Apakah topik yang Anda diskusikan saat bertemu dan berbicara dengan teman lama yang jarang berjumpa dalam waktu yang lama? Kadangkala, membicarakan tentang seseorang menjadi topik yang dianggap mengasyikkan bagi sebagian kita. Sayangnya, pembicaraan tersebut lebih banyak menyentuh masalah aib yang dirasa enak untuk diceritakan. Semakin buruk aib tersebut, semakin mengasyikkan pula untuk terus dibahas. Padahal, bisa jadi itu merupakan rahasia yang harus dijaga dan tidak untuk diceritakan.
Mulut dan lidah merupakan bagian anugerah yang agung dari Allah Ta’ala. Betapa banyak hamba-hamba Allah yang diuji dengan masalah kesehatan pada dua organ tubuh tersebut. Mereka tidak dapat berbicara dengan lancar. Bahkan, ada pula yang diberi ujian berupa tidak memiliki pita suara sehingga komunikasinya dengan orang sekitarnya hanya bisa dengan bahasa isyarat. Lantas, tidakkah kita bersyukur dengan dua nikmat organ tubuh mulut dan lidah ini?
أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ¤ وَلِسَانًا وَشَفَتَيۡنِ
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9)
Tentu, cara terbaik dalam mewujudkan rasa syukur tersebut adalah dengan mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, memuji Allah atas nikmat tersebut, serta memohon kepada Allah agar mendapatkan rida dengan memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut dalam ketaatan[1]. Karenanya, bukankah menggunakan nikmat tersebut selain untuk ketaatan adalah bentuk dari kufur nikmat? Wal’iyadzubillah.
Ingat, bahwa selain wujud syukur, menjaga lisan dari mengumbar aib orang lain juga merupakan bentuk dari rasa persaudaraan kita khususnya sesama muslim. Tidak menceritakan aibnya, artinya kita telah menjaga kehormatannya. Maka, dengan demikian, Allah Ta’ala pun akan menjaga kehormatan kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَن نفَّسَ عن مُؤْمنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنيا؛ نفَّسَ اللهُ عَنه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَوْمِ القِيامَةِ، ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ، ومَن يسَّرَ على مُعْسِرٍ يسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخِرَةِ، واللهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كان العَبْدُ في عَوْنِ أَخيه
“Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699, At-Tirmidzi no. 2945, Ibnu Majah no. 225, Abu Dawud no. 1455, Ahmad no. 7427 dan ini adalah redaksi beliau)
Gibah
Istilah “gibah” kini telah populer di tengah-tengah masyarakat. Gibah identik dengan gosip atau gunjing. Dua kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang sama, yaitu: membicarakan (menceritakan) hal-hal negatif tentang orang lain. Dalam bahasa syariat, gibah dimaknai dengan menyebut-nyebut atau menceritakan orang lain mengenai perkara dirinya yang tidak ia sukai (jika ia mendengarnya).
Allah Ta’ala menciptakan kita sebagai manusia yang memiliki panca indera dan perasaan yang tidak jauh berbeda. Hal-hal yang menurut kita menyakitkan, bagi orang lain juga bisa jadi menyakitkan. Kaitannya dengan hal-hal negatif atau aib diri yang kadangkala menjadi topik mengasyikkan untuk dibahas, seharusnya benar-benar menjadi renungan kita bersama.
Secara manusiawi saja, kita tidak suka jika aib, kekurangan, dan hal-hal negatif yang ada pada diri kita dibahas dan menjadi bahan tertawaan orang lain. Lalu, bagaimana pula kita sanggup melakukan hal tersebut kepada orang lain? Apalagi, syariat cukup tegas melarang kita untuk melakukannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَتَدْرُونَ ما الغِيبَةُ؟ قالوا: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: ذِكْرُكَ أخاكَ بما يَكْرَهُ قيلَ أفَرَأَيْتَ إنْ كانَ في أخِي ما أقُولُ؟ قالَ: إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ.
“Tahukah kalian apa itu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika sesuai kenyataan, berarti Engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti Engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589)
Akibat gibah
Saudaraku, renungkanlah! Adakah aib yang menurutmu hanya engkau dan Allah saja yang tahu? Dosa yang kau tak ingin orang lain mengetahuinya. Aib yang apabila terbuka, maka tak ada lagi yang menghormati dan menghargaimu. Bahkan, orang-orang terdekatmu sendiri. Aib yang selalu engkau jaga dengan melakukan berbagai perbuatan baik dan amalan saleh untuk menutupnya. Bayangkan! Bagaimana jika Allah membuka semuanya?
Relakah engkau? Jika suatu waktu, Allah Ta’ala mengizinkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya mengetahui aib tersebut, kemudian semua orang tahu siapa dirimu sesungguhnya dengan kehinaan dosa-dosamu?
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘, 6: 120)
Terbukanya aib yang selalu dijaga itu bisa saja terjadi. Dalam agama mulia ini, ada kaidah, الجزاء من جنس العمل “Balasan, selaras dengan amal perbuatan.” Dalam konteks gibah, balasan dari perbuatan mengibahi adalah digibahi. Balasan perbuatan membuka aib dan menceritakan dosa-dosa orang lain tanpa alasan yang syar’i, maka aib dan dosanya pun akan dibuka. Wal’iyadzubillah.
Renungan bagi ahli gibah
Terang saja, tidak ada yang bersedia disebut sebagai ahli gibah. Tetapi, terkadang banyak manusia yang sebenarnya tahu larangan dari perbuatan gibah, tetap saja melakukannya tanpa khawatir akan akibat dari perbuatan tersebut. Terus saja ia melakukannya dengan berbagai pembenaran, seperti untuk menghibur diri, mencairkan suasana, atau berbagai alasan lainnya. Tanpa sadar, dengan perbuatan tersebut sebenarnya ia bisa saja menjadi bagian dari ahli gibah.
Namun, termasuk atau tidaknya kita dalam golongan orang-orang ahli gibah ini, hanya kita yang mampu menilainya. Renungkan saja, dalam sehari ini, sudah berapa orang yang kita ceritakan perkara dirinya yang ia tidak sukai? Sudah berapa aib yang kita bongkar baik dengan sadar atau tidak? Padahal, setiap ucapan yang keluar dari lisan akan tercatat dengan tanpa cacat oleh malaikat Raqib ‘Atid.
Allah Ta’ala berfirman,
مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, kecuali di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)
Kita mungkin khawatir berbuat kesalahan ketika tahu bahwa gerak-gerik kita diawasi oleh CCTV. Namun, kita pun sebenarnya tahu bahwa pergerakan dan tingkah laku kita pun diawasi oleh malaikat dengan pengawasan yang jauh lebih canggih. Sayangnya, iman yang lemah terkadang mendorong kita untuk melakukan dosa seperti gibah tanpa khawatir bahwa dosa-dosa kita tercatat dan terekam dengan rapi.
Agar terhindar dari gibah
Menyadari bahwa diri ini lemah dan senantiasa membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala, maka sepantasnyalah kita selalu menyibukkan diri bermuhasabah. Daripada menceritakan aib orang lain, alangkah lebih mulianya jika kita mengintrospeksi diri. Meng-upgrade kualitas keislaman, keimanan, dan keihsanan kita. Mudah-mudahan dengannya kita terhindar dari perbuatan gibah yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Oleh karenanya, berikut beberapa hal yang kiranya menjadi pertimbangan ikhtiar kita agar terhindar dari dosa gibah:
Pertama: Niatkan setiap hari untuk tidak membicarakan aib sesama karena menginginkan keridaan Allah Ta’ala.
Kedua: Berdoa dan bermohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala agar diberikan petunjuk dan hidayah agar terjaga dari perbuatan gibah.
Ketiga: Ikhtiarlah dengan menjauhi lingkungan yang berpotensi memicu kita untuk melakukan perbuatan gibah. Kemudian, bergaullah dengan orang-orang saleh yang bersedia untuk saling mengingatkan kepada Allah.
Keempat: Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Tuliskanlah aktivitas bermanfaat setiap hari di waktu pagi sebagai pedoman rutinitas yang akan dikerjakan pada hari itu.
Kelima: Apabila ada kolega yang mengajak untuk membicarakan aib orang lain, ajaklah ia untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Lebih baik tidak enak kepada Allah daripada tidak enak kepada manusia.
Keenam: Sadarilah bahwa setiap saat, setan selalu mencoba untuk menggoda kita agar melakukan maksiat termasuk gibah. Mohonlah pertolongan Allah agar dijauhkan dari godaan setan.
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Catatan kaki:
[1] Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin, hlm. 187.
Sumber: https://muslim.or.id/92187-menjauhi-gibah-menjaga-aib-sesama.html
Copyright © 2024 muslim.or.id