TADI pagi dia berangkat ke kantor. Tadi siang dia meeting di puncak bukit. Malam ini ada lobby penting di sebuah tempat hiburan malam. Belum sempat duduk nyaman dan berpikiran tenang karene pekerjaannya begitu menumpuk. Rapelan tanda tangan masih tersusun tak tersentuh di meja kerja.
Kalkulator kehabisan baterai karena non stop digunakan menghitung perkalian, pembagian, penambahan dan pengurangan. Entah uangnya siapa yang dihitung dan uang untuk apa. Sementara uang untuk syarat hidup sederhana sudah lebih dari cukup. Bahagiakah orang seperti ini?
Berkali-kali diajak naik haji ditolaknya dengan alasan membuang-buang waktu produktif kerja. Berulangkali diajak umroh pun ditepisnya dengan alasan ada banyak tempat wisata lain yang lebih menguntungkan karena ada unsur bisnisnya.
Diajak aktif ke pengajian tidak pernah digubrisnya dengan alasan membaca buku dan mendengarkan pengajian di TV juga sama saja. Dimintai sumbangan sosial untuk fakir miskin dan anak yatim juga ditentangnya dengan alasan itu melawan kehendak Allah yang telah memiskinkan mereka. Berhakkah orang seperti ini mendapatkan bahagia?
Orang-orang melakukan itu semua sesungguhnya tujuannya sudah relatif benar, yakni mencari dan menuju bahagia. Hanya saja, mereka salah jalan karena tidak mengikuti petunjuk jalan yang dibuat oleh Dzat yang memperjalankan hidup, yakni Allah SWT.
Banyak yang tertipu mengikuti petunjuk jalan yang dibuat oleh nafsu yang dibungkus dengan janji dan hiasan indah. Baru tersadar dirinya tersesat saat perjalanan yang dilaluinya sudah sangat jauh.
Para psikolog banyak berkata “Saat seseorang sudah tiba di usia 50 tahun, barulah mereka tersadar bahwa bukan mereka yang punya uang, tapi uanglah yang memiliki mereka, bukan mereka yang mempekerjakan uang melainkan uang yang memperbudak mereka.”
Setelah membaca sejarah banyak orang dan mengamati tabiat kehidupan manusia, Syekh Al-Walid menyimpulkan begini: “Unik sekali kehidupan ini. Siapa yang berupaya mendapatkan kehidupan akhirat yang baik, maka menjadi baik dan bahagialah kehidupan dunianya. Siapa yang berupaya keras mendapatkan kehidupan dunia sahaja, menjadi sulit dan rumitlah kehidupan dunia dan akhiratnya.”
Pertanyaannya adalah apakah kita percaya dengan kesimpulan Syekh Walid itu? Ataukah kita punya kesimpulan yang lain? Ataukah kita masih membaca dan mempelajari kehidupan ini untuk mencari kesimpulan sendiri? Saya percaya pada kesimpulan Syekh Al-Walid. Kesimpulan itu sama dengan kesimpulan ulama-ulama lain yang semuanya saya percayai. Begitu pulalah yang secara tersirat dinyatakan al-Qur’an dan al-Hadits. Salam, AIM. [*]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2340299/tertipu-mengikuti-petunjuk-jalan-hawa-nafsu#sthash.wbLsMGNn.dpuf