Manfaat Psikis Ibadah Puasa

IBADAH puasa –yang sedang ditunaikan oleh umat Islam seluruh dunia saat ini– memiliki banyak manfaat. Manfaat secara fisik puasa sudah banyak dibahas di berbagai artikel dan buku. Tulisan ini berfokus pada manfaat  puasa secara psikis.

Dalam buku berjudul “Al-Qur`an wa ‘Ilmu an-Nafs” (2001: 293) karya Dr. Muhammad Utsman Najāti, disebutkan bahwa puasa memiliki banyak manfaat secara psikis. Penjelasan beliau mengenai masalah ini bisa dituangkan dalam beberapa poin berikut:

Pertama, mendidik dan melati jiwa manusia. Kedua, mengobati banyak penyakit kejiwaan, bahkan fisik.Menahan diri dari makan dan minum mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari sebulan penuh misalnya melatih manusia untuk melawan syahwat dan mengontrolnya. Upaya ini bisa menanamkan spirit takwa dalam jiwa yang menunaikan puasa.

Tujuan dari ibadah puasa –sebagaimana keterangan surah Al-Baqarah ayat 183– adalah agar orang beriman menjadi pribadi yang senantiasa bertakwa. Maksudnya, orang yang menunaikannya seakan sedang membentengi jiwanya dari berbagai kemaksiatan. Kuncinya adalah pengendalian syahwat.

Dari sini, penulis dan pembaca bisa mengerti mengapa Nabi ﷺ bersabda, “Puasa adalah perisai (tameng).” Karena peran-peran puasa pada hakikatnya mirip benteng atau baju perisai dalam perang yang fungsinya bisa melindungi dari serangan musuh. Hanya saja, yang dilindungi dalam ibadah puasa di antaranya adalah jiwa manusia agar tidak menjadi budak syahwat.

Lebih saksama, ketika hadits-hadits tentang puasa dibaca, terdapat banyak nilai puasa yang berpengaruh positif secara psikis. Misalnya, ketika puasa dilarang berkata kotor, berbuat bodoh dan sia-sia, bahkan ketika diprovokasi berkelahi maka tidak boleh dilayani, cukup membalasnya secara verbal bahwa dirinya sedang berpuasa.

Pengendalian diri semacam ini membuat jiwa semakin kuat dan mudah dikendalikan untuk berbuat taat. Bukankah Nabi Muhammad ﷺ pernah berujar, orang kuat sejati bukanlah yang jago gulat (kuat secara fisik), tapi yang kuat menahan amarah. Nah di sini, peran ibadah puasa menjadi begitu signifikan.

Jika puasa dijalankan dengan proses dan niat yang benar, maka menurut Dr. Usman Najati akan berpengaruh positif pada psikis manusia. Orang demikian akan mampu memiliki keinginan kuat dan kebulatan tekad yang akan berfungsi bukan saja dalam pengendalian diri pribadi tapi juga bisa berpengaruh pada interaksi sosial.

Tidak kalah penting dari semua itu, ibadah puasa juga bisa melatih nurani manusia sehingga ia menjadi hamba Allah yang konsisten menjaga adab-adab yang luhur. Dampak paling positifnya adalah yang jadi kontrol bukan lagi peraturan undang-undang, tapi nuraninya sendiri. Ia akan tetap melakukan kebaikan di manasa saja, meski tidak disorot media atau hiruk pikuk manusia. Ini karena nuraninya bisa menjadi kontrol.

Dalam ibadah puasa juga melatih manusia memiliki sifat-sifat luhur yang sangat berguna bagi kesehatan jiwa. Misalnya, membuatnya mampu untuk bersabar, bukan saja pada makan, minum dan hubungan intim, tapi juga dalam mengendalikan syahwat. Dengan kesabaran, maka segenap beban berat tidak membuatnya pesimis bahkan putus asa dalam perjuangan menuju akhirat.

Manfaat lain dari ibadah puasa secara psikis adalah bisa menanamkan pada jiwa orang kaya tentang rasa sakit, lapar dan kesusahan yang dialami orang-orang yang tak punya. Sehingga, nanti muncul rasa belas kasih, tidak tega kepada orang fakir miskin. Kemudian mendorongnya untuk berderma dan membantu kesusahan hidup mereka. Ini semua bisa menguatkan spirit solidaritas sosial dalam tatanan masyarakat.

Selain manfaat yang disebutkan tadi, bisa ditambahkan juga manfaat psikis dari ibadah puasa yang disebutkan oleh Ahmad Syarifuddin dalam buku “Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis” (2003: 175) di antaranya: mengantar sikap hidup takwa, membangun kepercayaan diri, mengurangi tekanan jiwa, menjaga kstabilan emosi, menjamkan mata hati dan intuisi. Itu semua bisa diraih ketika ibadah puasa dijalankan dengan sebenar-benaranya.

Untuk meraih puasa yang bisa menyehatkan secara psikis memang tidak bisa ditempuh dengan puasa biasa-biasa saja. Meminjam istilah Imam Ghazali, bukanlah puasa pada level awam yang hanya sekadar meninggalkan makan, minum dan berhubungan intim.

Tapi puasa pada level khusus dan super khusus yang berarti mengendalikan diri juga dari berbagai maksiat, dosa bahkan pada puncaknya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang bisa memalingkan diri kita dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Orang seperti ini biasa memandang ibadah puasa sebagai nilai yang terus dijalankan bukan saja dalam bulan Ramadhan, tapi pada bulan-bulan lainnya. Meski di luar Ramadhan tidak ada puasa sebulan penuh, tapi ibadah-ibadah puasa sunnah yang lain banyak sekali yang bisa dilaksanakan. Yang tak kalah penting adalah puasa dalam perngertian subtantif yang berarti pengendalian jiwa dan raga dari sesuatu yang haram.

Puasa demikian adalah sepanjang hayat, dan waktu berbukanya adalah ketika ajal menjemput. Terkait hal ini ada ungkapan menarik dari generasi salaf terdahulu:

صُمِ الدُّنْيَا وَاجْعَلْ فِطْرَكَ الْمَوْتَ الدُّنْيَا كُلُّهَا شَهْرُ صِيَامِ الْمُتَّقِيْنَ يَصُوْمُوْنَ فِيْهِ عَنِ الشَّهَوَاتِ الْمُحَرَّمَاتِ فَإِذَا جَاءَهُمُ الْمَوْتُ فَقَدِ انْقَضَى شَهْرُ صِيَامِهِمْ وَاسْتَهَلُّوا عِيْدَ فِطْرِهِمْ.

“Teruslah berpuasa selama di dunia, dan jadikanlah waktu berbukamu adalah kematian. Dunia seluruhnya adalah hari berpuasa bagi orang bertakwa. Mereka berpuasa dari syahwat yang diharamkan. Ketika ajal sudah tiba, maka telah usailah waktu berpuasa mereka, dan mereka memulai berbuka.” (Ibnu Rajab, Lathaiful Ma’arif, 293)

Dengan pemahaman demikian maka kesehatan psikis dari ibadah puasa bisa dinikmati bukan saja pada bulan Ramadhan, tapi sepanjang tahun, bahkan sepanjang hayat. Kalau kita perhatikan pada momen pertempuran Badar Kubra (2 H), mengapa umat Islam dengan bekal minim, kekuatan 3 kali lipat lebih kecil dari musuh, tapi bisa memenangkan pertempuran yang menghubah peta dunia?

Jawabannya mudah, karena pada momentum itu kewajiban puasa ditetapkan dan dampak secara psikis sangat besar. Keterbatasan-keterbatasan bekal fisik yang dihadapi akhirnya bisa dilampaui, karena mental, jiwa dan batinnya sudah menjadi pemenang. Perubahan besar itu terkandung dalam syariat puasa.*/Mahmud Budi Setiawan, LC

HIDAYATULLAH