Mengamalkan Hadits Dhoif : Apakah Berarti Berdusta Atas Nama Nabi Saw?

Di sebuah pengajian umum, salah satu tokoh Wahhabi Indonesia secara lantang mengatakan bahwa mengamalkan hadits dhoif berarti telah berdusta terhadap Nabi saw. sebab hadits dhoif merupakan hadits yang kebenarannya masih ragu-ragu, antara “ya” dan “tidak”. Mengamalkan kebenaran yang ragu-ragu ini berarti telah masuk ke dalam sabda Nabi saw:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

Artinya: “Waspadalah bagi kalian dan kepada prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah paling dustanya informasi” (HR. Bukhari dan lainnya)

Namun benarkah hadits tersebut larangan tentang menduga-duga suatu kebenaran ?

Bagi umat yang hidup belakangan seperti saat ini, untuk menguji kebenaran suatu hadits baik dari aspek makna atau kwalitasnya harus menggunakan pendekatan ilmu hadits atau penafsiran-penafsiran ulama’ hadits. Sebab umat-umat yang hidup belakangan ini tidak pernah bertemu langsung kepada Nabi saw atau pun murid-muridnya, sahabat Nabi saw. Sehingga sangat tertutup untuk mengetahui hakikat makna dari sebuah hadits yang benar-benar sesuai kehendak Nabi saw. Namun dengan menggunakan pendekatan teori ilmu hadits atau penafsiran-penafsiran dari pakar hadits akan lebih condong kepada kebenaran dari pada menjauh dari teori tersebut.

Tentang hadits di atas, Ibn Hajar al Atsqalani di dalam kitab Fathul Bari menjelaskan ada banyak pemahaman yang ditawarkan dari para ulama’ hadits. Pertama, menurut al Khattabi dan lainnya, bahwa yang dimaksud dzon (dugaan) adalah bukan berarti larangan melakukan suatu perbuatan yang diperoleh dari hasil dugaan. Tetapi hadits tersebut larangan menyatakan (meyakinkan) terhadap sesuatu yang masih praduga. Artinya informasi yang sifatnya praduga tidak boleh dianggap ini adalah informasi yang sudah pasti benar. Karena informasi yang sifatnya praduga bisa benar dan bisa salah. Keduanya masih dalam lingkaran kemungkinan saja. Sebab itu tidak boleh, informasi yang masih praduga dianggap sudah yakin, lebih-lebih hal tersebut berkaitan dengan akidah atau hukum.

Sampai di sini sebenarnya sudah terjawab, mengamalkan hadits dhoif tidak masalah. Tetapi menjadi bermasalah jika menganggap hadits dhoif sebagai hadits shahih atau mutawatir. Sebab itu, Ahlussunnah wal Jama’ah tetap mengamalkan hadits dhoif untuk fadhoilul a’mal (fadhilah-fadhilah suatu perbuatan) saja tidak pada masalah hukum. Karena Ahlussunnah wal Jama’ah tetap meyakini bahwa hadits dhoif adalah hadits yang kebenarannya masih rendah dibanding hadits shahih.

Kedua, penafsiran al Qurtubi bahwa hadits tersebut berbicara tentang larangan berprasangka buruk kepada seseorang tanpa ada sebab atau bukti-bukti, seperti menduga seseorang berbuat zina padahal ia tidak mempunyai bukti kuat untuk menyatakan seseorang tersebut melakukan zina. Maka dari itu tidak boleh menduga seseorang mencuri, merampok, dan mabuk-mabukan serta lainnya, sebelum ada bukti melakukan perbuatan dilarang tersebut. Ini alasan mengapa hadits tentang “dhon” tersebut juga diiringi dengan larangan lainnya seperti mencari-cari kesalahan orang lain, atau menghasud orang lain.

Penafsiran yang dilakukan oleh al Qurtubi ini sangat sesuai dengan firman Allah swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa (QS. al Hujurat: 12)

Penafsiran-penafsiran lainnya tidak jauh berbeda dengan kedua ulama’ di atas. Ini artinya hadits tersebut bukan larangan menduga adanya suatu kebenaran sebagaimana diklaim Wahhabi. Tetapi berbicara larangan berprasangka buruk kepada orang lain. Sebab berprasangka buruk kepada orang menyebabkan kebencian terhadap orang tersebut. Adapun mengamalkan hadits dhoif untuk menambah perbuatan-perbuatan baik yang inklud di dalam keumuman dalil lain sama sekali tidak akan menimbulkan keburukan kepada siapa pun. Justru hal tersebut menambah ibadah dan keimanan serta kecintaan kepada agama Islam sendiri.

Wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH