Nikmat terbesar yang Allah SWT berikan kepada umat ini adalah agama Islam. Allah hadirkan Islam untuk kita sebagai penerang jalan dan rambu menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan Islam kita mengenal hakikat hidup, dengan Islam kita mengetahui cara mengisi hidup, dan dengan Islam kita mengetahui tujuan hidup.
“Pada hari ini Kusempurnakan untukmu agamamu, Kusempurnakan nikmat-Ku padamu, dan aku rela Islam menjadi agama-Mu.” (QS al-Maidah: 3).
Hanya saja tidak semua orang bisa menerima Islam. Banyak di antara mereka yang tidak siap dan tidak percaya kepada agama Islam. Kalau sikap ingkar dan mendustakan agama ini dilakukan oleh orang-orang kafir, tidak ada yang aneh. Namun, kalau sikap mendustakan tersebut dilakukan oleh mereka yang mengaku Muslim, ini yang aneh.
Pertanyaannya, adakah Muslim yang mendustakan agama Islam? Jawabannya ada, bahkan banyak. Sebagian mendustakan dengan lisan dan sebagian lagi mendustakan dengan amal. Sangat sering kita menjumpai Muslim yang tidak mau taat dan patuh pada ajaran agama. Inilah yang disebut mendustakan agama. Mengaku Muslim, tetapi ucapan, gerak-gerik, tingkah laku, dan amal perbuatannya jauh dari nilai-nilai Islam.
Sebagai contoh dalam surah al-Ma’un, Allah SWT memberikan satu gambaran sekaligus meluruskan persepsi tentang model orang yang mendustakan agama. Allah memulai dengan sebuah pertanyaan, “Apakah engkau pernah melihat orang yang mendustakan agama?” Barangkali sebagian menduga yang mendustakan agama adalah yang kafir atau yang tidak mau melakukan ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat, dan seterusnya. Ternyata bukan itu.
Orang yang kafir dan tidak mau melakukan ibadah mahdah sudah jelas menyimpang dan sesat. Namun, ada bentuk mendustakan agama yang kadang tidak terlintas dalam benak manusia. “Yaitu orang yang menghardik anak yatim. Serta yang tidak menganjurkan memberi makan kepada fakir miskin.”
Jadi dikatakan mendustakan agama orang yang tidak punya perhatian kepada sesama; yang tidak mau membantu orang yang membutuhkan; yang tidak iba dan tidak tergerak perasaannya untuk menolong.
Pertama-tama, anak yatim disebutkan secara khusus, bukan dhuafa secara umum, karena mereka adalah golongan yang paling membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Mereka ditinggal ayahnya saat masih kecil. Sudah sepantasnya kalau kita memberikan perhatian dan kasih sayang kepada yatim.
Sampai-sampai Rasul SAW bersabda, “Aku dan orang yang mengasuh yatim akan seperti ini (sembari menyandingkan jari telunjuk dan tengahnya) di dalam surga.” (HR al-Bukhari). Nah, orang yang mendustakan agama, jangankan memberikan perhatian, mereka malah menghardik, bersikap kasar, dan menelantarkan anak yatim.
Selanjutnya, orang yang mendustakan agama adalah yang tidak menganjurkan memberi makan kepada fakir miskin. Allah tidak mengatakan orang yang mendustakan agama adalah yang tidak memberi makan kepada fakir miskin, namun “tidak menganjurkan”.
Sebab, bisa jadi mereka memang tidak memiliki harta yang cukup atau makanan berlebih yang bisa diberikan kepada yang lain. Namun, dalam kondisi demikian, mereka masih bisa menjadi perantara dan sarana kebaikan dengan meminta orang lain yang mampu untuk membantunya. Ini seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW saat tidak punya makanan. Beliau masih berusaha membantu dengan menanyakan sahabat, siapa di antara mereka yang dapat menjamu tamu beliau yang lapar. Begitulah akhlak Muslim.
Setelah itu, dalam surat al-Ma’un, Allah SWT berbicara tentang orang shalat yang diancam celaka, yaitu yang shalatnya hanya dikerjakan secara formalitas dan ria, tanpa penghayatan dan tidak sesuai tuntunan. Apalah artinya shalat yang tidak mendatangkan kebaikan dan perbaikan akhlak?
Kesimpulannya, agama ini adalah agama rahmah, agama kasih sayang; tidak hanya sekadar shalat dan ibadah. Cukup dikatakan mendustakan agama orang yang tidak memiliki kasih sayang. Nabi SAW bersabda, “Kasih sayang tidak dicabut kecuali dari orang yang celaka.” (HR Abu Daud).
Oleh: Fauzi Bahreisy