Menghina, Mengejek atau Mengolok-olok Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Perkara berikutnya yang harus kita perhatikan adalah seseorang yang menghina, mengejek atau mengolok-olok ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika seseorang mengetahui bahwa sesuatu tersebut termasuk dalam ajaran (syariat) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka menghina atau mengejeknya termasuk tindakan kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam.
Barangsiapa yang menghina Al-Qur’an, mengolok-olok kandungan (isi) Al-Qur’an, mengejek ajaran agama, atau menghina dan merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun hanya mengejek satu saja dari sifat (karakter) beliau, ini semua adalah kekafiran yang bisa mengeluarkan seseorang dari agama. Misalnya, seseorang yang menghina dan mengejek jenggot yang lebat, padahal dia mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki (memelihara) jenggot. Jika seseorang mengatakan, “Jenggot itu kotor (jelek), tidak cocok dengan peradaban modern, yang memeliharanya hanyalah orang-orang kuno dan kampungan”, padahal dia mengetahui jenggot itu termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini termasuk kekafiran.
Demikian pula orang-orang yang menghina, mengejek atau sekedar bersenda gurau dengan adanya surga, neraka, atau mengolok-olok kenikmatan di surga seperti bidadari, atau mengejek jenis adzab (hukuman) tertentu di neraka, ini juga termasuk kekafiran.
Semua tindakan ini tidaklah muncul dari seseorang yang di dalam hatinya terdapat pengagungan terhadap Allah Ta’ala, terhadap Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga pengagungan terhadap agama dan syariat Allah Ta’ala. Kekafiran ini termasuk kekafiran yang dilakukan oleh orang-orang munafik.
Allah Ta’ala berfirman,
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ
“Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya).” Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu (yaitu dengan menampakkan kemunafikan mereka, pen.)” (QS. At-Taubah [9]: 64).
Mereka (orang-orang munafik) mengolok-olok agama Allah Ta’ala, mengejek Al-Qur’an, Rasul-Nya, dan kaum muslimin, meskipun mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Tindakan ini tetap saja terlarang, sehingga mereka pun diancam, bahwa Allah Ta’ala akan menyingkap apa yang ada dalam hati mereka dan Allah Ta’ala mengetahui keadaan mereka ketika bersama dengan setan-setan mereka, yaitu mengolok-olok agama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala ancam mereka bahwa Allah Ta’ala akan menampakkan kemunafikan yang mereka sembunyikan,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja’” (QS. At-Taubah [9]: 65).
Yaitu, ketika ditampakkan kemunafikan mereka yang mengejek agama Allah Ta’ala dengan sembunyi-sembunyi, mereka berkilah, “Kami tidak berkeyakinan seperti itu, kami ini orang-orang beriman (mukmin), kami hanya ngobrol bersenda gurau dengan teman-teman kami, hanya bermain-main dan bersenang-senang saja.”
Apakah alasan mereka Allah Ta’ala terima? Tidak. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” (QS. At-Taubah [9]: 65-66).
Allah Ta’ala tidak menerima alasan mereka, namun Allah Ta’ala akan menerima taubat mereka, dengan hilangnya kemunafikan dari dalam hati mereka.
Ketika dalam perang Tabuk, ada seseorang yang berkata, “Belum pernah kami melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut dalam peperangan.”
Maksudnya, orang tersebut mengejek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca (menghapal) Al-Qur’an.
Salah seorang sahabat, ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, berkata kepadanya, “Yang kamu katakan itu dusta. Bahkan kamu adalah orang munafik. Niscaya akan aku beritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Hal ini karena para sahabat mengetahui bahwa ucapan seperti ini tidaklah keluar dari seseorang yang beriman secara lahir dan batin.
Lalu pergilah ‘Auf bin Malik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau.
Tetapi sebelum dia sampai, telah turun wahyu Al-Qur’an kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu ayat dalam surat At-Taubah yang kami sebutkan di atas).
Kata ‘Abdullah bin Umar, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu, sambil berkata,
إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
“Sebenarnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” [1]
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا
“Dan tidaklah kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan” (QS. Al-Kahfi [18]: 56).
Ini adalah di antara sebab kekafiran orang-orang kafir. Yaitu, mereka menjadikan ancaman dan peringatan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya hanya sebagai olok-olokan saja.
Ayat-ayat di atas adalah di antara dalil tegas bahwa barangsiapa yang mengejek, menghina dan mengolok-olok satu saja dari ajaran (syariat) Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah membatalkan keislamannya dan telah menampakkan kemunafikan dari dalam hatinya.
Demikian pula, ketika dia menghina orang-orang shalih karena agamanya, ini juga termasuk kekafiran. Misalnya, seseorang menghina orang lain yang memanjangkan jenggotnya, dia hina jenggotnya (yaitu, perbuatan memanjangkan jenggot), dan dia mengetahui bahwa memanjangkan jenggot termasuk ajaran agama, maka tindakan ini juga termasuk kekafiran. Juga termasuk kekafiran ketika menghina wanita muslimah yang mengenakan jilbab atau cadar.
Adapun jika yang dihina adalah orangnya, bukan agama (perbuatan) yang ada pada orang tersebut, maka ini kefasikan (dosa besar), sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar)” [2]
Orang-orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya, tentu dia akan mengangungkan apa yang Allah Ta’ala agungkan dan mencintai apa yang Allah Ta’ala cintai. Dia akan benar-benar mengagungkan dan mencintai Allah Ta’ala, Rasul-Nya, syariat-Nya, dan juga mencintai orang-orang shalih yang melaksanakan syariat tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mungkin orang seperti ini, yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, akan menghina, mengejek, dan mengolok-olok syariat-Nya. Perbuatan seperti ini hanyalah muncul dari orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kemunafikan, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits di atas. [3]
***
Diselesaikan ba’da subuh, Rotterdam NL, 17 Rajab 1439/4 April 2018
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
—
Catatan kaki:
[1] HR. Ibnu Jarir (X/119, 120), Ibnu Abi Hatim (IV/64) dari Ibnu Umar. Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad berkata, “Sanad-sanad Ibnu Abi Hatim adalah hasan.”
[2] HR. Bukhari no. 48, 6044, 7076 dan Muslim no. 64.
[3] Disarikan dari: Al-Ilmaam bi Syarhi Nawaaqidhil Islaam li Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, karya Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhaili hafidzahullah, hal. 40-41.