah lawan dari keburukan ucapan, ia tidak akan pernah sejalan dengannya. Manakala kita menjumpai manusia yang lisannya selalu menjelek-jelekkan orang lain, dan membangga-banggakan dirinya, cukuplah bukti bahwa orang itu tidak punya rasa malu yang berarti cacat keimanannya. Dan, tidak ada yang dikehendakinya melainkan kehidupan dunia belaka.

Di sinilah fungsi utama akhlak. Oleh karena itu akhlak dalam Islam itu meliputi banyak sisi, mulai dari akhlak kepada Allah, manusia dan alam semesta.

Maka dari itu, milikilah akhlak yang mulia karena hanya dengan akhlak mulia itu seorang Muslim akan memiliki rasa malu yang sebenar-benarnya. Bukan rasa malu yang umum disalahpahami oleh kebanyakan manusia, dimana malu hanya ditujukan kepada manusia. Padahal malu yang benar adalah malu kepada Allah bukan kepada manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Seseorang lebih patut untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud).*

Perilaku sebagian orang yang gemar mengambil hak orang lain (korupsi), tidak jujur, dan takut diketahui orang segala rencana dan perbuatannya yang merusak, semuanya termasuk sifat tercela dan menunjukkan ketiadaan rasa malu yang benar kepada Allah SWT.

Orang yang seperti itu biasanya akan shock jika keburukannya diketahui oleh orang lain, sebab baginya tidak ada yang lebih ditakutkan kecuali ada manusia mengetahuinya. Terhadap Allah, orang seperti itu tidak benar-benar malu. Oleh karena itu tidak mengherankan jika mereka berani melawan perintah Allah, asalkan manusia tidak mengetahui dan menentangnya. Naudzubillah.

Terhadap orang seperti itu, Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya di antara ajaran yang manusia dapatkan dari perkataan kenabian yang pertama adalah Apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang kau mau.” (HR. Bukhari).

Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman; “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 41: 40).

Tentu penegasan Rasulullah yang terakhir itu bukanlah perintah untuk berbuat sesuka hati, melainkan untuk menghindar dari perbuatan memperturutkan hawa nafsu. Karena menuruti hawa nafsu akan menghilangkan kemampuan akal sehat dan menjadikan seorang manusia hidup tanpa iman dan karena itu tidak punya sifat malu. Padahal dalam Islam, malu adalah bagian dari keimanan.*

 

sumber: Hidayatullah

Rasa Malu Merupakan Cabang Iman yang Terpenting

Saat ini, kita banyak menyaksikan orang-orang sudah tak malu lagi mempertontonkan kemaksiatan di depan umum. Aksi kemesraan sesama jenis yang diperlihatkan kaum Lesbian, Gay, Bisek dan Transgender (LGBT), ataupun aksi para para selebritis yag mengumbar auratnya di acara-acara televisi.

Bahkan, ada juga kelompok yang mengatasnamakan HAM (hak asasi manusia) membela atau mengadvokasi mereka yang kerap mempertontonkan kemaksiatan tersebut.

Padahal, cara hidup kelompok dengan kemaksiatan itu justru menyebarkan prilaku yang tidak sehat, yang akibatnya mewabahnya virus HIV/AIDS. Alih-alih menyetop prilaku sex bebas, kelompok ini justru membagikan kondom secara gratis.

Fenomena ini membuktikan bahwa rasa malu sudah tak lagi melekat pada diri manusia, sehingga apa yang dilakukan manusia sudah seperti yang kita saksikan pada binatang.

Rasulullah sendiri jauh-jauh hari sudah mengingatkan kepada kita begitu pentingnya rasa malu pada diri manusia, dan rasa malu merupakan cabang terpenting dari iman.

 

 الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً ، أَفْضَلُهَا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

 

Iman itu mempunyai tujuh puluh cabang lebih, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.

Riwayat Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah r.a.

Menurut Kitab  Syarah Mukhraarul Ahaadiits, salah satu cabang iman adalah malu. Rasa malu ini disebutkan dalam hadist ini bahkan juga dalam hadist lainnya, hal ini menunjukkan bahwa malu merupakan cabang terpenting dari iman. Dengan kata lain, tidklah sempurna iman seseorang sebelum ia mempunyai rasa malu, yakni malu kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, serta malu kepada orang-orang mukmin.

 

 

 

Sukarja, dengan mengutip Kitab Syarah Mukhraarul Ahaadiits, Sayyid Ahmad Al-Hasyimi