Rasulullah memerintahkan berbuat baik terhadap semua makhluk hidup termasuk ikan.
Sejatinya, halal merupakan suatu mekanisme atau tuntunan untuk mendapatkan hal yang thayyib yang dapat dikonsumsi atau gunakan manusia. Maka menggoreng atau memasak hewan semisal ikan untuk dijadikan makanan halal pun memiliki tuntunan tersendiri.
Dalam kitab Kasyifatus Saja karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dijabarkan bahwa sejatinya menggoreng hewan (dalam hal ini ikan) dalam keadaan hidup dihukumi boleh. Beliau juga menjabarkan bahwa diperbolehkan juga menelan ikan tersebut apabila ukurannya kecil.
Bolehnya hukum tersebut juga menjadi kaitan dengan termaafkanya najis yang ada di dalam perut hewan (ikan). Maka, apabila seseorang tidak ingin mematikan ikannya terlebih dahulu atau ingin membungkusnya hidup-hidup untuk dijadikan pepesan, hal itu menjadi halal dan dihukumi boleh.
Kendati demikian berdasarkan pendapat ulama beraliran Hanafiyah dan Malikiyah dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, menggoreng ikan dalam keadaan hidup tidak diperbolehkan. Terdapat unsur-unsur yang menyebabkan adanya larangan menggoreng ikan dalam keadaan hidup.
Alasannya, menggoreng dalam ikan dalam keadaan hidup masuk dalam kategori menyakiti hewan. Sedangkan menyakiti hewan dalam Islam tidak diperkenankan, alias dilarang. Para ulama kedua aliran madzhab ini juga berpendapat bahwa apabila seseorang hendak menggoreng ikan, dianjurkan untuk menunggunya hingga mati terlebih dahulu.
Para ulama tersebut berpendapat bahwa apabila ikan masih hidup, maka tidak diperbolehkan bagi umat Muslim untuk memakannya sebelum ikan tersebut mati dengan sendirinya atau sengaja dimatikan. Adapun pendapat ulama Hanafiyah menilai, apabila terdapat seseorang yang memakan ikan yang digorengnya dalam keadaan hidup, maka hukum memakannya adalah makruh.
Ikan sendiri dikenal dalam Islam sebagai hewan yang halal dikonsumsi, bahan sekalipun bangkainya. Kehalalan bangkai ikan ini bahkan telah terbukti secara ilmiah tidak mengganggu aktivitas kerja tubuh manusia sama sekali.
Dirangkum dari berbagai literatur sains dan Islam, diperbolehkan memakan bangkai ikan karena ikan sejatinya tidak memiliki pembuluh darah yang menyebabkan mengendapnya darah tersebut apabila organ tubuhnya tak berfungsi. Artinya, dalam keadaan mati pun, ikan layak dan aman untuk dikonsumsi.
Apalagi, air laut pun merupakan wadah yang dapat menjadi pengawet alami bagi tubuh ikan. Dengan kadar garam yang tinggi, bangkai ikan yang mati di laut kerap segar dan tahan lama dan tak merusak keseluruhan kadar protein dalam tubuh ikan.
Kendati demikian, bukan berarti Islam tak mengatur bagaimana mengkonsumsi ikan dengan baik. Dari mulai cara menggorengnya tadi saja, Islam mengaturnya dengan sangat detail. Meski terdapat perbedaan pendapat dalam khazanah fikih Islam, alangkah baiknya kita dapat mengkonsumsi ikan tanpa perlu menyakitinya.
Apalagi, Rasulullah SAW mengajarkan umat Muslim untuk selalu bersikap baik tidak hanya kepada manusia, namun juga hewan. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Nasai, dan Turmudzi.
Rasulullah SAW bersabda: “Innallaha ‘azza wa jalla katabal ihsana ‘ala kulli syaiin faidza qataltum fa-ahsinulqitlata qa iadza dzabahtum fa-ahsinu ad-dzibhata liyuhidda ahadukum syafratahu walyurih dzabihatahu,”. Yang artinya: “Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian hedak mematikan (binatang), maka matikanlah dengan cara yang baik. Apabila kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian menajamkan pisaunya dan mengistirahatkan sembelihannya,”.
Kasih sayang kepada hewan yang hendak kita konsumsi pun menjadi perhatian tersendiri. Bukankah akan menjadi lebih baik apabila kita mengkonsumsi ikan dengan cara dimasak dengan baik tanpa perlu menyakiti hewannya? Kendati demikian, sebagai umat Islam kita juga perlu menghargai pendapat-pendapat berbeda yang membolehkan perilaku tersebut.
Apalagi para ulama memiliki kapasitas ilmu dan kealiman di atas rata-rata manusia pada umumnya. Untuk itulah alangkah baiknya perbedaan pendapat dalam menghukumi suatu hukum tertentu bukan justru dijadikan ajang pembelaan atau ajang menghakimi satu sama lain, namun justru dapat dijadikan momentum memperkaya khazanah keislaman yang sangat luas.