Ini Cara Membayar Hutang pada Orang yang Sulit Dijumpai Keberadaannya

Hari ini, siapa sih orang yang bebas hutang? Sekecil apapun. Bisa hutang materi maupun non materi. Seringkali karena kebutuhan yang sangat mendesak, kita sebagai makhluk sosial juga sering merepotkan orang lain dengan berhutang. Tentu dengan niat mengembalikannya.

Kata hutang jika ditinjau dalam istilah fiqih sering disebut sebagai akad irfaq. Akad irfaq sendiri dimaknai sebagai bentuk transaksi yang didasari rasa belas kasih. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, karena biasanya orang yang hendak berutang, ia tidak akan berutang pada orang lain kecuali dalam keadaan membutuhkan terhadap uang, lalu orang lain mau memberi utang kepadanya dilandasi oleh rasa kasihan kepada dirinya dengan niat membantu.

Setelah berhutang, kewajiban orang yang berhutang (Muqtarid) adalah mengembalikan/membayarnya. Karena, hutang merupakan tanggungjawab seseorang kepada sesama manusia (haqqul adami) sampai kapanpun kecuali telah membayarnya. Jika memang belum mampu dan tidak ada kemungkinan untuk membayar hutang tersebut maka terpaksa meminta kerelaannya.

Yang perlu kita ketahui dalam berhutang adalah dalam berhutang, wajib hukumnya bagi kita untuk melunasi hutang tersebut. Seseorang yang berhutang harus senantiasa bersungguh-sungguh untuk berusaha membayarnya. Bukan malah menunda-nunda sampai orang yang dihutangi lupa atau bahkan mengharap kerelaannya.

Tak jarang kita jumpai, ketika seseorang meninggal dunia, para pelayat ditanyai, “apakah jenazah masih memiliki tanggungan atau haqqul adami yang belum tertunaikan?” Mengapa ini penting ditanyakan ketika hendak dimakamkan? Sebab, hutang merupakan tanggungjawab antar sesama manusia.

Hutang tidak akan gugur hanya karena sebab ia telah meninggal dunia. Jika yang bersangkutan memang sudah meninggal dunia, maka ahli warisnya yang harus menanggungnya. Namun, jika memang benar-benar tidak sanggup maka diperbolehkan untuk meminta kerelaannya.

Meminta kehalalan (istihlal) kepada orang yang memberi utang berperan penting dalam gugurnya kewajiban membayar utang ketika ia tidak mampu membayar.

Sehingga selama seseorang masih dapat menemukan keberadaan orang yang memberi utang, namun ia tidak mampu membayar, maka ia tidak dianjurkan melakukan sedekah terlebih dahulu, tapi ia harus menemui orang tersebut dan meminta kehalalan atau kerelaan atas utang yang tidak dapat dilunasinya. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara melunasi hutang jika yang menghutangi susah dicari keberadaannya?

Menurut Hujjatul Islam Al-Ghazali, mencari keberadaannya memang merupakan sebuah kewajiban bagi seseorang yang berutang agar dapat membayar hutang yang menjadi tanggungannya. Adapun bagi orang yang memberi hutang juga memiliki kewajiban untuk mengingatkannya.

Sekarang ini justru sebaliknya, orang yang berhutang seolah-olah justru menghindari orang yang memberikan ia hutang. Bisa jadi karena malu, bisa juga karena belum dapat mengembalikan, atau memang sengaja tidak ingin mengembalikan hutang tersebut.

Tidak jarang juga ketika orang yang berhutang (muqtarid) diingatkan akan hutangnya, ia malah justru emosi, dianggap tidak mempercayai, atau tidak mampu mengembalikan. Padahal justru niatnya hanya mengingatkan bahwa ia masih memiliki hutang yang menjadi haqqul adami (hak tanggungjawab sesama manusia).

Syekh Sulaiman al-Jamal kitabnya Hasyiyatul Jamal ala Syarh al-Minhaj, menjelaskan perkara hutang ini sebagai berikut,

 ثم رأيت في منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التي بين العباد إما في المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجزعن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه في أني رضيه عنه يوم القيامة. اهــ “

Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Aabidin karya al-Ghazali dijelaskan bahwa dosa yang terjadi antar-sesama hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila memungkinkan. Jika ia tidak mampu membayar karena fakir maka ia harus meminta kehalalan (kerelaan akan utangnya) darinya. Bila tidak mampu meminta kehalalan karena pemilik harta tidak diketahui keberadaannya atau karena telah meninggal dunia tapi masih mampu untuk bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya. Dan bila masih tidak mampu bersedekah, maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri di hadapan-Nya agar kelak di hari kiamat Allah meridhai beban tanggungan harta (yang masih belum terlunaskan). (Hasyiyah al-Jamal, juz 5, hal: 307)

Itulah cara melunasi hutang kepada orang yang sulit dijumpai keberadaannya. Agar tidak menjadi beban kepada diri sendiri maka harus di distribusikan dengan cara yang benar. Semoga bermanfaat, Wallahua’lam…..

BINCANG SYARIAH