Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,
أَحْكَامُ البُيُوْعِ
البُيُوْعُ ثَلاَثَةُ أَشْيَاءَ: بَيْعُ عَيْنٍ مُشَاهَدَةٍ فَجَائِزٌ ، وَبَيْعُ شَيْءٍ مَوْصُوْفٍ فِي الذِّمَّةِ فَجَائِزٌ إِذَا وُجِدَتِ الصِّفَةُ عَلَى مَا وُصِفَ بِهِ ، وَبَيْعُ غَائِبَةٍ لَمْ تُشَاهَدْ فَلاَ يَجُوْزُ .
وَيَصِحُّ بَيْعُ كُلِّ طَاهِرٍ مُنْتَفَعٍ بِهِ مَمْلُوْكٍ، وَ لاَ يَصِحُّ بَيْعُ عَيْنٍ نَجِسَةٍ، وَلاَ مَا لاَ مَنْفَعَةَ فِيْهِ.
Ahkam Al-Buyu’
Jual beli itu ada tiga macam:
- Jual beli barang yang dapat disaksikan, maka hukumnya boleh.
- Jual beli sesuatu yang dijelaskan sifat-sifatnya dalam perjanjian, maka hukumnya boleh jika sifatnya sesuai dengan yang disebutkan.
- Jual beli sesuatu yang tidak ada dan tidak bisa disaksikan, maka hukumnya tidak boleh.
Jual beli sesuatu yang suci, yang bermanfaat, dan dimiliki, maka hukumnya sah. Sebaliknya, jual beli sesuatu yang najis dan tidak ada manfaatnnya, maka hukumnya tidak sah.
SEPUTAR BUYU’
Buyu’ adalah bentuk jamak dari bai’. Secara bahasa, bai’ adalah muqobalah syai’ bi syai’, saling menukar sesuatu dengan sesuatu.
Secara istilah, bai’ adalah:
تَمْلِيْكُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ بِمُعَاوَضَةٍ بِإِذْنٍ شَرْعِيٍّ أَوْ تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ عَلَى التَّأْبِيْدِ بِثَمَنٍ مَالِيٍّ،
Kepimilikan suatu benda berupa harta dengan prinsip mu’awadhoh (saling mengambil keuntungan) dengan izin syari atau kepemilikan manfaat yang mubah yang berlaku ta’bid (selamanya) dengan tsaman (harga) yang berupa harta.
Yang tidak termasuk dalam pengertian bai’:
– al-qardh (utang piutang).
– Riba karena tidak diizinkan syariat.
– Ijaroh, karena ijaroh menggunakan ujroh (upah) bukan tsaman (harga).
Rukun jual beli ada tiga:
- ‘Aqidaan, dua orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli.
- Ma’qud ‘alaih, yaitu harga (tsaman) dan barang yang ditaksir harganya (mutsman).
- Shighah, adanya ijab dan qabul, baik dengan ijab sharih (tegas), maupun ijab kinayah (tidak tegas, tergantung niat).
Ada Tiga Macam Jual Beli
Pertama: bai’ ‘ain musyahadah, menjual sesuatu benda yang dapat dilihat, artinya hadhiroh (benda yang ada). Hukumnya adalah jaiz (boleh).
Syarat kebolehannya:
- Mabi’ (barang yang dijual) itu suci
- Mabi’ bisa diambil manfaatnya
- Mampu menyerahterimakannya pada orang yang berakad yang mana ia memiliki kekuasaan dalam jual beli
- Adanya shighah, yaitu ijab (menyatakan saya menjual kepadamu) dan qabul (menyatakan saya membeli darimu).
Kedua: bai’ syai’ mawshuf fidz dzimmah, menjual sesuatu yang disifati dalam suatu tanggungan. Hal ini dikenal dengan jual beli salam. Secara hukum, jual beli salam itu boleh jika terpenuhi syarat-syaratnya.
Ketiga: bai’ ainin ghaibah lam tusyahad, menjual sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihat oleh kedua orang yang melakukan akad. Hukumnya adalah tidak boleh melakukan jual beli semacam ini. Karena ada larangan jual beli gharar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim, no. 1513).
Jika jual beli dihukumi boleh, itu berarti jual belinya sah.
Sifat barang yang diperjualbelikan adalah:
Pertama: Suci (thahir).
Walaupun mutanajjis (terkena najis), tetapi masih bisa dicuci, maka sah untuk diperjualbelikan. Seperti misalnya pakaian yang terkena najis.
Kedua: Yang dapat diambil manfaat (muntafa’in bihi).
Pemanfaatan di sini adalah pemanfaatan yang tujuannya mubah, walaupun pemanfaatannya di masa akan datang seperti membeli anak keledai.
Ketiga: Dimiliki (mamluukin).
Maksudnya adalah yang melakukan akad memiliki atau sebagai wakil.
Keempat: Diketahui barang tersebut oleh orang yang melakukan akad yaitu ‘ain (barangnya terlihat), qadr (ukurannya), dan shifah (sifatnya).
Kelima: Barang tersebut mampu sampai pada penerima.
Barang yang tidak sah diperjualbelikan adalah:
– Barang najis atau mutanajjis yang tidak mungkin disucikan. Contoh: darah yang mengalir, bangkai, khamar, barang najis yang tidak mungkin dicuci najisnya seperti minyak dan cuka yang najis menurut kebanyakan ulama.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun Fathul Makkah, dan ia berada di Makkah,
إنَّ اللهَ ورَسُولَهُ حرَّمَ بَيعَ الخَمْرِ وَالمَيتَةِ والخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ )) فَقِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ المَيتَةِ ، فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ ، ويُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ ، وَيَسْتَصَبِحَ بِهَا النَّاسُ ؟ قَالَ : (( لاَ ، هُوَ حَرامٌ )) ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عِنْدَ ذَلِكَ : (( قَاتَل اللهُ اليَهُوْدَ ، إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمَ ، فَأَجْمَلُوْهُ ، ثُمَّ بَاعُوهُ ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamar (minuman keras, segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala.” Lalu dikatakan (kepada beliau), “Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai (dapat digunakan) untuk melapisi (mengecat) perahu, menyamak kulit, dan digunakan orang-orang untuk lampu-lampu pelita?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, (jual beli) itu adalah haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika itu, “Semoga Allah membinasakan orang Yahudi. Sesungguhnya Allah, tatkala mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan upahnya (hasil jual belinya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang dari upah jual beli anjing, walaupun anjing ada manfaatnya.
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan pelacur dan upah perdukunan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini jadi dalil diharamkannya jual beli barang najis dan yang lain diqiyaskan seperti itu pula.
– Barang yang tidak bermanfaat, yaitu kalajengking, semut, dan binatang buas yang tidak bermanfaat. Barang-barang ini tidak dianggap sebagai harta. Membelinya termasuk membuang-buang harta dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang batil. Begitu pula yang terlarang adalah jual beli barang yang pemanfaatannya haram seperti alat musik, buku sihir dan semacamnya.
– Jual beli sesuatu yang belum dimiliki oleh pembeli dan tidak ada kepemilikan padanya, dan tidak sebagai wakil.
– Jual beli barang yang majhul (tidak jelas) juga tidak sah.
– Jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan juga tidak sah.
Referensi:
Diambil dari Fathul Qarib, Al-Imta’, dan Tashilul Intifa’ bi Matan Abi Syuja’ wa Syai’ Mimma Tata’allaq bihi Min Dalil wa Ijma’.
Sumber https://rumaysho.com/32393-matan-taqrib-seputar-hukum-jual-beli.html