Melayani Makhluk Itu Melayani Allah

Dalam MatsnawiJalaluddin Rumi pernah menceritakan kisah menyentil tentang Nabi Musa. Suatu hari, Nabi Musa turun dari Gunung Sinai. Kemudian, ia bertemu dengan beberapa umatnya di sana.

Salah seorang dari umat tersebut bertanya kepada Nabi Musa, “Bisakah engkau mengundang Tuhan untuk makan malam?” Tentu saja sesaat setelah mendengar pertanyaan itu, Nabi Musa gusar, karena konsep tentang Tuhan yang dipikirkan oleh orang tersebut, menurut Nabi Musa, amat salah.

Nabi Musa pun menjawab, “Apa maksudmu? Tuhan tidak seperti yang kamu bayangkan. Dia tidak sebagaimana manusia yang memiliki mulut dan butuh makan. Tuhan itu tak terbatas, tak bisa dibayangkan, tidak makan atau minum, melampaui bentuk-bentuk fisik manusia. Dia tidak seperti kau dan aku, dia melampaui batas-batas ragawi.”

Orang tersebut pun tampak muram dan kecewa karena nyatanya harapannya untuk bisa makan malam dengan Tuhan tak terwujud. Kendati begitu, ia masih menegaskan pertanyaanya lagi, barangkali Nabi Musa berubah pikiran, “Jadi, kau yakin kalau Tuhan tidak bisa diundang untuk makan malam bersama kita?”

“Ya!” Nabi Musa menjawab dengan sungguh tegas.

Ketika Nabi Musa kembali ke Gunung Sinai, Tuhan bertanya tentang undangan makan malam dari salah seorang hamba tersebut. Tentu Nabi Musa lekas merespons, “Aku bilang kalau Engkau tidak makan dan tidak sebagaimana yang ia bayangkan.”

Tapi, nyatanya Allah malah menegur Nabi Musa dan berkata, “Kembalilah kepada mereka dan bilang pada mereka untuk menyiapkan pesta makan di sore hari untuk kedatanganku di pesta makan malam bersama mereka.”

Dapat dibayangkan dengan jelas bagaimana perasaan Nabi Musa ketika sebelumnya bilang kalau Tuhan tidak butuh makan, tetapi setelahnya ia ternyata keliru dan malah menyuruh mereka untuk menyiapkan pesta makan karena Tuhan akan datang.

Bagaimanapun, Nabi Musa tidak bisa menolak apa yang diperintahkan oleh Allah, sehingga ia pergi kembali kepada umatnya tersebut dan menyampaikan kekeliruannya—bahwa ia telah berkata Tuhan tidak butuh makan dan sebagainya—pada mereka, agar mereka menyiapkan pesta makan malam tersebut esok hari.

Akhirnya, semua orang senang mendengar kabar baik itu, bahwa Tuhan mau diundang untuk menghadiri pesta makan malam mereka. Oleh karenanya, setiap orang berantusias untuk gotong royong menyiapkan pesta makan malam tersebut.

Ketika semua orang sedang repot menyiapkan pesta makan tersebut, seorang lelaki tua yang datang dari gurun dan tampak sangat kelaparan sekonyong-konyong muncul. Ia menanyakan apakah ia boleh untuk turut serta menumpang makan dan minum di situ. Nabi Musa menjawab, “Tunggu dulu. Tuhan akan datang ke sini untuk makan malam. Tidak seorang pun boleh makan sebelum Tuhan datang. Jadi, tunggulah dulu.”

Alih-alih lekas diberi makan, orang tua yang tampak kelaparan itu malah disuruh para juru masak untuk membantu menyiapkan minuman-minumannya. Ketika semua sudah siap, orang tua yang sudah membantu menyiapkan pesta dan tampak kelaparan pun juga mesti menunggu kedatangan Tuhan.

Malam semakin suntuk, makanan-makanan menjadi dingin, tetapi Tuhan yang mereka sedang tunggu-tunggu tak kunjung-kunjung datang. Tentu saja orang-orang langsung mengeluh dan menegur Nabi Musa, “Pertama kau bilang kalau Tuhan tidak dapat diundang makan malam karena ia tidak makan, lalu kau bilang bahwa kau keliru dan Tuhan berkehendak untuk hadir pada makan malam kita, tapi nyatanya sampai sekarang Dia tak kunjung datang. Nabi macam apa kau ini?”

Keesokan harinya Nabi Musa ke Gunung Sinai dan mengaduh, “Wahai Tuhan, aku sudah berkata pada kaumku kalau Engkau tidak butuh makan, tetapi Engkau menuduhku keliru dan menyuruhku untuk bilang kepada mereka bahwa Engkau akan datang di perjamuan, tetapi malah Engkau tidak juga muncul.”

Allah pun membalas, “Aku sudah muncul. Aku datang ke sana dengan kelaparan dan kehausanku, tetapi tak seorang pun memberi-Ku makan dan minum, tak seorang pun mau melayani-Ku. Lelaki tua yang tampak kelaparan dan datang dari gurun itu adalah hamba-Ku, ketika kalian memberi makan hamba-Ku, kalian sama saja memberi-Ku makan, dan tatkala kalian melayani hamba-Ku, kalian sebenarnya melayani-Ku.”

Kisah ini membuat kita, yang selain hidup sebagai makhluk sosial, sadar bahwa sebagai makhluk spiritual ketika kita sedang memberi makan atau melayani orang lain, sebenarnya kita sedang melayani Allah. Tak diduga bahwa orang tua yang tampak kelaparan itu ternyata adalah salah satu pertanda kehadiran Tuhan, sebagai representasi atau wakil Allah yang mendatangi sebuah pesta kerena diundang.

Di tengah-tengah pagebluk yang kini masih menerpa kehidupan sosial kita, semestinya kita menyadari bahwa orang lain yang kurang mampu dari kita harus dibantu oleh kita yang lebih mampu. Hidup di era pandemi di mana kondisi ekonomi orang-orang menengah ke bawah sedang mengancam kehidupannya seharusnya membuat kita menjadi insaf bahwa mereka membutuhkan bantuan dan pelayanan kita yang lebih mampu.

Hal itu tidak sekadar muncul sebagai sebuah peristiwa moral antarmanusia, melainkan sebuah peristiwa spiritual di mana sewaktu kita membantu atau melayani orang lain, kita sesungguhnya sedang melayani Tuhan, yang artinya pelayanan itu merupakan ibadah kepada Allah. Menjadi sungguh berdosa malahan ketika melihat orang lain kesusahan, kita tidak melayaninya, lebih-lebih kalau kita malah mengambil sesuatu yang merupakan bagian dari hak dan miliknya.

Melayani Allah tidak melulu dengan beribadah yang sifatnya sangat individual seperti salat dan zikir, tetapi juga secara sosial, yaitu kita menjadi peka untuk terus ringan tangan kepada orang yang membutuhkan. Dengan demikian, sebagaimana kisah yang dituturkan Rumi, tatkala kita membantu dan melayani orang lain yang membutuhkan, hakikatnya kita sedang melayani Allah, dan tentu saja hal itu merupakan ibadah yang akhir-akhir ini tampak urgen dilakukan.

BINCANG SYARIAH