Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia cukup tinggi. Salah satu penyumbangnya adanya misoginis terhadap perempuan. Di tambah dengan narasi, bahwa memukul istri itu mendapatkan legitimasi dari kitab suci. Benarkah klaim itu? Bagaimana hukum suami memukul istri yang berlaku salah, bolehkah?
Pada prinsipnya, menyikapi istri yang berlaku “salah” itu sudah dijelaskan penanggulangannya di al-qur’an, tepatnya di surat An-nisa’ ayat 34. Bahkan secara gradual, Al-qur’an memberikan solusi.
Namun perlu dicatat, al-qur’an tidak dipahami secara literal. Kesemua tahap itu harus dijalani secara runtut. Mungkin semuanya sudah bisa dan faham mengenai makna menasehati, namun solusi kedua dan ketiga, yakni hijr dan memukul istri, sering disalahpahami. Berikut penjelasan Syekh Nawawi Al-bantani Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq az-Zaujain, halaman 17 :
(وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ) أي اعتزلوهن في الفراش دون الهجر في الكلام، ولا يضربها، لأن في الهجر أثرا ظاهرا في تأديب النساء.
Dan Hijr (jauhilah) lah istri-istri kamu dalam tempat tidurnya, maksudnya adalah jangan seranjang bersamanya, bukan dalam artian tidak menyapanya dan memutuskan komunikasi dengannya. dan tidak memukulnya, karena dalam Hijr ada pengaruh tersendiri bagi istri.
(وَاضْرِبُوهُنَّ) ضربا غير مبرّح إن أفاد الضرب، وإلا فلا ضرب. ولا يجوز الضرب على الوجه والمهالك، بل يضرب ضرب التعزير. والأولى له العفو.
Dan pukullah istri-istrimu dengan pukulan yang tidak membuatnya memar atau terluka, jika dengan memukulnya memberikan faidah, yakni bisa menghentikan nusyuznya. Namun jika dengan memukulnya tidak berpengaruh apa-apa, maka tidak diperbolehkan memukulnya.
Dalam memukul pun tidak diperkenankan memukul wajah dan anggota yang berbahaya (rawan) jika dipukul, akan tetapi denngan pukulan ta’zir (cara memukul dalam maksud memberi pelajaran), namun yang paling utama adalah memaafkannya.
Jadi memukul istri itu ada syarat dan ketentuan yang berlaku, tidak bisa seorang suami serta merta memukul istrinya dengan bertendensi pada legitimasinya al-qur’an. Amat sangat ceroboh, jika al-qur’an dipahami secara literal, di sini lah kita butuh pada interpretasi para mufassir.
Namun jika dihitung-hitung, agaknya memukul istri yang berlaku salah itu justru membuat hubungan tidak harmonis. Padahal tujuan dari memukul adalah mendidik, dan bagaimana mungkin bisa mendidik, jika hubungan sedang tidak stabil.
Bahkan patut diketahui oleh para suami, toh ketika istri sudah memenuhi prasyarat untuk dipukul, tetap yang utama itu tidak memukulnya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Bahuti, Kasyyaf al-Qina’ an Matn al-Iqna’, jilid V, halaman 210.:
وَالْأَوْلَى تَرْكُ ضَرْبِهَا إبْقَاءً لِلْمَوَدَّةِ
Yang lebih utama adalah tidak memukul istri, demi mempertahankan keharmonisan rumah tangga.
Demikianlah, konteks hukum memukul istri harus dipahami secara komprehensif. Istri bukanlah bahan pukulan, melainkan sosok yang harus disayang dan diperhatikan.