Mengenal Penyimpangan-Penyimpangan Jahmiyah dalam Akidah

Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh

Jahmiyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi. Dahulu, ia adalah seorang ulama dan ahli fikih. Ia disebutkan sebagai salah satu ulama madzhab Hanafi. Namun, ia memiliki perhatian besar terhadap ilmu logika. Ia suka berdebat dan banyak berdebat, sampai ia pun berdebat dengan sebagian kaum Dahriyah dari India. Kaum Dahriyah adalah kaum yang meyakini bahwa yang mematikan dan menghidupkan adalah dahr (waktu). Sebagian ulama menyebut mereka dengan Duhriyah, dari kata duhr yang artinya kecerdasan. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al-Murtadha dalam kitab Tajul Arus dan beberapa ulama lain.

Tujuan Jahm bin Shafwan berdebat dengan kaum Dahriyah dari India yang dikenal dengan sebutan As-Sumniyah adalah karena mereka tidak mengimani adanya Allah Ta’ala sama sekali. Jahm bin Shafwan ingin meyakinkan mereka tentang adanya Allah. Sehingga terjadilah perdebatan antara mereka, yang aku sebutkan rincian debatnya di tempat yang lain. Dari situ akhirnya Jahm bin Shafwan pun merumuskan akidah Jahmiyah. Hasil akhir dari perdebatan tersebut dan rinciannya disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Khalqu Af’alil Ibad. Hasil dari perdebatan tersebut, Jahm menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah dan mengimani adanya Allah yang mutlak tanpa sifat.

Akidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifat

Dalam masalah akidah, Jahmiyah menafikan seluruh sifat-sifat Allah. Mereka hanya menetapkan satu sifat bagi Allah yaitu sifat al-wujud al-muthlaq (Allah itu ada tanpa sifat). Mereka menekankan syarat al-ithlaq (adanya Allah harus tanpa sifat).

Dalam masalah al-asma’ (nama-nama Allah), Jahmiyah meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat. Dan mereka menafsirkan nama-nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Contohnya, nama Allah Al-Karim mereka maknai sebagai dzat yang diciptakan ketika seseorang melakukan ikram (kedermawanan). Nama Allah Al-Qawiy adalah kekuatan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Al-Aziz adalah kemuliaan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Itu semua ada dalam diri setiap manusia.

Sehingga mereka menafsirkan nama-nama Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Nama-nama tersebut sama sekali tidak mengandung makna sifat Allah karena mereka menafikan sifat-sifat Allah Ta’ala. Mereka menganggap nama-nama Allah sebagai label yang tidak ada tafsirnya dari sisi namanya. Namun, mereka menafsirkan nama-nama tersebut sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa Jahmiyah menafikan nama dan sifat Allah. Ini pernyataan yang benar adanya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Jahmiyah tidak menafikan nama-nama Allah. Karena mereka nyatanya tetap menetapkan nama-nama Allah dengan metode mereka, yaitu meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat, tanpa mengandung sifat. Ini semisal jika anda menamai sebuah sebuah sungai dengan nama sungai salsabil, atau menamai sebuah pedang dengan pedang hisam atau pedang mihnad, atau yang lainnya, untuk menunjukkan sesuatu tanpa memiliki makna. Tidak mengandung makna bahwa pedang ini kuat, atau pedang ini dibuat di India atau sifat lainnya. Tidak mengandung makna sama sekali. Maka, Jahmiyah meyakini bahwa semua nama Allah itu menunjukkan kepada dzat yang sama (yaitu Allah), namun tidak mengandung sifat-sifat. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ayat-ayat tentang nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah. Maksudnya, nama-nama Allah tersebut memberikan pengaruh pada sifat-sifat yang ada pada makhluk sehingga nama-nama tersebut adalah makhluk.

Akidah Jahmiyah dalam masalah iman

Adapun dalam masalah iman, Jahmiyah adalah Murji’ah. Mereka adalah firqah Murji’ah yang paling fatal penyimpangannya. Mereka mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui) saja. Oleh karena itu, Fir’aun dan iblis itu beriman menurut Jahmiyah (karena mereka mengetahui adanya Allah).

Jahmiyah mengkafirkan Fir’aun bukan karena Fir’aun tidak beriman, namun karena Fir’aun menyelisihi perintah. Jahmiyah mengkafirkan iblis bukan karena iblis tidak beriman, namun karena iblis menyelisihi perintah. Demikian seterusnya. Akidah mereka ini masyhur karena mereka memang mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui).

Akidah Jahmiyah dalam masalah takdir

Adapun dalam masalah takdir, Jahmiyah adalah Jabriyah. Mereka memandang bahwa amalan manusia itu seperti bulu yang tertiup angin. Tidak memiliki pilihan sama sekali. Manusia dipaksa untuk melakukan semua perbuatannya. Perbuatan manusia adalah perbuatan Allah dan bukan pilihan manusia sama sekali.

Akidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib

Adapun dalam masalah perkara gaib, Jahmiyah mengingkari perkara gaib yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka juga mengingkari kekalnya surga dan neraka. Mereka meyakini bahwa surga tidak selamanya ada, dan neraka juga demikian. Karena menurut mereka, jika surga dan neraka itu kekal, maka ini adalah kezaliman. Sehingga surga dan neraka itu semuanya fana, menurut mereka.

Berbeda dengan Mu’tazilah yang mereka juga meyakini surga dan neraka itu fana. Surga adalah negeri kenikmatan dan neraka adalah negeri adzab. Namun, kelezatan surga itu kekal dan kepedihan neraka itu kekal. Menurut Mu’tazilah, kelezatan dan kepedihan itu kekal, namun negerinya yang tidak kekal.

Inilah bermacam-macam akidah dari Jahmiyah, semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita semua dari akidah tersebut dan menjauhkan kita dari perkara-perkara yang membawa kepadanya.

Sumber: Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh (6: 417).

***

Penerjemah: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/90951-mengenal-penyimpangan-penyimpangan-jahmiyah-dalam-akidah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id