SERING kita mendengar kata mengadu nasib dari mulut para transmigran atau imigran. Berangkat dari desa ke kota atau ke negara lain untuk mencari keberuntungan yang belum tentu menguntungkan. Ada istilah yang relatif mentereng namun satu makna dengan yang di atas, yaitu mengejar impian. Substansinya sama, yakni bagaimana mengubah nasib menjadi enak atau lebih enak.
Berikut adalah beberapa nasehat yang sempat saya rekam dari perbincangan saya dengan orang-orang tua yang sangat tua sekali tentang bagaimana mengubah nasib. Orang-orang tua itu rata-rata adalah kiai atau tokoh masyarakat. Pertama adalah “perseringlah berbisik ke bumi melalui sujudmu agar disampaikan ke langit apa yang menjadi maumu.”
Mereka yang jarang atau bahkan enggan shalat dan sujud tak akan mampu menemukan hakikat kesuksesan dan kebahagiaan. Semua yang didapat hanyalah bersifat semu dan semi. Hidup mereka hanya bagai mengejar fatamorgana; indah yang diharap, hampa yang didapat. Perlu dicatat bahwa mendapatkan sepotong singkong rebus sungguh lebih nikmat ketimbang bermimpi mendapat sebongkah emas.
Nasehat yang kedua untuk mengubah nasib adalah “ubahlah adatmu sampai ia bernilai ibadat dengan kesungguhan niat.” Para ulama jiwa berkata: “hanya orang gila yang berharap hasil yang berbeda dari usaha yang sama.” Rutinas yang tak efektif cepatlah pangkas dan gantikan dengan kebiasaan baru yang lebih bernilai bernas.
Tanyakan kepada diri kita, selama ini untuk apakah kebanyakan waktu kita itu kita gunakan? Kalau kebanyakan waktu kita digunakan untuk chatting di media sosial dengan isi perbincangan yang tidak bermutu, maka mintalah sukses bahagia kepada “media sosial” itu.
Demikian dua dari tujuh nasehat para tetua yang sempat saya share hari ini. Semoga share ini masuk dalam katagori bermutu dan bernilai untuk sukses bahagia kita. Salam, AIM. [*]