Kamis, 28 April, bangsa ini mengharu biru. Kiai Ali Mustafa Yaqub tutup usia. Di tengah perpecahan dan sengkarut masalah umat, salah satu ulama besar Indonesia wafat.
Haji Pengabdi Setan, sebuah warisan pena dari sejumlah buku yang pernah ditulis beliau. Buku kumpulan tulisan Kiai Mustafa Yaqub di beberapa media itu memberi pencerahan bagi kita ihwal akidah, ibadah, dan muamalah.
Pesan kuat buku fenomenal itu, almarhum mengingatkan: betapa jauh lebih penting, lebih bermanfaat, dan lebih bernilai ibadah sosial dibanding ibadah individual.
Ibadah individu belum tentu membuat orang lain gembira, tapi ibadah sosial bisa dipastikan membuat orang lain dan tentu diri sendiri lebih bahagia. Hari-hari seperti ini, umat seperti terlena terhadap keasyikan ibadah individu.
Hingga tidak sedikit yang merasa sudah menjadi ahli ibadah, ahli beragama, tetapi lupa atau malah sengaja menutup mata pada masalah di sekitarnya. Lalai terhadap masalah keumatan yang semakin mengundang air mata. Warisan karya Haji Pengabdi Setandari almarhum sangat pas untuk kita renungi kembali.
Lihatlah sekeliling kita: bapak-bapak yang sudah pensiun ramai di masjid, ibu-ibu muda ramai di mal, sedang anak remajanya ramai di jalanan. Betapa mudah kita menyaksikan ABG berpacaran di jalan, di tempat-tempat umum, bercumbu tanpa malu.
Betapa mudah menemui anak perempuan bercelana pendek memamerkan auratnya. Betapa gampang menyaksikan anak-anak kecil di masjid dibentak pengurus masjid, dalam beberapa kasus diusir hanya karena berisik. Hai, mereka kan anak kecil. Wajar.
Kita semua pernah merasakan menjadi anak kecil. Entah mengapa terjadi perubahan sikap dan budaya pengurus masjid era dulu dan masa kini. Apakah pengurus itu tidak pernah menikmati kelezatan bermain di masjid ketika masa kanak-kanak dan remaja?
Anak-anak kecil yang berisik dibentak atau diusir. Dampak dari itu, lihatlah, ketika mereka besar lebih banyak ditemui di jalanan. Di tempat game online, di penyewaan Play Station, dalam beberapa kasus ada yang sudah merangsek di kantong-kantong kemaksiatan. Ramahlah pada anak. Bukalah masjid 24 jam. Jika memang ada kehilangan di masjid, itu tidak ada artinya dibandingkan kehilangan jamaah masjid.
Kawan berseloroh, masjid yang dikunci itu masjid atau kantor sih? Anak kecil kok dibentak atau diusir? Bagaimana mau menciptakan generasi yang akrab dengan masjid? Ketika anak tak betah di rumah, tak senang di sekolah, diusir dari masjidnya, mereka pun memilih jalanan dan kantong maksiat sebagai tempat nyamannya.
Saat menginjak usia remaja terjadi masalah, eh, disalahkan juga. Kasihan sekali mereka. Tengok sejumlah daerah, dari desa sampai kota. Rerata kerusakan sosial remaja: alkohol, narkoba, seks bebas, dan aborsi. Dalam kasus lain, depresi dan bunuh diri. Mau dikemanakan masa depan bangsa ini jika kerusakan generasi dibiarkan?
Ini diperparah dengan tayangan televisi yang semakin merusak. Jika pengurus masjid tidak mengubah sikap dengan tetap mengunci masjid, tidak ramah pada anak, tidak memaklumi, tetap represif ke anak-anak yang berisik; jangan heran jika kerusakan remaja tambah akut. Mari pekalah, lebih pedulilah pada ibadah-ibadah sosial.
Masjid adalah benteng umat. Fondasi awal menciptakan generasi, mengokohkan ukhuwah. Masjid adalah benteng pendidikan dan kebangkitan umat. Sekarang, betapa sulitnya kita mencari masjid yang ramah anak. Di Jakarta sampai Kalimantan, sama.
Kita telah kehilangan Kiai Mustafa Yaqub. Sebelumnya, kehilangan Habib Mundzir al-Musawa. Dengan jasa beliau, berdiri Majelis Rasulullah. Melalui dakwah lembutnya, almarhum Mundzir bisa menarik para remaja mengikuti pengajian.
Para remaja makin akrab dengan zikir dan shalawat. Majelis ini tersebar tak hanya di Jakarta, tetapi merangsek ke Jawa hingga Kaltim, bahkan juga di kota lainnya. Serupa dengan majelis itu, ada Majelis Nurul Mustafa.
Tiap malam berbondong-bondong orang mendatangi kedua majelis itu. Dari anak sampai orang tua. Terlepas dari kekurangan yang ada, kita patut bangga karena masih ada kelompok yang terus menyiarkan Islam melalui cara dan pola masing-masing.
Tetapi, sejak era Jokowi-Ahok, umat dikagetkan aturan pelarangan takbir keliling, sahur on the road, bahkan di Monas sempat dilarang tabligh akbar. Masya Allah. Padahal, budaya takbir keliling itu untuk syiar dan sudah ada sejak puluhan tahun lalu.
Betapa sakitnya hati umat. Betapa sabarnya kita. Pelbagai alasan konyol, syiar Islam makin dibatasi. Betul memang, masih banyak cara syiar lain. Namun, syiar pun tetap harus menggunakan strategi. Salah satunya menarik umat tanpa keluar dari syariat.
Takbir dan sahur keliling, Majelis Rasulullah, Nurul Mustafa, majelis serupa lainnya, program One Day One Juz atau ODOJ, Tahajud Berantai, Subuh keliling dan lain; membuktikan itu. Kita belajar dari Rasulullah, Sahabat, Wali Songo, dan lainnya.
Rasulullah selalu lembut tapi tegas. Keras terhadap kafir yang menyakiti umat. Rasulullah memaklumi pola sahabat berdakwah dan menyebarkan syiar. Ada yang keras seperti Khalifah Umar dan Abu Dzar, banyak yang lembut seperti Abu Bakar, dan lainnya. Ini perlu diteladani para pengurus masjid dan seluruh aktivis dakwah.
Tidak ada di antara mereka yang terus menyalahkan, apalagi mudah mengafirkan. Di akhir zaman ini makin gampang ditemui kelompok yang mudah mengafirkan saudara seakidahnya, namun diam terhadap kaum kafir yang sering menyakiti umat.
Umat lelah berpuluh tahun dihabiskan berdebat hanya berbeda rakaat tarawih, qunut atau tidak, dan semisalnya. Padahal, masing-masing memiliki dalil dan sandaran hukum. Alhamdulillah, perdebatan itu sudah tidak ada lagi.
Hal menggembirakan ketika ada jamaah Majelis Rasulullah dengan atribut jaket hitam khasnya mengikuti pengajian di Majelis Nurul Mustafa, dan sebaliknya. Tidak ada sekat kelompok. Mereka juga gabung mengikuti ODOJ, dan semisalnya.
Jika tiap kelompok Islam saling menghargai dan mendukung pola dakwah masing-masing kelompok Islam lainnya (asal tidak terbukti sesat sesuai Quran, sunah, dan ijma ulama), betapa indahnya. Jangan lagi mudah terpancing dengan isu memecah.
Saya membayangkan, tokoh bisa bersatu dan mendesak dicabutnya larangan takbir keliling dan sahur on the road sebagai satu syiar. Atau mengganti syiar lain, seperti zikir atau shalawat konvoi berkendara secara periodik.
Apa yang disenangi remaja ketika takbir dan sahur keliling? Mereka senang berkeliling di jalan, seperti hiburan tapi tanpa sadar akan tertanam semangat mensyiarkan Islam sejak dini. Budaya ini juga membuat sanksi moral bagi pelaku maksiat.
Amati saja, dulu ada konvoi takbir keliling lewat, pelaku maksiat jadi malu. Tanpa kekerasan, pelaku maksiat sadar diri sendiri karena menjadi tontonan dan malu mendengar takbir. Ketika syiar dilarang, mereka lari menjadi geng motor atau pacaran di jalanan.
Nah, misal kelak ada konvoi zikir atau shalawat berkendara, mereka bisa tertarik. Pengganti takbir keliling. Siapa tahu ketika konvoi itu lewat bisa membuat sanksi moral remaja yang pacaran di jalan, pelacur jalanan, tempat hiburan, dan semisalnya.
Logikanya: saat orang bermaksiat di hadapan orang banyak yang mengumandangkan kalimat thayyibah, pasti orang itu malu. Tidak perlu kekerasan atau pengusiran. Sisi lain, remaja konvoi bisa terbiasa melafazkan zikir dan shalawat setiap berkendara. Misal namakan Majelis Konvoi Dzikir Indonesia, atau apa saja. Kita perlu meneladani Rasul. Dakwah dengan cara cerdas, pas menempatkan porsi, memanusiakan manusia.
Berdakwah dengan persuasif dan memahami sarana atau hal yang digemari sasaran yang didakwahi. Tanpa keluar dari syariat, tanpa mengganggu sasaran dakwah dengan tetap menyisipkan nilai Islami dan membuat nilai-nilai itu menjadi kebiasaannya.
Momen titik nadir sengkarut republik saat ini, momentum pas bagi umat bersatu dan bangkit membela masalah keumatan dan kemaslahatan rakyat. Mari buang sekat kelompok. Singkirkan kepentingan sesaat. Prioritaskan kepentingan umat dan rakyat.
Telitilah: ketika anak dan remaja diusir dari masjidnya, mereka lari ke jalanan. Ketika tokoh Islam berseteru dan kelompok Islam mau diadu, umat ditarik kaum sekuler dan aliran sesat lain. Mereka memanfaatkan perpecahan umat. Diperparah siaran TV yang merusak, menjauhkan nilai Islami, mendidik hidup instan, dan permisif.
Semoga para kiai, ulama, dan tokoh umat tidak lagi tergiur ragam kepentingan, tetapi memprioritaskan masalah umat. Semoga syiar Islam terus berkembang dengan pelbagai pola menarik yang tak keluar syariat. Lalu, saling menghargai dan mendukung varian dakwah itu. Terus menambah jumlah media Islam.
Kerusakan sosial semakin akut. Perpecahan umat makin mengkhawatirkan. Kita butuh sosok seperti almarhum Kiai Yaqub dan Habib Mundzir. Kita butuh pemersatu. Jangan lagi mau diadu. Mari membumikan lagi ibadah sosial. Mari bangkitlah dan bersatu. Umat Islam Indonesia memiliki potensi menjadi penentu masa depan Nusantara dan dunia di masa kini dan selanjutnya. Yakinlah. Insya Allah. Bismillah ….
Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)