Membersihkan Hati sebagai Bekal Perjalanan Abadi

Selamatnya hati, dengan senantiasa melakukan pembersihan. Membersihkan hati haruslah menjadi prioritas Muslim sebagai bekal perjalanan abadi

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

Hidayatullah.com | KITA semua tentu pernah melihat atau mendengar sebuah kalimat singkat yang berbunyi, ‘Hati-hati di jalan’. Sebuah kalimat yang nampaknya semua orang bisa sepakat (Muttafaqun Alaihi) merupakan kalimat yang paling sering diucapkan sebagai bentuk peringatan dari si pengucap kepada orang yang diberi ucapan tersebut agar tetap waspada selama di perjalanan supaya selamat sampai di tujuan.

Jika kita setuju dengan ungkapan bahwa ucapan adalah doa, maka kalimat ‘hati-hati di jalan’ adalah sebuah ‘azimat’ sakral yang ironisnya kini dianggap remeh belaka sebagai sebuah basa-basi lisan semata.

Jika ditelaah lebih dalam, kalimat ‘hati-hati di jalan’ mengandung sebuah peringatan agar selama di perjalanan kita selalu waspada demi selamat sampai tujuan.  Namun jangan salah, sebagai seorang Muslim, kita memiliki sebuah worldview khas yang berbeda dengan berbagai pemahaman lain di luar Islam.

Di dalam Islam dikenal konsep akhirat, yang bermakna bahwa semua manusia tujuan akhir perjalanannya kelak adalah ke akhirat untuk kembali kepada Allah. Inilah konsep yang dikenal sebagai Sangkan Paraning Dumadi di dalam khazanah pemikiran orang Jawa yang merupakan penjabaran dari konsep Istirja’ (Innalilahi wa Inna ilaihi raji’un) di dalam Islam.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda,

 مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Apalah artinya dunia ini bagiku? Apa urusanku dengan dunia? Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya.” (HR. Ahmad).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa manusia hidup di dunia ini ibarat sebuah perjalanan yang mana tujuan pulangnya adalah ke akhirat. Dan perjalanan ke akhirat tentu merupakan sebuah jalan pulang yang maha berat.

Banyak rintangan yang mesti dihadapi baik berupa godaan setan maupun dosa diri sendiri, dimana banyak manusia jatuh berguguran saat melakoni  perjalanan mudik abadi ini.

Maka dibutuhkan bekal yang cukup untuk mengarunginya. Sehingga wajar jika kalimat yang berselimut doa seperti ‘hati-hati di jalan’ itu adalah sebuah peringatan yang bermanfaat agar si penerima peringatan tidak sembrono yang bisa berujung celaka selama di perjalanan.

Firman Allah yang berbunyi, فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى, yang artinya berilah peringatan karena peringatan itu bermanfaat (QS. Al A’la :8-9).

Disebutkan bahwa barangsiapa yang keluar untuk melakukan perjalanan daripada perjalanan dunia tanpa perbekalan, maka dia akan menyesal ketika ternyata di tengah perjalanan dia butuh kepada perbekalan tersebut yang mana penyesalan di saat  itu sudah tidak ada gunanya lagi bahkan malah akan membinasakannya belaka.

Sahabat Abu Hurairah Radhiallahu Anhu menangis ketika detik-detik kematiannya seraya mengatakan, “Hanya saja aku menangis karena jauhnya perjalananku (di alam barzakh menuju tahap akhirat berikutnya) dan sedikitnya perbekalanku.” (Majmu’ Rosa’il Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 430).

Jika seorang Sahabat  Nabi sang periwayat hadis terbanyak dengan ketawadu’annya menangis karena merasa masih sedikit perbekalannya menuju akhirat, lantas bagaimana dengan kita yang memang benar-benar tidak punya bekal sama sekali ini.

Perbekalan Utama

Di dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah berfirman,

يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٞ وَلَا بَنُونَ ٨٨ إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ ٨٩

“Pada hari yang harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88—89).

Mengenai pentingnya menjaga kebersihan hati, dikisahkan bahwa Syaikh Muhyiddin Ibnu al-Arabi berkata, “Salah seorang fakir mengundang kami untuk menghadiri pertemuan di lorong sempit berpenerangan pelita-pelita, di Mesir. Di situ berkumpul sekelompok guru. Lalu dia menghidangkan berbagai makanan. Maka mengalirlah macam-macam wadah.”

Di antaranya ada sebuah wadah kaca baru yang telah (pernah) digunakan untuk kencing. Setelah itu belum pernah digunakan lagi.

Lalu pemilik rumah meraih makanan di dalamnya, sedang para guru tadi sedang menyantap makanan.

Saat itu, tiba-tiba wadah itu berkata, “Sejak Allah memuliakanku dengan makannya para pembesar-pembesar itu dari diriku, sejak itu aku tidak rela diriku menjadi tempat kotoran sesudahnya.” Lalu wadah itu pecah menjadi dua.

Syaikh Muhyiddin berkata: Lalu aku berkata kepada perkumpulan itu, “Apakah kalian mendengar apa yang dikatakan wadah tadi?”

“Benar,” jawab mereka.

Aku bertanya, “Apa yang kalian dengar?”

Lalu mereka mengulangi ucapan wadah tadi.

Aku menukas, “Wadah itu berbicara dengan ucapan yang lain.”

“Apakah itu?”

Aku menjawab, “Demikian juga hati kalian. Sejak Allah memuliakan hati kalian dengan iman, setelah itu mereka tidak rela menjadi tempat najis, berupa maksiat dan cinta pada dunia.” (Syekh Abdul Qodir bin Ahmad Al Kuhany,  Huruf-Huruf Magis, Terb. Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2005, Hal. 20-21).

Di  dalam hadis dijelaskan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

(( إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم ))

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.”(HR. Muslim no. 2564)

Dari berbagai penjelasan di atas terlihat sangat jelas bahwa hati adalah hal “terpenting” di dalam kehidupan ini karena keselamatan manusia kelak di akhirat ditentukan oleh selamatnya hati mereka di hadapan Tuhannya.

Ini sesuai penjelasan Rasulullah ﷺ yang berbunyi,

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di setiap jasad ada sekerat daging. Manakala sekerat daging tersebut baik, akan baik pula seluruh jasad. Namun, manakala sekerat daging tersebut rusak, akan berakibat rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, sekerat daging tersebut adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim dari sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhuma).

Lantas untuk membersihkan hati apa yang harus dilakukan? Tidak ada lain kecuali melakukan laku Tasawuf (Tazkiyatun Nufus). Sebab dengan mengamalkan tasawuf (Tazkiyatun Nufus), seseorang bisa perlahan mendidik jiwa dan hatinya agar bersih dari berbagai kotoran dan penyakit.

Karena menurut sebagian ulama sufi , tasawuf adalah,

هو الخروج من كل خلق دنيي والدخول في كل خلق سني

“Tasawuf adalah keluar dari akhlak yang tercela dan masuk kepada akhlak yang mulia.” (Al Washoya An Nafi’ah Lil Imam Al Haddad, hal. 30).

Syekh Abdul Wahab As Sya’roni di dalam kitab Al Yawaqit Wal Jawahir yang beliau nukil dari kitab Ihya’ Ulumiddin milik Imam Al Ghozali Rahimahullah dan dinukil pula dari sebagian Arifin menyatakan,

من لم يكن له نصيب من علم القوم يخاف عليه سوء الخاتمة

“Barangsiapa tidak ada baginya (bagian dari) ilmu kaum (Arifin) yakni ilmu tasawuf niscaya ditakutkan atasnya mati dalam keadaan su’ul khotimah.”

Syekh Abul Hasan Al Shadzily Rahimahullah berkata,

من لم يتغلغل في هذه العلوم مات مصرا على الكبائر وهولا يعلم

“Barangsiapa yang tidak mendalami ilmu ini (tasawuf) maka dia akan terus-menerus melakukan dosa besar dalam keadaan tidak sadar.”

Ibnu Rajab Rahimahullah bahkan berkata,

الاشتغال بتطهير القلوب أفضل من الإستكثار من الصوم والصلاة مع غش القلوب ودغلها

“Sibuk dengan menyucikan hati adalah lebih baik daripada memperbanyak puasa (sunah) dan salat (sunah) yang disertai dengan menipu hati dan ada khianat dalam hatinya.”

Walhasil mengingat perjalanan menuju akhirat adalah sebuah laku mudik yang berat dan lama, perbekalan amal tentunya merupakan sesuatu yang harus diutamakan.

Dan bahwa kelak yang menjadi barometer selamatnya hamba di sisi Tuhannya adalah selamatnya hati, maka senantiasa melakukan pembersihan hati haruslah menjadi prioritas utama seorang hamba di samping melakukan amalan-amalan kebajikan.

Sehingga laku tasawuf adalah sebuah harga mati. Ini sesuai dengan perkataan Syekh Ibn Abbad dalam Syarh Al Hikam Lil Ibni Atho’illah yang mengatakan,

وهذه هي العلوم التى ينبغى للانسان ان يستغرق فيها عمره الطويل ولا يقنع منها بكثير ولا قليل

“Dan inilah ilmu yakni ilmu tasawuf yang seyogyanya bagi manusia untuk menenggelamkan usianya yang panjang di dalamnya (untuk mempelajarinya) dan tidak (boleh) merasa puas dari mempelajarinya.”

Wallahu A’lam Bis Showab.

Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan

HIDAYATULLAH