Memujinya Laksana Nabi, Membencinya Laksana Fir’aun

Sungguh mengerikan menyaksikan akrobat para politisi di berbagai media massa dan media sosial. Segala cara dilakukan untuk memikat pemilihnya. Saling mencari kesalahan, saling mengunggulkan dan tidak jarang pula saling membully.

Perilaku elit politik ini menular kepada para pendukungnya. Di tingkat elite perang kata terjadi, di tingkat aras bawah penuh bombardir kata-kata sampah. Fanatisme para pendukung sudah melebihi keimanan dan keyakinan dalam beragama.

Mereka yang mengidolakan dan mencintai tokohnya akan dipuji layaknya Nabi, sementara kepada yang dibenci diberikan julukan laksana fir’aun. Dilekatkan segala sifat kenabian kepada yang dicintai. Seolah dialah yang terbaik yang berperangai laksana Nabi.

Namun, kepada lawan politiknya, ia tanamkan dan hujamkan makian yang sungguh mengerikan. Seolah lawan politik begitu dzalim layaknya seorang fir’aun. Seolah masyarakat digiring dalam sebuah perang besar antara pasukan Tuhan dan pasukan setan. Sungguh mengerikan.

Allah telah memperingatkan : “… Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” [Al-Maidah 8].

Kecintaan dan kebencian sebaiknya tidak perlu berlebihan dalam mendukung calonnya. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : “Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi).

Hadist ini sangat relevan diterapkan dalam konteks politik. Bisa jadi yang kita cintai dan idolakan akan mengecewakan kita. Atau sebaliknya yang kita benci justru suatu saat ini menjadi kawan kita. Tidak ada yang abadi dalam politik. Begitulah kira-kira adigium politisi.

Akrobatik para politisi itu memang sangat mengecewakan di tengah kita membangun tatanan demorkasi yang lebih dewasa. Demokratisasi bukan sekedar terpenuhi unsur sistem,  institusi, struktur politik demokrasi yang baik, tetapi yang juga sangat penting adanya ruang kondusif bagi tumbuhnya kultur demokrasi yang sehat. Apa kata kuncinya adalah keteladanan elit dan kedewasaan masyarakat.

Jangan-jangan kita sebenarnya sedang menjalankan dan berada dalam politik yang kekanak-kanakan. Umar bin Al-Khaththab ra pernah berpesan, “Wahai Aslam, janganlah rasa cintamu berlebihan dan jangan sampai kebencianmu membinasakan.”

Aslam berkata, “Bagaimana itu?” Umar Ra berkata, “Jika engkau mencintai seseorang, janganlah berlebihan seperti halnya anak kecil yang menyenangi sesuatu dengan berlebihan. Jika engkau membenci seseorang, jangan sampai kebencian menimbulkan keinginan orang yang kamu benci celaka atau binasanya.”

Mari membangun demokrasi yang sehat dengan tampil sebagai pemilih yang dewasa. Jangan seperti anak kecil yang menyenangi idolanya berlebihan atau membenci lawannya secara berlebihan.

ISLAMKAFFAH