Mengejar Dunia untuk Kepentingan Akhirat?

“Kejarlah akhirat, maka dunia akan mengikuti”,ucapan yang sering digaungkan di kalangan masyarakat maupun dunia maya. Hanya saja sepertinya belum sedikit di antara umat islam yang keliru dalam menafsirkan ungkapan “Mengejar akhirat dunia akan mengikuti” ini. Jika sekiranya tidak keliru menafsirkan pun, niscaya umat islam tidak menjadi umat terbelakang.

Sebuah data yang dimuat oleh kompas.com menyajikan tujuh orang terkaya di dunia, mirisnya dalam data tersebut, sama sekali tidak ada nama orang islam yang tercantum. Tujuh orang terkaya yang dimaksud semuanya didominasi kalangan kafir.

Jika demikian adanya, maka orang-orang islam kemana, dan apa yang sedang mereka lakukan? Apakah shalat? ngaji?, dengan argumen bahwa mengutamakan akhirat jauh lebih baik ketimbang dunia. Nampaknya penafsiran seperti ini perlu diluruskan. Mengejar akhirat tidak sesempit hanya shalat, ngaji, maupun ibadah mahdhah lainnya saja.

Kontribusi dalam bidang yang berbau keduniaan juga diperlukan untuk kemajuan umat. Dalam bidang pendidikan yang bersifat saintifik misalnya, umat islam perlu berkontibusi disana, yakni mempelajari dasar-dasar ilmu umum, melakukan observasi, kemudian menyimpulkan. Bahkan lebih keren lagi jika hasil observasi itu dihubungkan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-qur’an.

Hal demikian dapat membuka peluang untuk meluruskan pemahaman yang masih keliru tentang Al-qur’an, bahwa kalam Tuhan yang satu ini sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis mitologis, sehingga sebagian umat Islam menganggap Al-qur’an hanya sebagai mantra pengusir setan, tidak dijadikan sebagai referensi dalam mencari kebesaran Tuhan melalui ayat kauniyah, dan kemudian dibuktikan dengan observasi (Kajian ilmiah). Dengan begitu umat islam bakal lebih percaya diri, mengikuti perkembangan zaman yang identik dengan keilmuan-keilmuan yang bersifat saintifik.

Selain kontribusi dalam hal keilmuan, kontribusi dalam hal finansial juga sangat diperkukan. Sebab menjadi sesuatu yang sulit untuk dielak, bahwa uang bukan segalanya, namun segala sesuatu sudah pasti membutuhkan uang. Termasuk dalam persoalan ibadah, shalat pun membutuhkan uang. Shalat akan sah jika pelakunya menutup  aurat dengan sempurna, zaman sekarang penutup aurat yang digunakan ketika shalat dikenal dengan sebutan mukenah untuk perempuan, dan sarung, atau gamis, atau baju kokoh untuk laki-laki. Kain penutup aurat yang digunakan demi kesempurnaan shalat itu, tidak mungkin didapatkan dengan cuma-cuma, tentu ada proses akad jual beli antara penjual mukenah dengan pembeli, sementara jual beli akan terlaksana apabila barang yang dibeli itu dibayar, nah bayarnya pakai apa kalau bukan pakai uang?. Contoh lain nya adalah melakukan ibadah haji demi kesempurnaan rukun islam, modal kesiapan tenaga atau niat yang baik saja belum cukup, jika belum ditopang oleh finansial yang memadai.

Membangun generasi yang berkualitas, merupakan sebuah tindakan yang membutuhkan banyak modal. Terbentuknya generasi berkualitas dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satu di antara faktor utamanya adalah gizi yang cukup. Kecukupan gizi dapat diperoleh dari makanan yang menjadi sumber gizi seperti daging sapi, ikan salmon, sayuran segar, telur, dan masih banyak lagi. Pada umumnya makanan yang menjadi sumber gizi memiliki harga yang cukup fantastis bagi golongan menengah kebawah, namun seperti itu lah kenyataan berkata. Sebagian besar sesuatu yang ada di dunia ini hampir tidak ditemukan ke gratis an dalam perolehannya, kecuali dengan pengorbanan tenaga, waktu, bahkan dengan uang, apalagi untuk mencetak generasi umat berkualitas yang nantinya diharapkan mampu mengangkat kembali derajat umat ini hingga benar-benar murni menjadi umat terdepan, umat rahmatan lil ‘alamin yang peradabannya tak lagi tertinggal jauh oleh umat lain, tentu membutuhkan perjuangan, dan pengorbanan yang lebih ekstra.

Penguasaan ilmu dan harta sejatinya dapat menjadi ladang amal. Dengan ilmu setidaknya kita telah memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim, menyelamatkan diri dan sesama muslim dari sifat kebodohan, maupun ketidaktahuan sedangkan kecukupan harta akan menghindarkan kita dari perilaku meminta-minta, bukannkah Islam mengajarkan kepada umat nya agar senatiasa menjaga iffah?

Untuk itu Islam juga mengajarkan kepada umat nya agar memposisikan akhirat pada hati, sedangkan dunia diposisikan dalam genggaman, bukan malah meninggalkan salah satu nya. Jika sekiranya Al-qur’an berpesan kepada pembacanya untuk lebih mencondongkan diri pada dunia atau akhirat saja (berat sebelah antara dunia dan akhirat), lantas apa gunanya kalimat Robbana aatina fiddunya hasanah wa fil akhirati khasanah waqina ‘adzaabannar yang sering diucapkan sebelum menutup doa?

ISLAMKAFFAH