Menjadi Pribadi Muhsin

Pengertian Ihsan

Sebagai hamba Allah yang menginginkan kebaikan baik di dunia maupun akhirat, sudah semestinya kita mengenali diri dan agama ini dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana kita ketahui, dalam Islam terdapat tiga tingkatan seorang hamba, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan. Wujud keislaman kita dapat dibuktikan dengan mengerjakan amalan-amalan badaniyyah seperti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan wujud keimanan adalah amalan hati (bathiniyyah), yaitu mengimani Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Adapun wujud Ihsan dapat dimanifestasikan dalam segala bentuk amalan baik badaniyyah maupun bathiniyyah, baik wajib maupun sunnah yang dipersembahkan hanya bagi Allah dengan cara meyakini bahwa Allah Ta’ala mengawasi setiap tutur kata, tingkah laku, perbuatan dan segala gerak-gerik kita dimanapun dan kapanpun.

Ihsan adalah sebuah istilah yang menggambarkan derajat tertinggi seorang hamba yang muslim dan beriman. Untuk menggapai derajat Ihsan, kita mesti memahami hakikat Ihsan dan mengerti tentang betapa pentingnya upaya kita untuk sampai pada derajat ini.

Dalam sebuah hadits populer yang dikenal dengan Hadits Jibril, Rasulullah shallallahualaihiwasallam menjelaskan makna Ihsan sebagai berikut :

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”. [HR Muslim, no.8 dari Umar bin Al Khattab radhiyallahuanhu]

Dalam Kitab Bahjatu Qulubil Abraar Halaman 168-169, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah membagi pengertian Ihsan dalam dua macam, yaitu Ihsan dalam ibadah kepada Allah dan Ihsan dalam bermuamalah dengan makhluk Allah.

Namun, dalam artikel ini penulis mengkhususkan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan Ihsan dalam pengertian Ibadah kepada Allah Ta’ala saja. Syaikh As-Sa’di kemudian melanjutkan penjelasan tentang Ihsan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah seakan-akan melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya.

Bagaimana Beribadah dengan Ihsan

Tentu, secara umum kita faham maksud dari ‘beribadah kepada Allah dan meyakini bahwa Allah mengawasi ibadah kita. Tapi, bagaimana dengan maksud dari ‘كَأَنَّكَ تَرَاهُ’ (seakan-akan engkau melihatNya)?

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar radhiallahuanhu bahwa Rasulullah shallallahualaihiwasallam menasehati seorang sahabat yang Bernama Ibnu Umar Faidah radhiallahuanhu dengan bersabda :

اعبدِ اللهَ كأنَّك تراه وكنْ في الدُّنيا كأنَّك غريبٌ أو عابرُ سبيلٍ

“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah dan jadilah kamu di dunia seakan-akan orang asing atau musafir” (HR. Ahmad No. 6156)

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda :

اعبدِ الله كأنكَ تراهُ ، فإن لم تكنْ تراهُ فإنه يراك ، واعددْ نفسكَ في الموتَى ، وإياكَ ودعوةُ المظلومِ فإنها تستجابُ ، ومن استطاعَ منكم أن يَشهدَ الصلاتينِ العشاءَ والصبحَ ولو حَبوا فليفعلْ

“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah, jika kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia yang melihatmu dan anggaplah bahwa seakan-akan kamu hendak mati, jauhi dan hati-hati dari do’a orang-orang yang didzalimi, dan siapa diantara kalian yang mampu untuk shalat subuh dan ‘isya berjamaah walaupun dia merangkah untuk mendatanginya, hendaknya dia lakukan”(HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani dalam Kitab As-Silsilah As-Shahihah No 1474)

Rasulullah shalallahualaihiwasallam menjelaskan tentang bagaimana kita semestinya menghadirkan perasaan bahwa seakan-akan kita berada di ambang kematian -dan memang kita berada di titik itu saat ini-. Maka dengannya, kita kemudian akan mempersembahkan ibadah terbaik kita kepada Allah, mulai dari tuma’ninahnya hingga kekhusyu’annya.

Beribadah seakan-akan melihat Allah juga mengandung makna bahwa beribadah mestinya dengan didahului oleh mempelajari ilmu tentang ibadah tersebut. Adapun pokok ilmu adalah Ma’rifatullah (Mengenal Allah). Semakin dalam kita mempelajari ilmu tentang Allah, maka semakin dalam pula tingkat pengetahuan kita tentang Allah. Mengenal Allah tentu saja dengan cara mempelajari Ilmu Tauhid, mulai dari rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, dan Asma’ Was-Shifat-Nya.

Demikianlah maksud dari “beribadah seakan-akan melihat Allah”. Oleh karenanya, betapa pentingnya berilmu sebelum beramal. Pada akhirnya, dengan memperdalam ilmu tentang Ma’rifatullah akan semakin mendekatkan kita pada derajat Ihsan yang merupakan level tertinggi seorang hamba.

Buah Kepribadian Ihsan

Telah kita ketahui bahwa dengan mengenal Allah lebih dalam akan semakin memudahkan kita untuk mencapai derajat Ihsan. Jika kita telah sampai pada suatu titik dimana segala hal yang kita lakukan kita sadari bahwa Allah selalu mengawasi, maka insyaallah kita kemudian akan menjadi hamba yang mendapat keberkahan disetiap tutur kata dan tingkah laku baik dalam konteks hablun minallah maupun hablun minannaas.

Menjadi hamba Allah yang mendapat keberkahan itulah yang disebut Muhsin, yaitu orang yang telah sampai pada derajat Ihsan dan akan mendapatkan karunia serta pahala terbaik di syurga. Allah Ta’ala berfirman:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.
(QS. Yunus: 26).

Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim menjelaskan bahwa maksud dari al-husna adalah surga. Sedangkan maksud dari ziyadatun adalah nikmat terbesar berupa dapat melihat wajah Allah pada hari kiamat.

Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

“Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, (yang artinya) “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?” Maka mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?” Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Mahamulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah ‘azza wa jalla.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas (Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya). (HR. Muslim, no. 181)

Maka apalagi yang mesti kita tunggu? Mari segera bertekad dan berupaya semaksimal mungkin untuk menggapai derajat Ihsan. Mengetahui lebih dalam tentang Ma’rifatullah agar dalam beribadah kita dapat menghadirkan Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Begitu pula agar kita meyakini dengan haqqul yaqin serta senantiasa menyadari bahwa Allah Maha Melihat dan Mengawasi apapun yang kita lakukan dimanapun dan kapanpun.

Wallahua’lam bi ashawab.

Sumber: https://muslim.or.id/72262-menjadi-pribadi-muhsin.html