Menilai dan Melihat Orang Lain dari Yang Tampak

Agama Islam mengajarkan kepada umatnya dalam bermuamalah dengan orang lain agar melihat berdasarkan dari yang zahir (tampak) saja. Apa yang ada di hati seseorang, kita tidak ada beban dan kewajiban untuk mencari tahu. Hal ini bertujuan agar timbul kedamaian dan ketenangan hati bagi kaum muslimin.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata,

فَمَنۡ أَظۡهَرَ لَنا خَيۡرًا أَمَّنَّاهُ وقَرَّبۡنَاهُ وَلَيۡسَ لَنَا مِنۡ سَرِيرَتِهِ شَيۡءٌ ، اَللهُ يُحاسِبُهُ في سَرِيرَتِهِ

“Barangsiapa yang menampakkan perbuatan baik kepada kami, maka kami berikan keamanan dan kami dekatkan kedudukannya kepada kami, sedangkan kami tidak mempersoalkan sedikit pun tentang hatinya. Allahlah yang akan menghisab isi hatinya itu.” (Riwayat Bukhari, terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin Bab 49)

Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat berinteraksi dengan orang-orang munafik. Kebanyakan orang-orang munafik zaman dahulu tidak diketahui, hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beberapa sahabat (semisal Huzaifah) yang mengetahuinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun juga berinteraksi dan bermuamalah dengan mereka.

Ada beberapa kisah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat orang lain dari yang nampak saja.

Kisah Usamah bin Zaid ditegur Nabi

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus kami ke al-Huraqah, salah satu daerah Juhainah. Lalu saat pagi hari kami menyerang mereka hingga dapat mengalahkannya, setelah itu aku dan seorang laki-laki Anshar bertemu dengan seorang laki-laki dari mereka.

 فَلَمَّا غَشِينَاهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارِيَّ وَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَّى قَتَلْتُهُ قَالَ فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا قَالَ فَقَالَ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ

Ketika kami mendekatinya, maka dia mengucapkan, ‘LA ILAHA ILLALLAH.’ Maka, laki-laki Anshar itu menahan diri untuk tidak membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku, hingga aku membunuhnya.”

Usamah berkata, “Ketika kami sampai, maka peristiwa itu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan, ‘LA ILAHA ILLALLAH?’”

Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengucapkan hal tersebut hanya sebagai tameng (takut terhadap pedang).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat tersebut?” (dalam riwayat lain: “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut senjata atau tidak?”)

Usamah berkata, “Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengulanginya hingga aku berandai-andai bahwa aku baru masuk Islam pada saat itu (agar terhapuskan kesalahannya).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan, dalam medan perang pun kita hanya diperintahkan untuk menghukumi seseorang dari yang tampak tanpa harus mengetahui apa isi hatinya.

Kisah orang yang protes kepada Nabi

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu perihal kisah orang yang menuduh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak adil dan berkata,

اتَّقِ اللَّهَ يَا مُحَمَّدُ

“Wahai Muhammad, bertakwalah kamu kepada Allah!” 

Yaitu, tatkala harta yang dikirim oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Yaman dibagi-bagikan kepada orang-orang yang hatinya lemah (mualaf: yang hatinya lunak, belum kokoh berislam).

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

إِنَّمَا أَتَأَلَّفُهُمْ

“Aku hanya ingin melunakkan hati mereka.”

Khalid bin Walid berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah saya memotong lehernya (orang yang mencela Nabi tadi)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

لَا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ يُصَلِّي

Jangan, bisa jadi ia mengerjakan salat.

Khalid berkata, Berapa banyak orang yang salat berkata dengan lisannya yang tidak sesuai dengan hatinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam besabda,

إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ

“Aku tidak diperintah untuk melubangi (melihat) hati seseorang.” (HR. Bukhari no. 4004, Muslim no. 1762, Abu Dawud no. 4136)

Baca juga: Bimbingan Islam dalam Menyikapi Kesalahan Orang Lain

Nabi menerima uzur orang yang tertinggal perang tabuk

Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَهُ المُخَلَّفُونَ، فَطَفِقُوا يَعْتَذِرُونَ إِلَيْهِ وَيَحْلِفُونَ لَهُ، وَكَانُوا بِضْعَةً وَثَمَانِينَ رَجُلًا، فَقَبِلَ مِنْهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلاَنِيَتَهُمْ، وَبَايَعَهُمْ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ، وَوَكَلَ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللَّهِ

“… Beberapa orang sahabat (sebagian besar adalah orang munafik, penj.) yang tidak sempat ikut serta bertempur bersama kaum muslimin datang seraya menyampaikan berbagai alasan (dusta) kepada beliau dengan bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak turut serta bertempur itu sekitar delapan puluh orang lebih. Ternyata Rasulullah menerima berbagai alasan-alasan mereka yang tidak ikut serta berperang, membaiat mereka, memohon ampun untuk mereka, dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah…” (HR. Bukhari)

Contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari

Ketika ada seseorang meminta-minta (pengemis) datang kepada kita. Ia mengatakan sedang butuh dan terlilit utang, kemudian meminta sejumlah uang. Maka, berikanlah sedekah kepadanya semampu kita tanpa harus berprasangka ia seorang penipu atau hanya beralasan demikian. Jika ia memang menipu, maka tidak akan mengurangi pahala kita. Urusan hisab adalah urusan Dia dengan Allah.

Kasus yang lain semisal ketika belajar kelompok atau menjadi suatu panitia kegiatan. Ada teman yang terlambat hadir dengan alasan tertentu. Maka, apa yang ia ucapkan kita terima dahulu tanpa perlu menduga-duga. Perkara ia berdusta itu urusannya dengan Allah. Demikian juga dalam hubungan antara suami dan istri. Maka, tidak sepantasnya kita menduga-duga isi hati orang lain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam besabda,

إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث

Berhati-hatilah dari prasangka (buruk), karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta. (HR. Bukhari dan Muslim).

Klarifikasi (tabayyun): Jangan menjadi penyebab prasangka bagi orang lain

Shafiyyah (istri Nabi) pernah mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beriktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dan berbincang-bincang dengan beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan Shafiyyah pulang ke rumah. Ketika itu mereka bertemu dengan dua orang sahabat Anshar di jalan. Mereka berdua memandang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan penuh curiga). Kemudian mereka melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Shafiyyah, untuk menghilangkan kecurigaan mereka. Beliau pun berkata, “Sini, ini adalah istriku Shafiyyah binti Huyay.”

Mereka berdua pun mengatakan, “Subhanallah, wahai Rasulullah.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يُلْقِىَ فِى أَنْفُسِكُمَا شَيْئًا

Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia melalui pembuluh darahnya. Aku benar-benar khawatir ada sesuatu prasangka jelek yang ada dalam diri kalian berdua. (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, selain kita dilarang berprasangka kepada orang lain, di sisi lainnya sebisa mungkin kita juga tidak boleh memancing dan membuat orang lain timbul prasangka kepada kita.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89056-menilai-dan-melihat-orang-lain-dari-yang-tampak.html