Pentingnya Rasa Malu

Rasa malu sangat penting untuk menjaga diri agar terhindar dari perbuatan tercela.

Rasa malu sangat penting untuk menjaga diri agar terhindar dari perbuatan tercela. Seseorang yang memiliki rasa malu tak akan mau turut serta dalam perbuatan maksiat seperti mencuri, berzina, mengkonsumsi minuman keras. Sebab kendati pun tidak diketahui orang-orang, ia memiliki rasa malu kepada Allah SWT yang Maha Mengetahui.

Orang yang memiliki rasa malu juga menandakan memiliki kehormatan, harga diri, dan akhlak yang luhur. Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada sahabat Ali bin Abi Thalib berkaitan dengan pentingnya rasa malu pada diri seorang Muslim. Ini dapat ditemukan dalam kitab Wasiyatul Mustofa yang disusun Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syaran.

يَا عَلِيُّ، اَلدِّيْنُ كُلُّهُ فِي الْحَيَاءِ وَهُوَ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى وَالْبَطْنَ وَمَا وَعَى

Wahai Ali, agama itu semuanya terdapat pada sifat malu. Sifat malu itu kamu menjaga kepala dan apa-apa yang ada disekitarnya. Dan sifat malu itu menjaga perut serta apa-apa yang ada di dalamnya. 

Maksudnya adalah sifat malu membuat seseorang menjadi punya kehormatan, harga diri. Itu berarti orang tersebut juga menjaga agamanya. Semisal orang yang malu jika harus marah-marah berarti dia sedang menjaga agamanya, orang tak mau mencuri karena punya rasa malu maka ia menjaga agamanya. 

Karena itu juga Rasulullah juga mengingatkan agar menjaga kepala. Maksudnya jangan sampai ada sifat-sifat buruk yang masuk meracuni isi kepala dan bagian-bagian organ lain yang ada di sekitar kepala.

Misalnya saja memfitnah, menuduh, berbohong, mengadu domba, dan lainnya. Begitupun halnya dengan perut yang harus dijaga agar jangan sampai ada barang haram yang masuk. Dengan menjaga itu semua, maka seorang hamba memiliki rasa malu sehingga menjadi terhormat. Maka hamba tersebut telah menjaga agamanya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jangan Malu Mengatakan “Saya Tidak Tahu”

Seorang mukmin atau pendidik sebaiknya memiliki sikap mulia dan menjauhi dari berkata tanpa didasari ilmu yang benar. Ketika ia ditanya sesuatu yang sebenarnya ia tidak mengetahuinya, maka jangan ragu untuk mengatakan tidak tahu. Hal ini menunjukkan sikap tawadhu’ dan bahwasanya pengetahuan manusia terbatas. Justru dengan berbesar hati, berterus terang akan membuat ita lebih bersemangat dalam mencari ilmu dan lebih intens belajar.
Al-Mawardi dalam Adab Ad-Din wa Ad-Dunya hal. 123, berkata, “Jika tidak ada jalan untuk menguasai seluruh ilmu maka tidak ada cela untuk jahil pada sebagiannya. Dan jika tidak ada cela pada sebagiannya maka tidak boleh dihina untuk mengatakan “saya tidak tahu” pada apa yang tidak diketahuinya”.
Allah sangat mencela orang yang berbicara tanpa dasar ilmu karena bisa menyesatkan manusia. Ilmu Allah sangatlah luas, tidak ada makhluk yang menandinginya. Allah Dzat yang ilmunya menguasai segala sesuatu. Maha suci Allah dengan segala kebesaran kekuasaan dan pengetahuan-Nya.

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“ … dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“(Q.S. Al-Isra: 85)
Ada kisah menarik betapa sikap tawadhu’ sangat dibutuhkan pendidik agar terhindar dari kesombongan.
Dahulu, ada seorang ulama ditanya suatu masalah lalu dia menjawab, “Saya tidak tahu”. Lantas ada seorang muridnya berkata, “Saya mengetahui jawaban masalah tersebut.” Mendengar hal tersebut, sang ulama langsung memerah wajahnya dan memarahi murid tersebut.
Sang murid lalu berkata, “Wahai ustadz, setinggi apa pun ilmu Anda, tetapi Anda tak sepandai Nabi Sulaiman. Saya juga tak lebih bodoh dari burung hud-hud. Namun burung hud-hud pernah berkata kepada Nabi Sulaiman,

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ

Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini” (Q.S. An-Naml: 22)
Setelah itu, sang guru tak lagi memarahi murid cerdas tersebut” (Miftah Dar As-Sa’adah, Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I/521).
Perkataan “saya tidak tahu” bukanlah aib atau cela bagi orang yang memang tidak tahu. Bahkan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya sangat diharamkan Allah. Mengada-ada bukanlah akhlak seorang mukmin. Apalagi hanya demi gengsi pada manusia agar tidak digelari orang bodoh. Para malaikat yang mulia dan juga Rasul serta para Anbiya juga mengatakan saya tidak tahu ketika mereka benar-benar belum mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Terlebih lagi untuk perkara-perkara ghaib, yang tahu ilmunya hanyalah Allah Ta’ala.
Karakter jujur perlu ditanamkan kepada anak didik agar mereka menjadi insan yang kuat kepribadiannya. Menjauhkan anak dari sikap dusta karena ia karakter sejati orang-orang munafik. Tentu semua ini perlu keteladanan dan contoh nyata dari para orang tua dan pendidik. Tanpa diawali dengan keteladanan sangat sulit dipraktikkan oleh peserta didik.
Betapa agung ucapan sahabat Abu Darda, “Ucapan ‘saya tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu.” (Mukhtashar Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhih, Ibnu Abdil Bar, hal 225)
Semoga Allah mengokohkan kita di dalam kebenaran Islam sebagaimana jalan yang pernah ditempuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan salafuna saleh. Amin.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi:
Begini Seharusnya Menjadi Guru (terjemah), Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syaihub, Darul Haq, Jakarta, 2014
Majalah Al-Furqan, edisi 12 tahun ke-13

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10876-jangan-malu-mengatakan-saya-tidak-tahu.html

Malu Sebagian dari Iman

PADA salah satu pertemuan kuliah dengan Prof. DR. Jumah Ali Abdul Qadir (almarhum), beliau menceritakan pengalamannya ketika mengajar di Universitas Ummul Qura Makkah Al-Mukarramah khusus untuk perempuan:

“Suatu kali ketika mengajarkan tafsir surat Ar-Rum ayat 4, saya bertanya kepada salah seorang mahasiswi, apa perbedaan antara kalimat “bidhun” dengan meng-kasrah-kan huruf ba dan “budhun” dengan men-dhammah-kan huruf ba?

Jawaban mahasiswi itu sangat mencengangkan. Jawaban yang menunjukkan dia seorang perempuan yang cerdas, paham, dihiasi oleh rasa malu dan kehormatan diri.

Mahasiswi itu berkata: “Adapun “bidhun” adalah bilangan antara 3 sampai 9, sedangkan “budhun” adalah sesuatu yang kita malu untuk menyebutkannya di depan orang lain.”

Jawaban ini sangat berkesan bagi saya sampai hari ini, ujar beliau melanjutkan cerita. Demikianlah seharusnya seorang yang mempunyai harga diri, ia harus menjaga bahasanya dari mengucapkan perkataan vulgar dan porno. Terutama dalam majelis ilmu dan forum-forum resmi seperti itu. Lebih-lebih lagi bila di sana hadir laki-laki dan perempuan. Hendaknya dijaga perasaan perempuan yang lebih halus dan lebih pemalu dari pada laki-laki.

Sekalipun seorang guru atau ustadz dituntut untuk menyampaikan sesuatu yang memalukan bila disebut dengan terang-terangan,seperti permasalahan yang berhubungan dengan perkara fikih, ia akan berusaha untuk mencari kosa kata yang bisa mewakili apa yang ia maksud, tapi terjauh dari bahasa yang tidak pantas. Namun orang yang mendengar tetap paham apa maksud perkataan itu.”

Apa yang diajarkan oleh DR. Jumah Ali ini sebenarnya penjelasan dari ajaran Alquran dan sunah Rasulullah. Di mana Alquran selalu memilih kosa kata yang sangat halus untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan laki-laki dan perempuan atau suami-istri.

Contoh, ayat Alquran mengibaratkan istri itu dengan sawah ladang, dan pergaulan dengannya dipakai istilah bercocok tanam.

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 223)

Maha Mulia Allah yang menggunakan kalimat yang sangat mulia karena Alquran akan dibaca dalam salat dan tilawah.

Rasulullah pernah ditanya tentang seorang suami yang telah menceraikan istrinya sampai talak tiga, lalu mantan istrinya itu menikah dengan laki-laki lain. Sebelum digauli oleh suami barunya, ia ditalak oleh suami barunya itu. Apakah dengan demikian dia sudah halal menikah lagi dengan suami lamanya? Rasulullah menjawab:

“Belum, sampai suami barunya itu mencicipi madunya sebagaimana suaminya yang pertama telah mencicipinya”. (HR. Bukhari Muslim)

Perhatikanlah bagaimana bersih dan indahnya bahasa Rasulullah yang mengibaratkannya dengan madu.

Aisyah menceritakan, suatu kali seorang perempuan bertanya kepada Nabi, bagaimana caranya bersuci dari haid? Rasulullah menjawab, “Ambillah sepotong kapas yang sudah diolesi harum-haruman, kemudian bersihkan dengannya.”

Perempuan itu bertanya lagi, “Bagaimana cara membersihkannya?”

Rasulullah menjawab, “Bersihkanlah dengannya!”

Perempuan itu masih bertanya lagi, “Bagaimana?”

Lalu Rasulullah berkata sambil menutupi wajahnya dengan pakaian, “Subhanallah, bersihkanlah!”

Kemudian Aisyah melanjutkan ceritanya: Lalu aku menarik perempuan itu dengan kuat dan mengatakan kepadanya, “Bersihkan bekas darahnya dengan kapas itu!”

Meskipun pertanyaan perempuan itu sangat urgent demi kesucian dan kesempurnaan ibadahnya, namun Rasulullah tetap memakai bahasa yang sangat halus, yang paling pantas dengan fitrah pemalunya seorang perempuan. Rasulullah tidak hanya mementingkan bagaimana pesan tersampaikan, tapi juga menimbang cara dan kalimat yang paling terhormat.

Amat disayangkan pada masa kita ini, sebagian ustaz dan dai yang menyampaikan ceramah kurang memperhatikan hal ini. Bahkan seperti disengaja untuk memilih kosa kata vulgar demi membuat jemaah tertawa. Bagaimana kita akan mengajari umat perihal malu bila kalimat para penceramahnya tanpa sengaja mengikis malu sedikit demi sedikit. Atau dia bagaikan orang yang tidak ada malu di depan jemaahnya.

Bukankah ceramahnya itu juga akan didengar oleh anak-istri, ipar-besan, dan keluarga serta handai tolannya. Tidakkah ia malu dengan mereka semua?

Dalam sebuah hadis yang sangat masyhur Rasulullah bersabda:

“Malu itu sebagian dari iman.” (HR. Bukhari Muslim). [Ustaz Zulfi Akmal, Lc. MA/fimadani]

Maksud MALU Sebagian dari Iman

Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari kali ini memasuki hadits yang ke-24, biidznillah. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana judul yang bab yang diberikan oleh Imam Bukhari pada hadits ini ” باب الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ ” pembahasan hadits ini juga diberikan judul yang sama dalam bahasa Indonesianya, yaitu “Malu adalah Sebagian dari Iman“

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-24:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.’”

Penjelasan Hadits
Ayah dari Salim yang dimaksud dalam hadits ini tidak lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ

Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu

Kata يَعِظُ berarti menasehati, menakut-nakuti, atau mengingatkan. Dalam hadits Shahih Bukhari yang lain (bab adab, yang insya Allah akan kita bahas nantinya jika sampai di sana) disebutkan dengan kalimat وَهْوَ يُعَاتَبُ فِى الْحَيَاءِ (ia mencela sifat malu saudaranya). Mungkin dalam bahasa kita, laki-laki ini mengatakan “Engkau sangat pemalu” atau “Sifat malu itu membahayakanmu.”

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan kemungkinan bahwa laki-laki tersebut sangat pemalu hingga ia tidak ingin meminta haknya. Karena itu ia dicela oleh saudaranya.

Namun ternyata, sikap laki-laki yang mencela atau menasehati saudaranya dari rasa malu itu tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW yang saat itu lewat di depan mereka.

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman

Inilah salah satu sifat Rasulullah. Bahwa beliau tidak membiarkan sesuatu yang salah di hadapannya. Beliau tidak mendiamkan sesuatu yang keliru, kecuali menegurnya. Sebaliknya, segala hal yang terjadi atau diucapkan di hadapan Rasulullah SAW, sedangkan beliau membiarkan atau mendiamkannya, maka itu dianggap sebagai persetujuan Rasulullah SAW yang memiliki legitimasi hukum di dalam Islam. Dalam istilah hadits yang demikian itu disebut “hadits taqriri” yakni persetujuan dari Rasulullah SAW.

Maka dalam hadits ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa yang benar justru adalah tidak menghilangkan rasa malu dalam diri saudaranya. Biarkan saja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman.

“Kalaupun sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya,” tulis Ibnu hajar dalam Fathul Bari, “maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya.”

Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, “Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman.”

Malu didefinisikan sebagai sikap menahan diri dari perbuatan buruk atau hina. Sifat malu ini merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri).

Pendapat lain mengatakan bahwa malu adalah takut akan dosa karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ada juga yang berpendapat bahwa malu berarti menahan diri karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal, maupun adat kebiasaan. Pengertian yang disebutkan terakhir ini lebih umum dan mencakup definisi yang cukup luas.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkannya dengan penuh kasih sayang, dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui, dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu berarti taqrir (persetujuan) dari beliau;
3. Hendaklah seorang muslim memiliki rasa malu dan menjaga sifat itu tetap ada pada dirinya;
4. Malu adalah sebagian dari iman.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-24. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa memiliki semangat berdakwah dan memiliki rasa malu. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a’lam bish shawab.

 

PERCIKANIMAN.ORG

Urgensi Malu untuk Muslimah

Sifat malu bagi perempuan adalah perhiasan, kehormatan, sekaligus jati diri yang utama. Karena, pada hakikatnya para kaum Hawa memiliki peran strategis dan krusial di tengah-tengah peradaban.

Luhur tidaknya sebuah komunitas masyarakat dan bangsa turut ditentukan oleh sejauh mana tingkat kesalehan para wanitanya. Dan, sejarah Islam membuktikan, kegemilangan peradaban Islam ditopang oleh akhlak dan kemuliaan para perempuan.

Demikian, ujar Syekh Muhammad bin Musa as-Syarif, dalam karyanya yang berjudul Haya’ al-Mar’ah Ushamh wa Unutsah wa Zinah. Serangan bertubi-tubi dunia luar, pada intinya mencoba untuk merobohkan sedikit demi sedikit kemuliaan perempuan, termasuk memudarkan sifat malu, lewat gaya hidup, efek negatif dari keterbukaan informasi, hingga melibatkan propaganda budaya.

Padahal, bandingkan para perempuan di era awal, terkenal teguh menerapkan sifat malu. Lihatlah sikap yang ditunjukkan oleh putri dari Abu Bakar, yaitu Asma’. Suatu ketika, ia pernah menghindar lantaran malu bertemu segerombol sahabat dari kalangan Anshar. Rasulullah SAW pun menyarankannya agar mengambil arah lain.

Maka, hiasilah diri dengan malu. Sebab malu, kata seorang tokoh salaf, Abu Hatim al-Busti, berarti menjauhkan diri dari segala perilaku yang tak disukai. Selain itu, mengutip Ensiklopedi Fikih Kuwait (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah), sifat malu itu terbagi menjadi dua. Malunya seorang hamba kepada Allah SWT bila melanggar larangan-Nya dan malu melakukan segala perkara yang tak disukai, baik perkataan atau perbuatan.

Lantas, apa urgensi sifat malu bagi perempuan? Syekh as-Syarif mengatakan malu adalah bukti kecintaan tarhadap Allah SWT dan para rasul-Nya. Dan dengan malu agama seorang Muslimah akan tetap terpelihara. Malu membentengi dirinya dari tindakan yang tercela. Dan, sebab malu itu pula, kehormatan dan keanggunan perempuan terjaga.

Perempuan yang berhias dengan sifat malu akan terjaga sikap femininnya yang sejati. Jauh bedanya dengan wanita yang tomboi atau kasar, misalnya bahkan perempuan yang bersolek terlewat batas sekali pun. Kecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang dimiliki.

Sifat malu juga mempertegas identitas dan jati diri seorang perempuan. Ia akan mampu menempatkan diri secara proporsional. Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dari Busyair bin Ka’ab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Telah tertulis dalam takdir, sesungguhnya terdapat kemuliaan dalam sebagian sifat malu dan kedewasaan di bagian lainnya. Dan, bagi seorang istri sifat malu akan menambah kecintaan kepada suami.”

Syekh as-Syarif mengakui memperteguh sifat malu bukan perkara gampang. Potret ketidakmampuan perempuan menguatkan sifat tersebut, seperti tergambar dalam beragam fenomena yang muncul di masyarakat. Tak heran didapati perempuan yang berperangai kasar, gaya berbicaranya tak patut, mengumbar konflik internal keluarga ke orang lain, berbusana tak etis dan cenderung menampakkan aurat, serta seringkali didapati sebagian oknum Muslimah merokok tanpa rasa malu.

Syekh as-Syarif tak terhenti pada kritikan, ia pun mengutarakan sederet solusi untuk menanamkan rasa malu bagi perempuan sejak dini. Yang paling mendasar adalah menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan. Keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba akan tergiring untuk malu. Ketika turun perintah berjilbab dalam surah an-Nuur, segenap sahabat perempuan bergegas menuju kamar dan menutup aurat mereka. Hanya keimanan yang mendorong hal itu terjadi.

Selanjutnya, menciptakan pendidikan yang kondusif, paling tidak di level mendasar dan utama, yakni institusi keluarga. Para orang tua berkewajiban memberikan pemahaman yang memadai perihal pentingnya rasa malu bagi anak perempuan mereka.

Dan, jangan lupa memberikan suri teladan yang baik. Keteladanan memancing simpati dan ketertarikan. Berapa banyak pendidikan gagal lantaran nihil keteladanan. Ingin anak-anak perempuan Anda malu, maka mulakan dan biasakan rasa malu dari diri Anda.

Jika Tidak Malu Baca Kisah Ini, Iman Anda Bermasalah…

Imam Khatib al-Baghdadi sedang beribadah haji. Sesampainya di Makkah al-Mukarramah, beliau langsung diminta oleh jamaah kaum Muslimin untuk membacakan hadits. Tidak langsung menyanggupi, beliau meminta waktu untuk membaca al-Qur’an al-Karim, “Berikan aku waktu untuk membaca al-Qur’an.” pinta sang imam.

Beliau pun duduk di salah satu sudut Masjid al-Haram, memulai bacaan dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, Ali ‘Imran, terus sampai surat an-Naas. Beliau mengkhatamkan 30 juz dalam sekali duduk. Beliau baru selesai sebelum matahari terbit, lalu membacakan hadits untuk kaum Muslimin.

Ulama lainnya bernama Ibnu ‘Aqil. Beliau lebih suka memakan kue daripada roti kering. Saat ditanya alasannya, beliau menjawab dengan tenang, “Karena perbedaan waktu antara keduanya (memakan kue dan roti kering) bisa digunakan untuk membaca 50 ayat al-Qur’an.”

Kue lebih mudah dicerna oleh tubuh karena strukturnya yang lembut. Sedangkan roti kering relatif lebih lama karena keras sehingga menghabiskan banyak waktu. Dalam catatan Imam Ibnu ‘Aqil, memakan kue lebih beliau sukai sehingga memiliki lebih banyak waktu untuk membaca al-Qur’an.

Ketika berhaji di dua kota suci, Imam Masruq bin al-Ajda’ diriwayatkan sering tertidur ketika bersujud. Bukan lantaran mengantuk, tapi lamanya waktu yang beliau gunakan untuk melakukan gerakan ibadah yang merupakan posisi terdekat dengan Allah Ta’ala tersebut.

Sahabat mulia Urwah bin Zubair disebutkan selalu mengkhatamkan al-Qur’an dalam empat hari. Dalam sehari, beliau menikmati sekitar tujuh juz. Terus seperti itu di sepanjang usianya.

Sedangkan salah satu ahli hadits di Andalusia (Spanyol) disebutkan membaca Shahih al-Bukhari sebanyak 700 kali.

Seharusnya, kita lebih bersemangat dan bergegas untuk melakukan amalan tersebut. Sebab, kita hidup di zaman akhir dengan banyak ujian kemaksiatan di sepanjang waktu.

Sayangnya, kondisinya justru berlaku sebaliknya. Jangankan mengkhatamkan al-Qur’an sekali dalam empat hari sebagaimana Urwah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhu, sebulan satu kali khatam pun amat jarang. Bahkan ada banyak kaum Muslimin yang tidak pernah khatam dalam satu tahun.

Belum lagi terkait sujud. Banyak di antara kita yang sujud hanya dalam hitungan detik. Bahkan shalat dua rakaat dengan empat kali sujud dikelarkan dalam bilangan lima menit atau kurang dari itu.

Rasanya malu. Tapi malu juga tidak cukup. Kita harus benar-benar berbenah.

Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]

ERA MUSLIM

Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu

RASA malu itu warisan para nabi. Artinya, telah diajarkan oleh para Nabi sebelum kita. Dari Abu Masud Uqbah bin Amr Al-Anshary Al-Badry radhiallahu anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari, no. 3483)

Penilaian Hadits Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mutamar dari Ribiy bin Hirasy dari Abu Masud dari Hudzaifah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka ada perbedaan dalam sanad hadits ini. Namun, sebagian besar ahli hadits mengatakan bahwa ini adalah perkataan Abu Masud. Yang mengatakan demikian adalah Al-Bukhari, Abu Zurah, Ar-Raziy, Ad-Daruquthniy, dan lain-lain. Yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah bahwa telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Masud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga. (Lihat Jami Al-ulum wa Al-Hikam, hlm. 255, Ibnu Rajab Al-Hambali, Darul Hadits Al-Qahirah)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut: Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu. “Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam.” (Jami Al-ulum wa Al-Hikam, hlm. 255)

Yang dimaksudkan dengan adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112). Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al Quran, As Sunnah (hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-orang terdahulu. (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 207)

Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yag besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.

 

INILAH MOZAIK

Malu Jika Takut kepada Selain Allah

AMRU BIN UTBAH merupakan seorang tabi’in yang dikenal dengan kekhusyukan dalam shalat. Suatu saat beliau bersama beberapa sahabatnya mengikuti sebuah peperangan. Dan saat itu budak beliau mendapati bahwa Amru bin Utbah tidak ada pada tempatnya, hingga ia mencarinya.

Tak lama kemudian, sang budak menemukan bahwa majikannya sedang melaksanakan shalat di gunung sedangkan awan menaunginya. Dan suatu malam sang budak mendengar suara auman singa, sehingga siapa saja yang ada di tempat itu berlarian, hanya tinggal Amru bin Utbah yang sedang shalat.

Setelah persitawa itu, sang budak dan lainnya pun bertanya kepada Amru bin Utbah, ”Apakah Anda tidak takut singa?” Maka Amru pun menjawab, ”Sesungguhnya aku benar-benar malu kepada Allah, jika aku sampai takut kepada selain Dia”. (Shifat Ash Shafwah, 3/70)

 

sumber:Hidayatullah