Memahami Ikhtilaf Menghindari Iftiraq

Tantangan dakwah begitu besar, cita-cita menegakkan Islam di muka bumi agar menjadi rahmatan lil ‘âlamîn masih harus diperjuangkan bersama-sama, jangan sampai ikhtilaf (perbedaan pendapat) beralih menjadi iftiraq (perpecahan)

Oleh: Dr Tiar Anwar Bachtiar

Hidayatullah.com | REALITAS perbedaan pendapat (iktilâf) adalah realitas yang omnipresent (ada di mana-mana), tidak terkecuali dalam masalah-masalah fiqih. Karena fiqih sangat dekat dengan keyakinan seseorang, maka ikhtilaf pada bidang ini seringkali dapat dengan mudah diprovokasi  untuk menjadi biang konflik dan perpecahan di kalangan umat.

Salah satu yang kita saksikan beberapa edisi dalam majalah ini adalah perbedaan pandangan masalah fiqih antara penulis-penulis Persis dengan beberapa penulis lain yang sering disebut dalam media sebagai “salafi”. Yang diperdebatkankan pun benar-benar hanya beberpa masalah furû‘iyyah, yaitu masalah isbâl, jenggot, dan sejenisnya.

Fenomena seperti ini kemungkinan akan terus terjadi di masa-masa yang akan datang seperti telah terjadi juga di masa-masa yang lalu. Namun, persoalan seperti ini sifatnya ijtihâdî-furû‘î (masalah ijtihad dalam urusan cabang agama) yang sebenarnya tidak perlu menimbulkan pertengkaran, apalagi perseteruan sepanjang masa.

Kita memang mesti memilih mana yang paling benar dan paling dekat dengan sunnah, namun tidak perlu menganggap yang berbeda dengan pilihan kita telah keluar dari sunnah, berbuat bid‘ah yang tercela, dan kurang keimanannya pada Allah Swt. Sebab, mereka pun mengasaskan pendiriannya pada keterangan dalil Al-Quran dan Sunnah, betapapun menurut kita lemah. Alhasil selama masih memiliki sandaran dalil, berarti ini merupakan ijtihad yang dibolehkan oleh Rasulullah ﷺ.

Perkara-perkara yang ikhtilaf tentu tidak hanya ini. Banyak sekali ikhtilaf fiqih yang kita saksikan di sekitar kita, baik dalam ibadah mahdhah maupun ghair mahdhah.

Bagi sebagian orang agak membingungkan. Apalagi bagi yang baru mengenal Islam, seolah-olah ajaran Islam ini banyak dan di dalam Islam banyak sekte-sekte seperti pada agama-agama lain.

Sampai ada yang berkesimpulan bahwa Islam itu ada Islam-NU, Islam-Muhammadiyah, Islam-DDII, Islam-Persis, Islam-Liberal, Islam-Puritan, Islam-Fundamentalis, dan istilah-istilah lain yang sungguh sangat merugikan Islam dan umat Islam sendiri.

Ikhtilaf dan banyaknya organisasi-organisasi di dalam Islam bukanlah sekte seperti dalam agama lain. Misalnya dalam Kristen.

Di dalam sistem kepercayaan agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, tidak dapat dibendung adanya sekte-sekte. Antara satu sekte dengan sekte yang lain hampir-hampir membentuk komunitas dan agama sendiri yang tidak mungkin lagi dipersatukan dalam sebuah payung “kekristenan”.

Bila satu sekte beribadah di satu gereja, maka dia selamanya hanya bisa dan boleh beribdah di gereja sektenya. Dia tidak bisa dan tidak boleh beribadah di gereja sekte lain. Kalau di suatu tempat tidak ada gereja yang berasal dari sektenya, dia akan memilih untuk tidak pergi ke gereja.

Perbedaan ini bahkan menjadi pemicu utama perpecahan di kalangan mereka. Jangan dikira mereka bersatu dalam satu payung dan saling mengasihi. Yang ada justru perpecahan terjadi begitu hebat. Oleh sebab itu, benarlah firman Allah Swt; “Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat.Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (QS: Al-Hasyr [59]: 14)

Di dalam Islam hal seperti itu tidak terjadi. Sekalipun ada ikhtilaf fiqih, tidak akan sampai terjadi pelarangan ibadah di suatu masjid bagi yang mazhab fiqihnya berbeda atau organisasinya berbeda.

Siapapun boleh dan bebas untuk shalat di masjid manapun, tanpa khawatir diusir karena perbedaan mazhab. Realitas yang paling mudah dilihat adalah Masjdil-Haram di Makkah.

Semua umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang tentu saja di antara mereka ada perbedaan-perbedaan pandangan mengenai masalah fiqih, bisa shalat bersama-sama di belakang Imam Masjidil Haram yang belum tentu sama secara mazhab fiqih dengan makmum.

Kalaulah ada satu gerakan atau satu mazhab di dalam Islam yang mengharamkan shalat di suatu masjid tertentu karena alasan perbedaan mazhab, para ulama di seluruh dunia akan menyepakati bahwa pandangan semacam itu sudah keluar dari koridor ajaran Islam alias bukan ajaran Islam. Sepanjang sejarah fatwa para mujtahid Islam sepanjang zaman, tidak pernah tercatat ada fatwa semacam itu. Jelas itu bukan bagian dari ajaran Islam.

Ada upaya sengaja dari kalangan orientalis dan ilmuwan Barat yang anti-Islam untuk mengkotak-kotakkan Islam agar sama seperti yang terjadi di Kristen. Oleh sebab itu, dengan sengaja para peneliti Barat mengakategorikan Islam menjadi berbagai jenis.

Katakanlah sekarang kita kenal istilah “Islam Liberal” dan “Islam Fundamentalis”; ada juga “Islam Moderat” dan “Islam Ekstrimis”; dan lain-lain. Para peneliti itu dalam berbagai penelitiannya sengaja ingin membuat penegasan atas perbedaan-perbedaan di antara umat Islam.

Mereka ingin agar satu sama lain saling melihat perbedaannya, kemudian saling tidak mau bekerja sama, hingga akhirnya bermusuhan dan berpecah belah.  Bila sudah sampai bermusuhan dan berpecah belah, di sinilah kekuatan umat Islam akan menjadi lemah.

Oleh sebab itu, Allah dan Rasul-Nya sangat mewanti-wanti agar tidak sampai terjadi perpecahan dan permusuhan. Allah Swt. Berfirman:

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS: Ali ‘Imran [3]:103);

وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُوا۟ فَتَفْشَلُوا۟ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmt dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS: Al-Anfâl [8]:46).

Perpecahan inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam. Bila telah saling bertengkar (tanâzu‘) dan berpecah-belah (tafarruq), tidak akan ada lagi kekuatan yang bisa membentengi umat Islam dari serangan mereka. Kekuatan umat Islam akan menjadi lemah.

Tidak ada upaya umat Islam yang berarti lagi bagi mereka. Oleh sebab itu, akan dengan mudah musuh-musuh Islam itu menghancurkan meluluh-lantakkan bangunan Islam, menindas umat Islam, dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat Islam.

Ikhtilaf generasi terbaik umat (Salaf)

Permusuhan, pertengakaran, sampai perpecahan tidak sam dengan banyaknya ikhtilaf fiqih dan beragamnya organisasi-organisasi Islam. Dalam hal perbedaan pendapat telah terjadi sejak awal mula masa Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah ﷺ.

Rasulullah sering berbeda pendapat dengan sahabat-sahabatnya tentang suatu hal. Umpamanya Beliau berbeda pendapat dengan Umar ibn Khaththab tentang tawanan perang Badar; berbeda pendapat dengan Abu Dzar Al-Ghifari tentang strategi Perang Ahzab atau Perang Khandaq.

Di antara para sahabat sendiri pernah terjadi perselisihan pendapat. Bahkan di masa sahabat terkenal dua mardasah (mazhab dan kecendurungan pemikiran), yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Kufah.

Madrasah Madinah dikenal sebagai Madrasah Ahlul-Hadis tempat berkumpulnya para sahabat yang banyak mngetahui informasi hadis langsung dari Rasulullah ﷺ. Sedangkan Madrasah Kufah dikenal sebagai Madrasah Ahlur-Ra’yi, tempat berkumpul para sahabat yang jauh dari Madinah sehingga sedikit saja mendapat informasi langsung dari Rasulullah ﷺ.

Sekalipun disebut Ahlur-Ra’yi (banyak menggunakan pikiran), bukan berarti mereka tidak bersandar pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Al-Quran dan As-Sunnah tetap menjadi pegangan mereka, namun karena informasi mengenai hadis relatif lebih sedikit dibandingkan dengan para sahabat yang tinggal di Madinah, mereka memilih ijtihad bila tidak menemukan jawaban mengenai masalah baru yang mereka hadapi langsung dari Al-Quran dan hadis yang mereka ketahui.

Setelah zaman sahabat pun, para imam mujtahid seperti Imam Al-Asyafi‘i, Imam Ahmad Ibn Hambal, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan para imam mujtahid lain terkadang dalam beberapa hal berbeda pendapat. Perbedaan-perbedaan itu telah sama-sama kita maklumi sekarang dan atasr-nya pun kita warisi sampai sekarang.

Ikhtilaf dalam beberapa pandangan agama itu tidak membuat mereka menjadi saling bermusuhan. Masing-masing tetap berpegang pada pandangan yang mereka anggap paling benar dan paling sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, namun satu sama lain tetap saling menghormati.

Di samping itu, mereka juga tetap membuka pintu untuk berdialog dengan lapang dada sebagai pengakuan terhadap kemungkinan salah dalam pendapat yang mereka pegang. Perhatikan bagaimana perilaku para salafush-shalih terdahulu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka.

Imam Abu Hanifah mengatakan, “Ini adalah pendapatku dan pendapat terbaik menurutku; maka siapa yang datang dengan pendapat lain yang lebih baik, kami akan menerimanya.”

Imam Malik berkata, “Aku hanyalah manusia biasa, bisa benar dan bisa salah; maka timbanglah pendapatku dengan Al-Quran dan Al-Sunnah.”

Sementara Imam Syafi‘i berkata, “Apabila ada hadis shahih yang menyalahi pendapatku, maka buanglah pendapatku ke WC”; “Pendapatku benar, namun mengandung kemungkinan salah; sementara pendapat orang lain salah, namun mengandung kemungkinan benar.”

Perbedaan-perbedaan di antara mereka yang tentu saja mereka asaskan pada Al-Quran dan Al-Sunnah, mereka anggap sebagai hal biasa. Kalaupun harus mengubah pendapat karena ada yang ternyata lebih argumentatif, lebih sahih, dan lebih sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah, bagi mereka bukan perkara yang sulit.

Imam Al-Syafi’i terkenal dengan Qaul Qadîm (pendapat lama) dan Qaul Jadîd (pendapat baru)-nya. Beliau tidak segan-segan meralat pendapat lamanya setelah diketahui ada pendapat baru yang lebih kuat dan lebih sahih.

Mereka mau terbuka, tidak ada sedikitpun rasa takabbur atas pikirannya sendiri sehingga merasa hanya pendapatnyalah yang paling benar dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Sebagai ulama yang selalu haus akan ilmu, tidak ada satu pun pendapat orang lain yang tidak diperhatikan.

Bila memang ada di antara pendapat orang lain yang lebih kuat dan agumentatif, tidak segan-segan mereka mengikuti pendapat itu, tanpa ada ganjalan apapun. Sebab, itu merupakan tanggung jawab ilmiah seorang pencari ilmu. Tidak takut pula mereka ditinggalkan oleh para pengikutnya karena mengikuti pendapat imam yang lain yang ternyata lebih sahih.

Agar ikhtilâf tidak jadi iftirâq

Sikap para shalafush-shalih yang patut menjadi teladan kita itu memperlihatkan dua hal saat berbeda pndapat: ikhlas dan tidak ta‘ashshub (fanatik). Ikhlas menjadi pegangan pokok dalam segala pekerjaan mereka.

Keikhlasan ini membuat mereka tidak memiliki niat lain selain mengharap ridha Allah Swt. Perwujudannya dalam menuntut ilmu dan memegang satu pendapat adalah dengan benar-benar mengasaskan semua pendapatnya pada Al-Quran dan Al-Sunnah yang benar.

Kalaupun harus berijtihad, maka ijtihad itu dilakukan dengan benar-benar memohon pertolongan Allah agar tidak terjerumus pada pendapat yang salah, bukan didasarkan pada rasa tinggi hati atas kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Sebisa mungkin hawa nafsu ingin membantah orang lain atau hanya sekedar ingin beda dari yang lain dihidarkan. Di dalam hatinya tidak terbersit satupun motivasi selain ingin mencari kebenaran karena Allah Swt.

Menghindarkan diri dari ta‘ashshub (fanatik) atas mazhab atau pendapat sendiri adalah akhlak kedua yang dikedepankan oleh para salaful-ummah itu. Mereka memang beramal atas apa yang mereka pahami dan mereka anggap paling benar seperti kata Imam Abu Hanifah di atas.

Namun demikian, pendapat ini tidak lantas mereka bela mati-matian sampai mengabaikan hakikat dari apa yang sedang dibelanya, apalagi sampai mengorbankan ukhuwah, bertengkar, menimbulkan permusuhan, dan berseteru dengan orang-orang yang berbeda pendapat. Dia tetap memberikan kemungkinan untuk direvisinya pendapat yang dipegangnya itu, diganti dengan pendapat lain. Bila perlu, mereka akan mengikuti pendapat yang sebelumnya ditolak.

Kedua sikap di atas pada gilirannya membuka pintu dialog yang seluas-luasnya di antara mereka sehingga perbedaan yang terjadi tidak berlanjut pada pertengkaran, permusuhan, dan perpecahan yang sangat dibenci oleh Islam.

Sekalipun berbeda pendapat, namun mereka tetap berada dalam satu payung jamâ‘atul muslimin kriterianya berdasarkan hadis shahih adalah “orang yang mengikuti Rasulullah dan para shabatanya” atau “orang yang berpegang teguh pada warisan Rasulullah ﷺ Al-Quran dan Al-Sunnah.”

Selama sama-sama masih mengakui Allah dan Rasul-Nya dan selama Al-Quran dan Al-Sunnah dijadikan landasan dalam berpikir, berijtihad, dan mengemukakan pendapat, siapapun orangnya, dari mazhab manapun dia, dari organisasi dan kelompok manapun, akan tetap dihormati. Inilah landasan yang kokoh bagi persatuan seluruh komponen umat Islam.

Perpecahan terjadi bukan karena perbedaan pendapat fiqih dan perbedaan organisasi tempat berjuang. Pertengkaran dan perpecahan terjadi karena tiga hal: ke-tidakikhlas-an (memperturut hawa nafsu), ta‘ashshub (fanatik), dan kebodohan.

Pertama; ketidakikhlasan atau memperturutkan hawa nafsu (ittibâ‘ al-hawâ’) dalam berpendapat menjadi penyebab utama perbedaan pendapat berubah menjadi pertengkaran dan kemudian perpecahan. Sebagian orang atau kelompok ada yang mengeluarkan suatu pendapat bukan didasarkan benar-benar ingin mencari kebenaran dengan berpegang pada Al-Quran dan Al-Sunnah secara konsisten, melainkan hanya ingin asal berbeda dan dikenal.

Lebih buruk lagi ada yang mengeluarkan pendapat dengan mengikuti pemikiran-pemikiran musuh-musuh Allah, mengabaikan pendapat-pendapat para ulama salafush-shalih terdahulu, bahkan secara sengaja mengabaikan Al-Quran dan Al-Sunnah itu sendiri.

Kalau sudah muncul pendapat dengan landasan motivasi seperti ini akan sulit untuk dicarikan titik temu dengan pandangan-pandangan lain. Bila niat sudah bukan karena Allah Swt akan mudah setan menggelincirkannya pada pertengkaran dan permusuhan.

Kedua, sikap ta‘ashshub (fanatik) terhadap pendapat yang dipegang

Dalam kasus ini, bisa jadi pendapat yang dipegangnya dilandasi oleh niat mencari kebenaran, ikhlas karena Allah Swt. Namun, di tengah perjalanan pencariannya itu muncul bisikan-bisikan setan untuk memegang pendapat itu secara mutlak, seolah-olah pendapat itu sama dengan Al-Quran dan Al-Sunnah sendiri, padahal hanya ijtihad yang memiliki kemungkinan salah dan benar.

Akibatnya, ia memaksakan pendapat itu kepada orang lain. Semua orang harus sama dan sepandangan dengan dirinya. Kalau ada orang yang berbeda, dianggap bid‘ah dan telah keluar dari ajaran Islam.

Padahal, jelas orang lain pun memiliki sandaran dalil dari Al-Quran dan Al-Sunnah yang menunjukkan bahwa mereka pun berpegang pada Al-Quran dan Al-Sunnah yang berarti berpegang pada al-jama‘ah. Inilah yang disebut sebagai sikap ta‘ashshub madzhabi atau ta‘ashshub hizbi yang oleh Allah disinyalir dalam Al-Quran, Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). (QS. Al-Mu’minûn [23]:53).

Ketiga, kebodohan

Kebodohan atau ketidaktahuan terhadap hakikat masalah yang diperselisihkan seringkali mendorong pada perpecahan. Di antara orang-orang yang berbeda pendapat itu tidak memahami bahwa sangat mungkin terjadi ikhtilâf dalam memahami syari‘at, sehingga kemudian bersikap seolah-olah hanya ada satu pemahaman yang benar, yaitu pemahaman yang dimilikinya.

Mereka tidak tahu bahwa Al-Quran sendiri sebagai pegangan tidak pernah berisi pertantangan antara satu ayat dengan ayat ang lain. Bila terjadi perbedaan pendapat, itu sama sekali bukan dari Allah, bukan Al-Quran itu sendiri.

Oleh sebab itu, orang yang mengerti akan menyadari bahwa perbedaan pendapat itu adalah murni datang dari pikiran manusia yang lemah dan nisbi. Kalau ini tidak disadari, maka perbedaan pendapat sangat mudah menjerumuskan para pemegangnya ke dalam pertengkaran dan perpecahan.

Allah Swt. berfirman mengenai Al-Quran yang isinya tidak mungkin bertentangan (ikhtilâf) sebagai berikut. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. Al-Nisâ’ [4]:82).

Di antara hal tindakan-tindakan yang akan menggiring umat ke dalam suasana kebodohan yang bisa menimbulkan perpecahan di antaranya:

a). Umat dibatasi hanya boleh membaca buku-buku tertentu dari pengarang-pengarang tertentu dengan maksud agar tidak terpengaruhi pikiran lain. Pada gilirannya, cara ini akan membutakan mata umat bahwa di hadapannya banyak pemikiran dan perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam.

Dengan begitu, umat akan dipaksa untuk meyakini bahwa pendapat yang benar hanya satu dan akan timbul sikap fanatik pada pendapat itu.

b). Pemimpin suatu organisasi atau garakan memaksakan akan pemikiran para pengikutnya sama dan seragam dalam memahami agama. Pada gilirannya tindakan seperti ini menggiring umat untuk bersikap taklid kepada para pemimpin.

Padahal, yang paling penting harus dijaga oleh pemimpin dalam satu organisasi atau gerakan adalah ketaatan organisasi kepada pimpinan untuk mencapai misi bersama tegaknya kalimat Allah di muka bumi, bukan memaksakan agar pikiran menjadi sama dan seragam. Penyeragaman cara berpikir umat akan membuat umat menjadi bodoh dan fanatik terhadap golongan dan organisasinya sehingga berpotensi besar menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat.

c). Tidak diketahuinya fiqh aulawiyyât (fikih tentang prioritas amal). Masing-masing gerakan dan organisasi, biasanya mendirikan organisasi mandiri karena ada pekerjaan khusus yang digarap.

Misalnya, ada organisasi atau gerakan yang hanya bergerak di bidang dakwah aqidah, dakwah ibdah mahdhah; ada juga yang khusus bergerak di bidang sosial, politik, dan sebagainya. Bila tidak dipahami mana yang mesti didahulukan saat ini dan mana yang nanti boleh diakhirkan, masing-masing kelompok merasa bahwa bidang garapannyalah yang paling penting.

Padahal, di tempat yang berbeda sangat mungkin ada prioritas yang berbeda yang harus dijalankan. Bila ini tidak diketahui dengan baik, perbedaan-perbedaan jenis gerakan akan mendorong pada perpecahan umat.

d). Kepentingan jangka pendek sesaat akan memaksa para pemimpin untuk “membodohi umat” agar mendukungnya. Misalnya demi kepentingan mengejar jabatan, seorang pemimpin rela membodohi umat dengan janji-jani kosong, ketaatan semu, dan sikap ‘ashabiyah.

Kepentingan jangka pendek yang mengorbankan umat seperti ini, saat ini, sangat berpotensi memecah belah umat. Sebab, kepentingan jangka pendek semacam ini mudah disusupi fitnah dan cacian pada kelompok lain yang berbeda kepentingan hanya sekedar untuk meraup suara.

Dalam jangka pendek, suara bisa saja diraih, namun umat tetap bodoh dan perpecahan di kalangan umat akan berbekas begitu lama dan hingga sulit disembuhkan.

***

Tantangan dakwah di hadapan kita begitu besar. Cita-cita untuk menegakkan Islam di muka bumi agar menjadi rahmatan lil ‘âlamîn masih harus diperjuangkan terus dengan sungguh-sungguh oleh seluruh komponen umat. Perjuangan itu tidak akan pernah tercapai, bila di antara umat, satu sama lain saling bertengkar dan berpecah belah yang akarnya adalah memperturutkan hawa nafsu, sikap fanatik, dan kebodohan.

Jangan sampai hal itu berlarut-larut, apalagi sengaja dipelihara. Bila itu terjadi, yang akan bersorak senang adalah musuh-musuh Islam karena kemenangan akan tetap mereka genggam. Niatkanlah dalam diri kita masing-masing untuk bersatu dengan komponen umat yang lain agar dakwah dan cita-cita tertinggi Islam dapat segara terwujud. Wallâhu A‘lamu bi Al-Shawwâb.*

Dosen Universitas Padjajaran Bandung, peneliti INSISTS

HIDAYATULLAH