Masuk Islam Sebab Faktor Sosiologis

Jika kita lihat dalam sejarah,  deretan orang-orang yang masuk Islam pada fase awal kebanyakan adalah mereka yang termarginalkan. Nah tulisan ini akan membahas tentang masuk Islam sebab faktor sosiologis

Sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab tarikh, pada saat Islam diproklamirkan sebagai agama, Nabi membuat perkumpulan di rumah Arqam bin Abi Arqam untuk mewadahi umat islam Sabiqul Awwalun (fase awal) hingga mencapai sekitar tiga puluh orang . Mayoritas dari mereka yang memeluk agama baru ini adalah kaum proletariat, miskin, para budak dan orang-orang lemah. 

Sebut saja, Bilal bin Abi Rabah, Zaid bin Haritsah, keduanya berlatar belakang sebagai budak. Selain itu, Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya, mereka berlatar belakang orang-orang yang lemah dan tidak memiliki prestise di tengah bangsanya sebagaimana dipaparkan oleh Syekh Sa’id Ramadhan Al-Buti mengutip dari Syirah Ibnu Hisyam. 

Fenomena ini, tidak hanya terjadi pada agama yang dibawa Nabi Muhammad, namun hampir seluruh pengikut awal para utusan Tuhan kebanyakan dari kaum yang lemah. Misalnya, kaum Nabi Sholeh as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as. [al-Buti, Fikih Sirah Nabawiyah: 83-84]

Pertanyaannya, mengapa deretan orang-orang yang masuk Islam pada fase awal kebanyakan adalah mereka yang termarginalkan?

Nyatanya, selain faktor teologis (berdasarkan keimanan), orang-orang lemah dan tertindas yang masuk Islam juga didorong oleh faktor lain untuk menerima agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Di antaranya adalah faktor sosiologis.

 Secara sosiologis, mereka sudah tidak tahan menghadapi sistem sosial, politik, maupun ekonomi yang selalu menempatkan mereka sebagai bagian yang tertindas dan termarjinalkan. Mereka muak dengan sistem perbudakan yang menjadikan mereka harus menghamba kepada kepentingan segelintir pihak yang berkuasa. 

Demikian juga dengan perempuan, mereka sudah muak hidup layaknya komoditi yang bisa diperdagangkan, bahkan kehadirannya dianggap aib keluarga dan pembawa kesialan. [al-Buti, Fikih al-Sirah al-Nabawiyah: 86]

Dalam kondisi mendambakan sistem yang berkeadilan dan memihak pada kemanusiaan, Islam datang menawarkan sistem yang membebaskan mereka dari segala bentuk tirani dan penghambaan kepada selain Tuhan. 

Islam bak angin segar datang membawa sistem yang berkeadilan dan menjunjung tinggi nila-nilai kemanusiaan. Kemuliaan seseorang dalam Islam, tidak dipandang dari segi kelamin, kekayaan, atau nasab melainkan kualitas ketakwaan.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13) 

“…sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha mengetahui dan Maha teliti” [QS. Al-Hujarat: 13]

Di sinilah titik perjumpaan antara cita-cita masyarakat kala itu dengan misi Islam sebagai agama rahmat bagi semesta. Sehingga wajar mereka cenderung mudah menerima Islam. 

Dari sisi lain, status mereka sebagai kaum proletariat mungkin mereka untuk tidak gengsi menerima suatu sistem atau ajaran baru. Dengan kalimat lain, mereka tidak memiliki prestise untuk dipertahankan. Sehingga tidak ada beban apapun untuk menerima Islam. 

Berbeda dengan mereka para elit kapitalis klasik semisal Abu Sufyan, Abu Lahab, Abu Jahal dan termasuk Abu Thalib. Mereka sedang berada di fase kejayaan untuk mendominasi bangsa Arab dalam pelbagai lini kehidupan, roda ekonomi, dominasi politik kesukuan dan semacamnya. 

Sehingga ada semacam ego dan gengsi yang menghalangi mereka menerima Ajaran Nabi Muhammad SAW. karena dengan menerima Islam, secara otomatis mereka akan disamakan dan disetarakan dengan para kaum proletariat dan budak, karena Islam memiliki konsep kesetaraan sebagai hamba.  

Meskipun secara fakta sosial, orang-orang yang menerima Islam fase awal adalah kaum marjinal dan soburdian. Akan tetapi, bukan berarti mereka yang tertindas secara sosial, politik, dan ekonomi itu, masuk Islam lantaran hanya ingin segera bebas dari belenggu tirani yang bersifat duniawi semata. 

Sebab sesungguhnya sudah sedari awal benih-benih keimanan Ilahi itu sudah merasuk dan menancap di lubuk hati mereka sebagaimana dipaparkan oleh Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buti. Hanya saja, ada dukungan secara sosiologis untuk merombak tatanan yang sebelumnya mementingkan kaum kapitalis klasik dengan konsep kemanusiaan dan keadilan yang dibawa Islam. [al-Buti Fikih al-Sirah al-Nabawiyah: 86]

BINCANG SYARIAH