Sejatinya, tiada seorang pun yang bisa menggapai kejayaan hidup di dunia ini kecuali ia dibesarkan dengan belaian kasih sayang orang tua. Siapa sajakah orang tua yang wajib dimuliakan dan disebut-sebut namanya dalam lantunan doa seorang anak?
Pertama, orang tua yang melahirkan. Mereka adalah ayah dan ibu yang paling besar jasanya mengantarkan kita menjalani kehidupan. Terutama ibu yang mengandung dan melahirkan bersimbah darah bertaruh nyawa.
Sekiranya, kita dapat meraih kemegahan dunia dan seisinya untuk membalas jasa mereka, tentulah tak sepadan menggantikannya. Apalagi, mereka tak pernah menghitung dan mengharapkan balasan material dari anaknya, kecuali sekadar bakti (birrul walidain) yang tulus semasa hidupnya dan kiriman doa setelah kematiannya. (QS [17]:23-24, [46]:15).
Betapa mulianya mereka, hingga Allah SWT merangkai pengabdian kepada-Nya dengan kedua orang tua (QS [31]:13), terutama kepada ibu (HR Muttafaq ‘alaih).
Mereka yang menanam benih-benih keimanan (akidah tauhid), menumbuhkan ketaatan dalam pengabdian (syariah), dan menghasilkan buah kebajikan (akhlak karimah). Karenanya, jika tampil seorang anak yang sukses, sungguh kedua orang tua yang hebat mengantarkannya.
Kedua, orang tua yang mengajarkan. Mereka adalah guru-guru yang mengajar dan mendidik kita di bangku sekolah, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Jika kedua orang tua melahirkan dan membesarkan maka guru menumbuhkan segala potensi dan bakat agar berkembang dengan baik.
Sungguh, seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemuliaan (transfer of value), mengembangkan keahlian dan kemandirian (transfer of skill), dan mengajarkan kearifan (transfer of wisdom).
Murid yang hebat lahir dari sentuhan dan goresan tangan seorang guru yang hebat. Guru bukan sekadar orang tua kedua, tetapi mereka juga pewaris misi dan semangat kenabian dalam pendidikan dan dakwah Islam.
Nabi SAW juga seorang guru yang diutus untuk melahirkan generasi pemimpin dan pendidik terbaik, yaitu Sahabat (HR Muslim).
Beliau SAW guru terbaik karena dididik langsung oleh Sang Maha Guru Terbaik, yakni Yang Maha Mengetahui (‘Aalim). “Addabanii rabbii fa ahsana ta`dibii.” (Tuhanku telah mendidikku maka sempurnalah adabku). Begitulah pesan Nabi SAW.
Guru kehidupan saya, Prof KH Didin Hafidhuddin pernah bercerita. Di tengah kesibukannya yang sangat padat sebagai ulama dan dosen, ia selalu hadir ke sekolah untuk menerima rapor anak-anaknya. Beliau pun selalu memberikan uang kepada guru sebesar biaya sekolah anaknya. Subahanallah.
Kini, semua anaknya sukses dalam pendidikan, tawadhu, dan dihormati oleh semua kawan. “Muliakanlah guru di depan anakmu agar anakmu memuliakanmu dan menghormati gurunya,” demikian pesan beliau.
Saya sedih ketika seorang murid kelas 4 SD berani menuduh guru berbohong di depan orang tuanya. Apalagi, orang tua membela anaknya dan balik menyalahkan guru. Perlakuan buruk orang tua kepada guru, apalagi di depan anak, adalah kesalahan besar dalam proses pembelajaran.
Ketiga, orang tua yang menikahkan. Mereka adalah orang tua pasangan hidup kita (mertua). Jika kedua orang tua melahirkan dan membesarkan penuh pengorbanan, guru mengajar dan mendewasakan penuh ketulusan, lalu mertua menikahkan putri kesayangannya dengan penuh pengharapan.
Mereka menyerahkan putri yang sudah dilahirkan, dibesarkan, dan didewasakan untuk mendampingi perjalanan hidup kita. Mereka pun bersedia menjadi sandaran dalam membangun rumah tangga, di saat bumi tempat berpijak belum kokoh, hingga mencapai kemapanan.
Tiadalah patut jika mereka yang menghadiahkan mutiara hidupnya mendapat perlakuan yang berbeda dengan kedua orang tua yang melahirkan.
Menikahi anaknya itu berarti menyatukan dua orang tua sekaligus, yakni mereka yang melahirkan dan menikahkan. Perlakuan baik kepada mereka menjadi pembuka pintu rezeki. Itu pula anak yang pandai berbakti. Allahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung