Mengobati Kegalauan (Bag. 7)

Baca pembahasan sebelumnya  Mengobati Kegalauan (Bag. 6)

Menyadari bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan dan setelah kesempitan akan ada kabar gembira

Hendaknya seorang muslim senantiasa berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Dia akan memberikan kabar gembira dan jalan keluar bagi setiap permasalahan yang dihadapi oleh seorang hamba. Semakin bertambah besar kesusahan yang dihadapinya, semakin dekat pula kabar gembira dan jalan keluar untuknya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ

اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy Syarh: 5-6)

Pada ayat tersebut, disebutkan satu kesusahan (العسر) dan dua kemudahan (يسرا). Kata “kesusahan” (عسر) yang bergandeng dengan  ال pada ayat pertama adalah “kesusahan” yang sama pada ayat kedua. Namun, “kemudahan” pada ayat pertama berbeda dengan “kemudahan” pada ayat kedua.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أنَّ النَّصرَ معَ الصَّبرِ، و أنَّ الفرجَ معَ الكربِ، و أنَّ معَ العسرِ يسرًا

“Sesungguhnya pertolongan itu bersama dengan kesabaran. Dan sesungguhnya jalan keluar itu bersama dengan kesukaran. Dan sesungguhnya bersama kesulitan itu, ada kemudahan.” (HR. Ahmad 1: 293 disahihkan Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jami’)

Terapi dengan makanan

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أنَّهَا كَانَتْ تَأْمُرُ بالتَّلْبِينِ لِلْمَرِيضِ ولِلْمَحْزُونِ علَى الهَالِكِ، وكَانَتْ تَقُولُ: إنِّي سَمِعْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ: إنَّ التَّلْبِينَةَ تُجِمُّ فُؤَادَ المَرِيضِ، وتَذْهَبُ ببَعْضِ الحُزْنِ.

“Sesungguhnya beliau (‘Aisyah) memerintahkan agar membuat talbinah untuk orang sakit dan orang yang ditimpa kesedihan karena ada keluarga yang meninggal. Kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Talbinah dapat menyegarkan hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian rasa sedih.” (HR. Bukhari no. 5689)

Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari rahimahullah, dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أنَّها كانَتْ إذا ماتَ المَيِّتُ مِن أهْلِها، فاجْتَمع لِذلكَ النِّساءُ، ثُمَّ تَفَرّقْنَ إلَّا أهْلَها وخاصَّتَها، أمَرَتْ ببُرْمَةٍ مِن تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ، فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عليها، ثُمَّ قالَتْ: كُلْنَ مِنْها؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقولُ: التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ ببَعْضِ الحُزْنِ.

“Bahwasanya apabila salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia, maka berkumpullah para wanita. Kemudian mereka berpisah, kecuali keluarganya dan orang-orang dekatnya. Setelah itu, beliau (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) menyuruh diambilkan seperiuk talbinah. Lalu beliau memasak dan membuat tsarid. Kemudian dia menuangkan bubur talbinah tersebut di atasnya. Setelah itu, ia berkata, ‘Makanlah bubur ini! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian rasa sedih.’” (HR. Bukhari no. 5417)

Talbinah adalah sejenis bubur dari tepung halus atau dedak yang diberi madu. Disebut talbinah karena mirip laban (susu). Talbinah dimasak dari gandum kasar yang sudah digiling.

مُجِمَّةٌ maksudnya adalah menenangkan dan membuat bersemangat serta menghilangkan kegalauan.

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata,

 كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، إذا قيلَ له: إنَّ فُلانًا وَجِعٌ لا يَطعَمُ الطعامَ، قال: عليكم بالتَّلْبينةِ، فحَسُّوه إيَّاها، فوالذي نَفْسي بيَدِه، إنَّها لتَغسِلُ بطنَ أحَدِكم، كما يَغسِلُ أحَدُكم وجْهَه بالماءِ منَ الوَسَخِ.

“Apabila dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya si Fulan sakit dan tidak mau makan.’ Beliau berkata, ‘Hendaklah kalian berikan talbinah, hingga ia akan merasakannya. Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya talbinah tersebut bisa mencuci perut kalian sebagaimana kalian mencuci wajah kalian dari kotoran dengan air.” (HR. Ahmad 6: 152)

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata,

 كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ إذا أخذ أهلَه الوعكُ ، أمر بالحِساءِ فصُنِعَ ، ثم أمره فحَسَوْا منه ، وكان يقولُ : إنَّهُ لَيَرْتُقُ (وفِي رواية أحمد وابن ماجة:ليرتو) فؤادَ الحزينِ ، ويسْرُو عن فؤادِ السقيمِ ، كما تسْرُو إحداكنَّ الوسخَ بالماءِ عن وجهها

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati istrinya demam, beliau memerintahkan untuk dibuatkan bubur. Kemudian memerintahkan untuk menuangnya. Beliau berkata, ‘Sesungguhnya itu memperbaiki (dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah berbunyi menguatkan) hati yang sedih, menghilangkan (kesedihan) dari hati orang yang sakit, sebagaimana salah seorang kalian menghilangkan kotoran dari wajahnya dengan air.’” (Abu ‘Isa mengatakan hadis ini hasan sahih, As-Sunan no. 2039)

Perkara ini (makan talbinah) bagi sebagian orang adalah sesuatu yang aneh. Namun, ini memang perkara yang benar dari jalan wahyu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala-lah yang menciptakan berbagai jenis makanan dan Dia-lah yang paling mengerti kekhususan setiap makanan itu, termasuk dengan makanan yang telah disebutkan dalam hadis di atas. Wallahu a’lam. (Silakan merujuk kitab Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim rahimahullahu, 5: 120).

Ibnul Qayyim Rahimahullah membuat ringkasan tentang perkara yang dengannya Allah Ta’ala hilangkan kegalauan:

  1. Tauhid rububiyah.
  2. Tauhid uluhiyyah.
  3. Tauhid asma’ wa shifat.
  4. Mensucikan Allah Ta’ala dari sifat menzalimi hamba-Nya atau menghukum hamba tanpa sebab/alasan dari hamba untuk mendapatkan hukuman.
  5. Mengakui bahwa dia sendirilah yang zalim.
  6. Tawasul kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang paling Dia cintai. Yakni, dengan nama dan sifat-Nya. Dan di antara nama yang memuat kandungan nama dan sifat yang lain adalah Al-Hayyu Al-Qayyum.
  7. Meminta tolong hanya kepada Allah Ta’ala.
  8. Pengakuan hamba bahwa dia berharap kepada Allah Ta’ala.
  9. Bertawakkal dengan sebenarnya. Mengakui bahwa ubun-ubunnya di tangan Allah Ta’ala. Dia bolak balikkan sesuai kehendak-Nya. Berlaku padanya hukum dan ketentuan-Nya. Dan dia yakin keputusan Allah Ta’ala atasnya adalah keputusan yang adil.
  10. Membawa hati ke taman Al-Quran. Dikuatkan hatinya dengan Al-Quran. Berupaya mengobati berbagai penyakit hatinya dengan Al-Quran.
  11. Istighfar.
  12. Bertaubat kepada Allah Ta’ala.
  13. Jihad.
  14. Salat.
  15. Berlepas diri dari daya dan kekuatannya sendiri serta memasrahkannya kepada Allah Ta’ala.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menyelamatkan kita dari kegalauan, kesedihan, dan kecemasan. Sesungguhnya Dia-lah Zat Yang Maha Mendengar, Maha Mengabulkan Doa, Maha Hidup, dan Maha Berdiri Sendiri.

[Selesai]

***

Disarikan dari kitab ’Ilaajul Humuum, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajid  hafidzahullahu Ta’ala

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/69079-mengobati-kegalauan-bag-7.html

Mengobati Kegalauan (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Mengobati Kegalauan (Bag. 5)

Melihat Sisi Positif dari Perkara-Perkara yang Memiliki Sisi Negatif

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إنْ كَرِهَ منها خُلُقًا رَضِيَ منها آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istrinya)! Jika ia membenci sebuah sikap dari istrinya, maka ia akan rida dengan sikapnya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Di antara faidah dari hadis ini adalah melihat sisi positif dari perkara yang memiliki sisi negatif itu bisa menghilangkan kegalauan, kerisauan, dan memunculkan kejernihan hati. Sebaliknya, seseorang yang hanya melihat sisi negatif dari suatu perkara, akan membuat hati gelisah, cemas, dan keruhnya jiwa. (Al-Wasail Al-Mufidah Lil Hayah As-Sa’idah, Ibnu Sa’di)

Menyadari Singkatnya Waktu di Dunia dan Menyadari bahwa Waktu yang Sangat Singkat Tersebut Terlalu Mahal jika Dipergunakan untuk Tenggelam dalam Kegalauan dan Kecemasan

Orang yang berakal menyadari bahwa kehidupan yang sehat adalah hidup yang bahagia dan penuh ketenangan. Dia juga menyadari bahwa waktu untuk hidup bahagia dan tenang tersebut sangatlah singkat. Oleh karena itu, tidak layak baginya memperpendek waktu yang sudah pendek tersebut, dengan berlarut-larut dalam kegalauan dan kekeruhan hati. Jangan sampai waktunya terampas oleh kegalauan.

Apabila sesuatu yang tidak disenangi menimpa seorang mukmin, maka sepatutnya ia senantiasa membandingkannya dengan nikmat dunia maupun agama yang telah ia dapatkan. Dengan begitu, terlihat dengan jelas baginya bahwa nikmat yang ia dapatkan jauh lebih banyak dibandingkan musibah yang dirasakannya. Hendaknya ia juga membandingkan antara hal-hal yang membuat hatinya khawatir dengan berbagai realita yang ternyata baik-baik saja baginya. Dengan begitu, kegalauan dan kecemasan akan pergi dari hatinya.

Taruhlah perkara-perkara bermanfaat di depan kedua matamu! Bertekadlah untuk mewujudkannya! Jangan menoleh kepada perkara-perkara berbahaya yang  membuatmu galau dan sedih! Meminta tolonglah kepada Allah Ta’ala agar diberikan kenyamanan jiwa dan kemantapan hati untuk melakukan aktivitas yang penting! (Al-Wasail Al-Mufidah Lil Hayah As-Sa’idah, Ibnu Sa’di)

Tidak Bertoleransi dengan Tumpukan Pekerjaan dan Kewajiban yang Harus Dikerjakan

Di antara kiat untuk mengobati kegalauan adalah dengan tidak menunda-nunda pekerjaan. Seorang mukmin hendaknya segera mengerjakan pekerjaan yang harus dilakukannya saat ini, sehingga nanti bisa fokus mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Apabila pekerjaan itu dibiarkan dan tidak segera diselesaikan, maka pekerjaan akan menumpuk banyak. Sehingga membuat hatinya tertekan dan galau, karena harus menyelesaikan banyak hal dalam waktu yang singkat. Berbeda ketika seseorang itu segera mungkin menyelesaikan pekerjaan sebelumnya, ia bisa fokus dengan pekerjaan selanjutnya dengan pikiran yang lebih tenang dan aktivitas yang lebih semangat.

Sepatutnya seseorang memilih aktivitas yang bermanfaat, penting, dan ia senangi. Sehingga dia tidak bosan dan jenuh dengan aktivitas tersebut. Selain itu, hendaknya ia berpikir sehat, berkonsultasi, serta mengkaji apa yang akan dilakukannya dengan sebaik mungkin. Apabila telah jelas maslahat dari apa yang akan dikerjakannya tersebut, maka bertekadlah dan bertawakallah kepada Allah Ta’ala! Karena Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang bertawakal. (Al-Wasail Al-Mufidah Lil Hayah As-Sa’idah, Ibnu Sa’di)

Bersiap-siaga dan Mengantisipasi Berbagai Kemungkinan yang Bisa Terjadi

Seseorang yang senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala, berharap mendapatkan yang terbaik, dan bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, akan  lebih tenang menerima kenyataan yang dihadapinya. Sekalipun yang terjadi adalah perkara yang tidak disukai, seperti kerabat yang sakit, terlilit utang, dizalimi orang lain, ataupun hal lain yang menyakitinya. Ia akan merasa lebih ringan dan tenang, karena sudah mempersiapkan hati menerima berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Di antara hal yang juga perlu diperhatikan. Terkadang seseorang mampu bersabar dan tenang menghadapi musibah besar. Namun, malah cemas saat menghadapi perkara sederhana. Hal ini dikarenakan ia sudah mempersiapkan hatinya menghadapi musibah besar tersebut, namun tidak mempersiapkan hatinya untuk menerima perkara sederhana yang mungkin terjadi. Hingga akhirnya, perkara sederhana tersebut berpengaruh terhadap kenyamanan jiwanya. Oleh karena itu, bersiap-siaga dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi itu diperlukan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya musibah besar atau perkara yang lebih sederhana. Tentu dengan terus menerus memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.

Mengadu dan Berkonsultasi kepada Ahli Ilmu

Nasihat dan pandangan dari orang yang berilmu merupakan salah satu obat yang efektif dalam mengobati kegalauan. Sahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang  penyiksaan yang dijumpainya.

  شَكَوْنَا إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وهو مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً له في ظِلِّ الكَعْبَةِ، قُلْنَا له: أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا؟ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا؟ قالَ: كانَ الرَّجُلُ فِيمَن قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ له في الأرْضِ، فيُجْعَلُ فِيهِ، فيُجَاءُ بالمِنْشَارِ فيُوضَعُ علَى رَأْسِهِ فيُشَقُّ باثْنَتَيْنِ، وما يَصُدُّهُ ذلكَ عن دِينِهِ، ويُمْشَطُ بأَمْشَاطِ الحَدِيدِ ما دُونَ لَحْمِهِ مِن عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ، وما يَصُدُّهُ ذلكَ عن دِينِهِ، واللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هذا الأمْرَ، حتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِن صَنْعَاءَ إلى حَضْرَمَوْتَ، لا يَخَافُ إلَّا اللَّهَ، أَوِ الذِّئْبَ علَى غَنَمِهِ، ولَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ.

“Kami mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di bawah naungan Ka’bah dan berbaring berbantalkan selimut. Kami berkata kepada beliau, ‘(Wahai Rasulullah), tidakkah Engkau meminta pertolongan bagi kami dan berdo’a kepada-Nya untuk membantu kami?’

Nabi pun menjawab, ‘Dahulu seorang pria dari umat sebelum kalian telah dikubur dalam sebuah galian yang diperuntukkan baginya. Kemudian sebilah gergaji diletakkan di atas kepalanya dan dirinya pun dibelah dua dengan gergaji tersebut. Meskipun demikian, hal itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya. Demikian pula terdapat seorang yang tubuhnya disisir dengan sisir besi sehingga nampaklah tulang dan urat tubuhnya. Meskipun demikian, hal itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya. Demi Allah, Dia akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang pengendara yang berangkat dari Shan’a menuju Hadramaut tidak lagi takut, kecuali kepada Allah, atau dia hanya khawatir terhadap serigala yang akan menerkam kambing gembalaannya. (Kemenangan itu pasti akan datang), namun kalian terlalu tergesa-gesa.’” (HR. Bukhari no. 3416 )

Begitu pula tabi’in mengadu kepada sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عن الزبير بن عدي أَتَينَا أنَسَ بنَ مَالِكٍ، فَشَكَوْنَا إلَيْهِ ما نَلْقَى مِنَ الحَجَّاجِ، فَقالَ: اصْبِرُوا؛ فإنَّه لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منه، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ. سَمِعْتُهُ مِن نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ

Dari Az-Zubair bin Adi, dia berkata, ‘Kami pernah mendatangi Anas bin Malik, lalu kami mengadu kepadanya tentang apa yang kami dapatkan dari Al-Hajjaj. Maka beliau berpesan, ‘Sabarlah kalian, karena sesungguhnya tidaklah datang kepada kalian suatu zaman, kecuali zaman yang sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ’alaihi wa sallam.’” (HR. Bukhari no. 7068)

Termasuk dalam hal ini adalah hendaknya seseorang kembali kepada saudaranya yang tulus, kerabat yang berakal, dan suami/istri yang setia. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Fatimah radhiyallahu ‘anha saat tertimpa kegalauan. Beliau mengadu kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dikisahkan dalam hadis,

أنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، أتى فاطمة ، فوجد على بابها سترا ، فلم يدخل ، قال : وقلما كان يدخل إلا بدأ بها ، فجاء علي فرآها مهتمة ، فقال : ما لك ؟ قالت : جاء النبي ، إلي فلم يدخل . فأتاه علي ، فقال : يا رسول اللهِ ، إن فاطمة اشتد عليها ، أنك جئتها فلم تدخل عليها ! ؟ قال : وما أنا والدنيا ؟ وما أنا والرقم . فذهب إلى فاطمة فأخبرها بقول رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فقالت : قل لرسول اللهِ صلى الله عليه وسلم ما يأمرني به ؟ قال : قل لها فلترسل به إلى بني فلان

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Fatimah radhiyallahu ‘anha dan mendapati di depan pintunya ada sebuah tirai, sehingga beliau tidak jadi masuk. Abdullah bin Umar berkata, ‘Jarang sekali beliau masuk melainkan (beliau) menemui Fatimah dahulu.’ Lalu Ali radhiyallahu ‘anhu masuk dan melihat Fatimah dalam keadaan sedih. Maka ia bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Fatimah menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah datang, namun tidak masuk.’

Maka Ali datang menemui beliau dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fatimah sangat bersedih, karena Engkau datang kepadanya, namun tidak menemuinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku tidak mencintai dunia, dan aku tidak menyukai lukisan (gambar).’ Lalu Ali pergi menemui Fatimah dan memberitahukan sabda Rasulullah kepadanya. Fatimah berkata, “Katakan kepada Rasulullah! Apa yang beliau perintahkan dengan tirai yang berlukis tersebut?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Katakan kepadanya agar mengirim tirai berlukis itu kepada Bani Fulan!” (HR. Abu Dawud dalam Sahih Abu Dawud no. 3496)

Disarikan dari kitab ’Ilaajul Humuum, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajid  hafidzahullahu Ta’ala

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/68664-mengobati-kegalauan-bag-6.html

Mengobati Kegalauan (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya  Mengobati Kegalauan (Bag. 4)

Memperbanyak mengingat Allah ta’ala (dzikrullah)

Di antara perkara yang sangat besar pengaruhnya dalam melapangkan hati, menenangkan jiwa, mengusir kegalauan dan kecemasan adalah memperbanyak mengingat Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram…” (QS. Ar-Ra’du: 28)

Hakikat ketenangan adalah dengan dzikrullah. Tidak ada yang lebih lezat, nikmat, dan manis melebihi kecintaan kepada Sang Pencipta serta mengenal-Nya. Semakin besar kadar seseorang mencintai dan mengenal-Nya, maka semakin besar pula kadar mengingat-Nya dan dzikirnya. Di antara dzikir yang biasa diucapkan seorang hamba adalah tasbih, tahlil, takbir, dan yang selainnya. (Taisir al-karim ar-rahman, hal. 417)

Di antara dzikir paling efektif yang mengusir kegalauan besar yang terjadi menjelang kematian adalah ucapan “Laa ilaaha illallaah.” Sebagaimana Thalhah ceritakan kepada ‘Umar,

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَلِمَةٌ لَا يَقُولُهَا عَبْدٌ عِنْدَ مَوْتِهِ إِلَّا فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَتَهُ وَأَشْرَقَ لَوْنُهُ فَمَا مَنَعَنِي أَنْ أَسْأَلَهُ عَنْهَا إِلَّا الْقُدْرَةُ عَلَيْهَا حَتَّى مَاتَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا فَقَالَ لَهُ طَلْحَةُ وَمَا هِيَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ تَعْلَمُ كَلِمَةً هِيَ أَعْظَمَ مِنْ كَلِمَةٍ أَمَرَ بِهَا عَمَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ طَلْحَةُ هِيَ وَاللَّهِ هِيَ‏.‏

“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Suatu kalimat yang tidaklah seorang hamba mengucapkan suatu kalimat tersebut sebelum kematiannya kecuali Allah akan hilangkan kesusahan darinya dan Allah akan membuat warna kulitnya bercahaya.’ Tidak ada yang menghalangiku untuk bertanya kepada Nabi kecuali rasa takut tidak dapat memenuhinya dan saya tidak menanyakannya sampai beliau meninggal. Kemudian ‘Umar radhiyallahu ‘anhu  mengatakan, ‘Aku tahu apa itu.’ Thalhah berkata kepadanya, ‘Apa itu?’ ‘Umar berkata, ‘Apakah kamu tahu ada kalimat yang lebih agung dari kata yang dia perintahkan kepada pamannya ketika dia sekarat, ‘La ilaha illallah’?’ Thalhah berkata, ‘Kamu benar. Demi Allah, itulah kalimatnya.’.” (HR. Ahmad 1/161)

Salat

Allah ta’ala berfirman,

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ’

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (QS. Al-Baqarah: 45)

Dari Hudzaifah  radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan,

كان النبيُّ – صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم – إذا حَزَبَهُ أمرٌ صَلَّى

Apabila ada suatu perkara yang menyusahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau salat.” (HR. Abu Dawud, dinilai hasan dalam shahih al-jami’ no 4703)

Jihad di jalan Allah ta’ala

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

عليكم بالجهادِ في سبيلِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فإنه بابٌ من أبوابِ الجنةِ يُذهبُ اللهُ به الهمَّ والغمَّ

Hendaklah kalian jihad di jalan Allah tabaraka wa ta’ala, sesungguhnya itu adalah salah satu pintu surga, Allah hilangkan dengannya kegalauan dan kecemasan.” (HR. Ahmad dari Abu Umamah dari Abdullah bin Shamit radhiyallahu ‘anhuma 5/319, dinilai sahih dalam shahih al-jami’ 4063).

Menceritakan nikmat-nikmat Allah ta’ala baik yang nampak maupun tersembunyi

Menceritakan nikmat-nikmat yang Allah ta’ala berikan kepada kita dapat menghilangkan kegalauan dan memotivasi untuk bersyukur. Bersyukur merupakan derajat yang paling tinggi ketika seseorang sedang dalam keadaan fakir, sakit, atau tertimpa musibah yang lainnya. Jika seseorang membandingkan nikmat yang diterimanya dengan derita yang dirasakannya maka akan dia sadari bahwa ternyata nikmat yang dia dapatkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan musibah yang dirasakan. Apabila dia bersabar, rida dan bersyukur dengan musibah yang didapatkannya maka musibah itu akan terasa lebih ringan. Jika seorang hamba mengingat besarnya pahala dan balasan bagi orang yang sabar dan rida ketika tertimpa musibah maka ia akan membuat hal-hal yang pahit menjadi manis.

Di antara cara untuk menumbuhkan rasa syukur adalah mempraktikkan hadis yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih dari Abu Hurairah,

 انظُروا إلى مَن هو أسفَل منكُمْ فإنَّه أجْدَرُ أنْ لا تَزْدَروا نعمَةَ اللهِ  عَلَيْكُمْ

Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian, Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah pada kalian.” (HR. Tirmidzi dalam sunannya no. 2513, beliau mengatakan ini hadis hasan sahih, di dalam sahih al-jami’: 1507)

Apabila seorang hamba menggunakan sudut pandang ini dalam kehidupannya, maka dia akan melihat dirinya pasti berada di atas kondisi orang lain dalam hal kesehatan, rezeki, dan selainnya, bagaimanapun keadaannya. Dengan begitu, hilanglah kerisauan, galau, dan cemasnya, diikuti dengan bertambah rasa bahagianya. Jika seseorang semakin merenungkan nikmat yang telah Allah ta’ala berikan, baik yang nampak atau tidak, maka dia akan menyadari bahwa nikmat yang diterimanya sangatlah banyak. Oleh karena itu, hilanglah kegalauan dan kecemasan dalam hatinya.

Menyibukkan diri dengan aktivitas atau ilmu yang bermanfaat

Menyibukkan diri dengan aktivitas atau ilmu yang bermanfaat dapat mengusir rasa galau di hatinya. Dengan sebab ini, kecemasaan akan terlupakan, kegembiraan datang, dan bertambahlah rasa semangatnya. Ini merupakan sebab umum, baik bagi orang beriman maupun tidak. Akan tetapi, tentu berbeda antara orang yang beriman dengan yang tidak. Bagi orang beriman, kesibukannya tersebut akan membuahkan pahala baginya apabila dilakukan dengan ikhlas dan niat beribadah kepada Allah ta’ala. Dengan seperti itu, maka cara ini akan lebih efektif dalam mengusir kegalauan, kecemasan dan kesedihan. Betapa banyak orang yang mendapatkan masalah berupa kecemasan dan kekeruhan hati sehingga menimpa berbagai macam penyakit padanya, ternyata obat yang mujarab baginya adalah melupakan sebab kecemasan dan kekeruhan tersebut dengan menyibukkan diri dengan hal-hal yang menjadi tugasnya. Adapun kesibukan yang sepatutnya dilakukan adalah aktivitas yang membuat jiwanya nyaman serta aktivitas yang menjadi kegemarannya (dengan catatan kegemaran tersebut bukan kemaksiatan), karena dengan begitu dia akan lebih mudah melupakan kecemasan dan kegalauannya. (Al-Wasail al-mufidah lil hayati as-sa’iidah: Ibnu Sa’di)

Disarikan dari kitab ’Ilaajul Humuum, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid  hafidzahullahu ta’ala

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67982-mengobati-kegalauan-bag-5.html

Mengobati Kegalauan (Bag. 4)

Selawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذا ذهب ثُلُثَا الليلِ قام فقال يا أيُّها الناسُ اذكُروا اللهَ اذكروا اللهَ جاءتِ الراجفةُ تَتْبَعُها الرادِفَةُ جاء الموتُ بما فيه جاء الموتُ بما فيه قال أُبَيٌّ قلْتُ يا رسولَ اللهِ إِنَّي أُكْثِرُ الصلاةَ عليْكَ فكم أجعَلُ لكَ من صلاتِي فقال ما شِئْتَ قال قلتُ الربعَ قال ما شئْتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قلتُ النصفَ قال ما شئتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قال قلْتُ فالثلثينِ قال ما شئْتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قلتُ أجعلُ لكَ صلاتي كلَّها قال : إذًا تُكْفَى همَّكَ ويغفرْ لكَ ذنبُكَ

Dahulu bila berlalu dua per tiga malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun dan berkata, “Wahai, sekalian manusia, berzikirlah kepada Allah, berzikirlah kepada Allah! Pasti datang tiupan Sangkakala pertama yang diikuti dengan yang kedua. Datang kematian dengan kengeriannya, datang kematian dengan kengeriannya”.
Ubai berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai, Rasulullah, Aku memperbanyak selawat untukmu. Berapa banyak aku berselawat untukmu?’.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ”Terserah dirimu” Lalu Ubai berkata lagi,  “Aku berkata, ‘Seperempat.’.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ”Terserah dirimu. Tetapi jika engkau tambah, shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab lagi, “Terserah dirimu, tetapi jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu.” Maka aku berkata lagi, “Kalau begitu, dua per tiga”.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ”Terserah dirimu. Jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu.” Lalu aku berkata, ”Aku jadikan seluruh (doaku) adalah selawat untukmu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika begitu (selawat) itu mencukupkan keinginanmu (dunia dan akhirat) dan Allah akan mengampuni dosamu”. (HR at-Tirmidzi, beliau berkata , “Ini adalah hadis hasan sahih. As-Sunan no. 2457, dinilai hasan oleh Syekh al-Albani)

Tawakal kepada Allah ta’ala dan menyerahkan seluruh perkara kepada-Nya

Allah ta’ala adalah Zat yang maha Kuasa atas segala sesuatu dan tidak butuh bantuan siapa pun dalam mengatur segala urusan. Pengaturan-Nya terhadap hamba lebih baik dari pada pengaturan hamba kepada dirinya sendiri. Dia lebih mengetahui mana yang lebih mashlahat untuk hamba dari pada hamba itu sendiri. Dia lebih menyayangi hamba dari pada hamba itu menyayangi dirinya sendiri. Tidak ada yang mampu mendahulukan atau menunda sesuatu yang telah Dia tetapkan. Barang siapa yang menyadari hal itu semua, maka seharusnya hamba menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang berada di bawah kekuasaan Allah ta’ala yang Maha Merajai, Maha Perkasa lagi Maha Kuasa. Barang siapa yang menyerahkan segala urusannya secara totalitas kepada Allah ta’ala maka akan pergilah berbagai kegalauan, kecemasan, kesesakan hidup dan penyesalan. Semua hajat dan kemashlahatannya akan diurus oleh Allah ta’ala. Hamba tersebut tidak akan lelah memikirkan kebutuhannya dan beban berat yang harus dipikulnya karena dia yakin Allah ta’ala yang akan menyelesaikannya. Betapa indahnya hidup, besarnya kegembiraan dan lapangnya hati ketika Allah ta’ala telah mengosongkan hati dan pikirannya dari berbagai beban tersebut.

Adapun orang yang ingin mengatur dirinya sendiri, maka Allah ta’ala palingkan dia ke mana dia ingin berpaling. Dia hadirkan kegalauan, kecemasan, kesedihan, kesusahan, kekhawatiran, dan keletihan bagi orang tersebut. Mereka berada dalam keadaan yang buruk dan hatinya tertutup. Hatinya keruh, amalnya terkotori, harapannya tak terwujud, kenyamanan tak tergapai, kelezatan tak tercapai, dan dia dihalangi dengan terwujudnya kegembiraan. Dia bersusah payah dalam hidupnya di dunia sebagaimana susahnya binatang, dia tidak mendapatkan apa yang dia angan-angankan. Dia pun tidak mengambil bekal dari dunia untuk menuju tempat kembali nanti. (Al-Fawaid hal. 209)

Jika hati bersandar kepada Allah ta’ala, bertawakal kepada-Nya, tidak pasrah kepada berbagai pikiran, tidak dikuasai dengan angan-angan yang buruk, maka akan tercegah kegalauan dan berbagai penyakit hati serta penyakit badan. Dia akan mendapatkan kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Orang yang sehat dan selamat adalah orang yang Allah ta’ala selamatkan dan Allah beri taufik kepadanya untuk terwujudnya sebab-sebab yang manfaat untuk menguatkan hati dan mencegah kecemasan hati. Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُه

“Barangsiapa bertawakal kepada Allah maka Dia akan mencukupinya,”. (QS. Ath-Thalaq: 3)

Maksudnya Allah ta’ala akan mencukupi apa yang dia pikirkan baik masalah agama maupun dunianya. Orang yang bertawakal kepada Allah ta’ala akan kuat hatinya, tidak terpengaruh berbagai bayang-bayang, tidak terganggu berbagai peristiwa karena dia sadari keresahan itu disebabkan karena rapuhnya jiwa, ketakutan yang hanya dalam pikirannya, sedangkan Allah ta’ala pasti menjamin hamba yang bertawakal kepada-Nya dengan kecukupan yang sempurna. Dia yakin kepada Allah ta’ala dan tenang dengan janji-Nya tersebut. Pergilah berbagai kegalauan, kesukaran berganti dengan kemudahan, kesulitan berganti dengan kebahagiaan, kekhawatiran berganti dengan rasa aman. Kita memohon kepada Allah ta’ala keselamatan, semoga Allah ta’ala menganugerahkan kekuatan hati dan tetapnya tawakal yang sempurna kepada kita.

Bersemangat dalam mengerjakan kegiatan yang bermanfaat, fokus mengerjakan apa yang harus dikerjakan saat ini, dan tidak memikirkan sesuatu yang belum terjadi ataupun kesedihan di masa lalu

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta perlindungan kepada Allah ta’ala  dari penyakit hamm dan haznAl-Hamm adalah galau dengan sesuatu yang belum terjadi, sedangkan hazn adalah sedih dengan sesuatu yang telah terjadi. Kiat supaya tidak terpenjara dengan masa lalu, dan tidak galau dengan masa depan adalah menjadi orang yang fokus dengan hari ini. Dia kumpulkan kesungguhannya untuk memperbaiki hari ini. Maka mengumpulkan hati fokus untuk hari ini akan membuahkan aktivitas secara sempurna. Jika orang sibuk dengan aktivitas hari ini maka dia akan terhibur dari kecemasan dan kesedihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari umat untuk senantiasa berdoa dan juga mengajarkan untuk bersungguh-sungguh beramal supaya harapannya itu terwujud. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya mengajarkan umatnya untuk berdoa saja atau berusaha saja, namun beliau ajarkan umatnya untuk berdoa dan berusaha semaksimal mungkin karena doa itu bergandeng dengan amal.

الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ ولا تَعْجِزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.

“Seorang mukmin yang kuat imannya lebih baik dan lebih Allah cintai daripada seorang mukmin yang lemah imannya, dan masing-masing berada dalam kebaikan. Bersungguh-sungguhlah pada perkara-perkara yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu katakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian, pastilah akan demikian dan demikian’ Akan tetapi katakanlah, ‘Qodarullah wamaa sya’a fa’ala (Allah telah mentakdirkan hal ini dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi)’. Sesungguhnya perkataan ‘Seandainya’ membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 2664)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan untuk:

  1. Senantiasa bersungguh-sungguh, bersemangat dan antusias dalam melakukan hal yang bermanfaat.
  2. Senantiasa meminta kepada Allah ta’ala.
  3. Larangan untuk bersikap lemah dan malas.
  4. Tidak berandai-andai dengan sesuatu yang telah terjadi dan mengembalikan musibah yang telah terjadi kepada takdir Allah ta’ala.

Hadis di atas  membagi perkara menjadi 2 macam:

  1. Perkara bermanfaat yang bisa diusahakan oleh hamba untuk terwujud atau perkara buruk yang bisa diusahakan untuk dicegah. Dalam perkara ini, seorang mukmin hendaknya senantiasa bersungguh-sungguh dan meminta kepada Allah ta’ala.
  2. Perkara yang sudah tidak bisa diusahakan untuk terwujud atau dicegah karena sudah terjadi. Dalam perkara ini, seorang mukmin hendaknya rida, tenang dan menyerahkan semua yang telah terjadi tersebut kepada Allah ta’ala.

Tidak diragukan bahwa memperhatikan hal ini merupakan sebab kebahagiaan dan perginya kegalauan serta kecemasan. (Al-Wasail al-mufiidah lilhayah as-sa’iidah, Ibnu Sa’di).

Hadis di atas juga mengajarkan salah satu sebab yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kegalauan adalah tidak menyibukkan pikirannya dengan apa yang telah terjadi. Lawan hati dari hal yang membuat cemas hatinya dan ketakutan berbagai khayalan di masa depan. Kita harus sadar bahwa masa depan tidak kita ketahui. Masa depan itu di tangan Allah yang Maha Bijaksana. Hamba tidak mampu melakukan apapun selain berusaha untuk mewujudkan kebaikan baginya dengan doa dan ikhtiar semampunya. (Al-Wasail al-mufiidah lilhayah as-sa’iidah, Ibnu Sa’di).

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67685-mengobati-kegalauan-bag-4.html

Mengobati Kegalauan (Bag. 3)

Mengingat Kematian

Setiap manusia akan mati. Seluruh hiruk pikuk kehidupan dunianya akan berujung. Segala kesenangan yang mengisi hari-harinya. Canda bersama keluarga, dekapan hangat sang Bunda, pasangan yang sangat dicinta, buah hati yang manis tertawa, melimpahnya harta, dan keseganan orang lain karena jabatannya.

Begitu pula dengan berbagai kepiluan yang menghiasi hari-hari semasa di dunia. Ujian berupa sempitnya harta,  kerja keras membanting tulang menguras tenaga, getirnya tuduhan orang atasnya, caci makian  manusia, iri dengki rasa tak suka, dan berbagai kesedihan yang melanda. Seluruh kesedihan, kecemasan, dan kegalauan dunia itu akan fana, terhenti dengan kematian yang akan bersambung dengan kehidupan di fase selanjutnya. Bisa dia menjadi orang yang bahagia, namun bisa juga lebih menderita dari kehidupan di dunianya.

أكثروا ذكرَ هاذمِ اللَّذاتِ : الموتِ ؛ فإنَّه لَم يذْكُرْه أحدٌ في ضيقٍ مِن العَيشِ إلَّا وسَّعَه علَيهِ ، و لا ذَكرَه في سَعةٍ إلَّا ضيَّقَها عليهِ

“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena kematian itu, jika diingat oleh orang yang sedang dalam kesusahan hidup, maka akan bisa melapangkannya. Dan jika diingat oleh orang yang sedang lapang, maka akan bisa menyempitkannya” (HR. Al-Bazzar, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Syekh Al-Albani menghasankannya sebagaimana di dalam Shahih Al-Jami’ no. 1211)

Orang yang senantiasa mengingat kematian akan merasa lebih lapang hatinya saat ada ujian yang menerpa. Dia sadari bahwa kesedihan, kecemasan dan kegalauan dunia itu tidak akan kekal abadi selama dia bertakwa kepada Allah ta’ala. Semua ujian dunia tersebut akan terputus saat kematian datang. Kehidupan setelah kematianlah kehidupan yang sesungguhnya.

Sebaliknya, orang yang senantiasa mengingat kematian tidak akan bergembira berlebihan saat dia diberi nikmat kesenangan oleh Allah ta’ala karena dia ingat bahwa seluruh kesenangan itu akan terputus saat kematian tiba. Bahkan kesenangan itu akan berganti kesedihan berlipat saat ia gunakan untuk kemaksiatan. Orang yang senantiasa mengingat kematian akan merasa qana’ah, memanfaatkan waktunya sebaik mungkin untuk mengumpulkan bekal,  dan dia tak mau mati-matian mengejar sesuatu yang tidak bisa dibawa mati.

Berdoa kepada Allah ta’ala

Doa adalah terapi yang sangat bermanfaat, baik untuk pencegahan maupun pengobatan. Hendaknya seorang muslim senantiasa berdoa kepada Allah ta’ala, mengadu, merendah, dan minta dijauhkan dari kegalauan hidup kepada-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagai pelayan beliau telah mengabarkan keadaan dirinya saat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

كنتُ أخدُمُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا نزلَ فكُنتُ أسمعُهُ كثيرًا يقولُ اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ منَ الهمِّ والحزنِ والعَجزِ والكَسلِ والبُخلِ وضَلَعِ الدَّينِ وغلبةِ الرِّجالِ

“Dulu aku melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika beliau singgah di suatu tempat, aku sangat sering mendengar beliau berdoa,

اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ منَ الهمِّ والحزنِ والعَجزِ والكَسلِ والبُخلِ والْجُبْنِ وضَلَعِ الدَّينِ وغلبةِ الرِّجالِ

‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari al-hamm (galau dengan sesuatu yang belum terjadi), al-hazn (sedih dengan sesuatu yang sudah terjadi), ketidakberdayaan, kemalasan, pelit, ketakutan, hutang yang tak bisa terbayarkan, dan ditindas oleh orang.’.”

(HR. Bukhari no.2893)

Doa ini bermanfaat untuk mencegah kegalauan sebelum terjadinya, dan kaidah dalam pengobatan adalah “pencegahan itu lebih mudah dari pada mengobati”.

Di antara hal yang paling bermanfaat adalah perhatian dengan perkara-perkara di masa depan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rajin berdoa dengan doa,

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ .

“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi penjaga urusanku, dan perbaikilah duniaku yang menjadi tempat kehidupanku, dan perbaikilah akhiratku yang menjadi tempat kembaliku, dan jadikanlah kehidupan ini menjadi tambahan setiap kebaikan dan jadikanlah kematian menjadi tempat istirahat dari setiap keburukan” (HR. Muslim no. 2720)

Jika kegalauan meliputi seseorang, maka ingatlah bahwa pintu doa terbuka lebar. Allah ta’ala yang Maha Mulia membuka pintu-Nya dan memberi orang yang meminta kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), ‘Aku itu dekat’. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186).

Di antara doa yang agung dalam pengobatan kegalauan adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, doa yang beliau memotivasi kita untuk mempelajari dan menghafalkannya.

مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ

إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ

قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا

“Tidaklah seorang hamba tertimpa suatu kegalauan dan kesedihan kemudian dia berdoa,

‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, telah lewat bagiku hukum-Mu, keadilan takdir-Mu bagiku. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri,  atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegalauanku.’

Kecuali Allah Azza Wa Jalla akan mengangkat kegalauannya dan Allah akan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan.

Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari rangkaian kalimat (doa) tersebut?’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, Tentu. Hendaklahmuslim yang mendengar (doa dalam hadis ini) untuk mempelajarinya.’. (HR. Ahmad  dalam Al-Musnad 1/391 dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 198)

Hadis ini mengandung pengakuan seorang hamba bahwa dia adalah milik Allah ta’ala sehingga dia pasti membutuhkan-Nya. Dalam doa ini, seorang muslim juga mengikrarkan ketundukan terhadap hukum Allah ta’ala, rida dengan takdir-Nya, dan tawassul dengan nama-nama Allah, setelah itu baru dia meminta apa yang diinginkannya.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengucapkan kalimat-kalimat ini saat menderita hatinya,

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ

“Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, Yang Maha Agung, Yang Maha Santun. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Rabb Arsy Yang Agung. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Rabb Langit, Bumi dan Arsy Yang Mulia” (HR. Bukhari no. 6346)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya jika ada sesuatu yang menyusahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berdoa،

يَا حَيُّ يَا قَيُوم بِرَحْمَتِكَ أَستَغِيْث

Wahai Zat yang Maha Hidup, wahai Zat yang Berdiri Sendiri, dengan kasih sayang-Mu aku meminta pertolongan. (HR. Tirmidzi no. 3524, dihasankan dalam Shahih al Jami’ 4653)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan doa lainnya, sebagaimana ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada Asma’ binti ‘Umais radhiyallahu ‘anha,

أَلاَ أُعَلِّمُكِ كَلِمَاتٍ تَقُولِينَهُنَّ عِنْدَ الْكَرْبِ أَوْ فِى الْكَرْبِ اللَّهُ اللَّهُ رَبِّى لاَ أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Maukah engkau (Asma’ binti ‘Umais) aku ajarkan sebuah kalimat yang bisa engkau ucapkan ketika susah?

اللَّهُ اللَّهُ رَبِّى لاَ أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

‘Allah, Allah adalah Rabbku, yang aku tidak akan menyekutukan Nya dengan sesuatu apapun’.”

(HR. Abu Dawud, kitab ash-Sholat, Bab di dalam Istigfar, di dalam Shahih Al Jami’ 2620)

Di antara doa yang bermafaat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah doa yang disebutkan dalam sebuah hadis,

دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ : اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Doa ketika susah hati adalah

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

‘Ya Allah, Rahmat-Mu lah yang aku harapkan, janganlah Engkau sandarkan diriku kepada diriku sendiri sekejap mata pun. Perbaikilah perkaraku seluruhnya, tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau’.”

(HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Adab no 5090. dinilai hasan di dalam Shahih al-Jami’ 3388 dan di dalam Sahih Sunan Abi Dawud no. 4246).

Jika seorang hamba berdoa dengan doa-doa ini dengan tulus, jujur, dengan hadirnya hatinya, dan bersungguh-sungguh melakukan sebab-sebab terkabulnya doa, maka Allah ta’ala akan mengabulkan doanya. Dengan begitu kegalauannya akan pergi, berganti dengan kegembiraan.

[Bersambung]

***

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67494-mengobati-kegalauan-bag-3.html