Idul Fitri; Menjaga Keselarasan Lahir Batin

Bagi kalangan muslim khususnya, Idul Fitri merupakan sebuah momentum istimewa. Dan disadari atau tidak, hal ini seolah menuntut untuk menyambutnya secara tidak biasa pula. Sebut saja dalam urusan berpakaian.

Menjelang hari raya Idul Fitri, pusat-pusat perbelanjaan menawarkan diskon spesial. Orang-orang pun berbondong-bondong mendatanginya. Semua berburu busana baru karena ingin tampil dengan pakaian terbaik di hari yang istimewa itu.

Islam sejatinya tidak melarang manusia untuk berhias diri dengan menggunakan pakaian yang indah atau bahkan mewah. Terutama di hari-hari istimewa seperti hari Jumat dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).

Dalam al-Hawi al-Kabir, Abu al-Hasan al-Mawardi menjelaskan,

يستحب للرجل أن تكون ثياب جمعته وعيده أجمل من ثيابه في سائر أيامه، لأنه يوم زينة

“Dianjurkan bagi seseorang agar busana Jumat dan Idnya lebih bagus daripada busana yang ia pakai sehari-hari. Karena hari itu adalah hari berhias,” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 2/455).

Di samping alasan karena hari itu adalah hari berhias, dalam keterangannya, al-Mawardi juga mengutip Riwayat bahwa Rasulullah pernah bersabda,

ما على أحدكم لو اشترى ثوبين ليوم جمعته سوى ثوبي مهنته

“Tak soal kalian membeli dua baju untuk digunakan pada hari Jumat selain dua baju untuk digunakan bekerja,” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 2/455).

Demikian, salah satu wujud perhatian syariat terhadap busana. Namun begitu, perlu diingat bahwa anjuran menggunakan pakaian terbaik pada hari-hari istimewa seperti Idul Fitri jangan sampai dimaknai sebagai ajang berlomba-lomba dalam memperindah busana.

Apalagi sampai menjadi ajang pamer busana belaka. Sebab yang lebih utama dari sekadar pakaian adalah hati dan perbuatan.

Dengan kalimat lain, perhatian pada busana dan penampilan lahir jangan sampai membuat kita lupa memperhatikan kondisi batin, terlebih pada momen Idul Fitri. Ulama sufi Abu Abdurrahman as-Sulami, guru dari Imam al-Qusyairi, dalam ‘Uyub al-Nafs mengingatkan,

وَمن عيوبها اشتغالُها بالإصلاح الظَّاهِر لزينة النَّاس وغفلتها عَن إصْلَاح الْبَاطِن الَّذِي هُوَ مَوضِعُ نَظرِ الله عز وَجل

“Diri yang sibuk memperbaiki penampilan agar tampak indah di depan manusia sementara lalai menata batin yang notabene menjadi objek penilaian Allah merupakan penyakit.” (al-Sulami, ‘Uyub al-Nafs, 21).

Pandangan ini selaras dengan sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. bersabda,

 إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak memandang penampilan kalian, juga tidak pada harta kalian. Melainkan yang Allah padangan adalah hati dan perbuatan kalian.”

Sampai di sini, menjadi jelas pula bahwa Islam membawa pesan yang moderat dalam artian tidak hanya mengatus urusan lahir, atau urusan batin belaka. Melainkan keduanya sama-sama penting menurut Islam.

Secara tersirat, semangat Islam dalam menyelaraskan antara yang lahir dan yang batin bisa dibaca dalam Qs. Al-An’am: 160. Allah Ta’ala berfirman,

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ

Tinggalkanlah dosa lahir maupun dosa batin” (Qs. Al-An’am: 160).

Secara jelas melalui ayat ini Allah tidak hanya memerintahkan untuk meninggalkan dosa lahiriah seperti mencuri, mencaci, dan seterusnya. Allah juga tidak sekadar memerintahkan agar meninggalkan dosa batin seperti sombong, ujub, iri, dengki, riya, dan macam-macam penyakit hati lainnya.

Akan tetapi Allah Swt, memerintahkan agar kedua jenis dosa itu ditinggalkan.

Sebagai penutup perlu kiranya merenungi nasihat yang termaktub dalam Tuhfat al-Habib ala Syarh al-Khatib karya al-Bujairami berikut.

جعل الله للمؤمنين في الدنيا ثلاثة أيام: عيد الجمعة والفطر والأضحى، وكلها بعد إكمال العبادة وطاعتهم. وليس العيد لمن لبس الجديد بل هو لمن طاعته تزيد، ولا لمن تجمل باللبس والركوب بل لمن غفرت له الذنوب. وأما عيدهم في الجنة فهو وقت اجتماعهم بربهم ورؤيته في حضرة القدس، فليس شيء عندهم ألذ من ذلك.

“Allah menciptakan tiga hari raya untuk orang-orang beriman: haru Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha. Ketiganya ada setelah orang-orang mukmin menyempurnakan ibadah dan ketaatan mereka. Hari raya bukan milik orang yang menggunakan pakaian baru, tapi milik orang yang ketaatannya bertambah.

Hari raya juga bukan milik ia yang bersolek dengan pakaian dan kendaraan, tapi milik ia yang dosa-dosanya diampuni. Sedangkan hari raya orang mukmin di surga kelak adalah saat mereka berkumpul dengan Tuhannya, melihat-Nya secara nyata, karena tiada  sesuatupun yang lebih nikmat daripada itu.” (al-Bujairami, Tuhfat al-Habib ala Syarh al-Khatib, 2/218).

Demikian sekelumit penjelasan tentang urgensi menyelaraskan lahir dan batin. Semoga di hari yang fitri ini kita mampu menyelaraskan keduanya sehingga di hari yang mulia ini tidak hanya busana kita yang indah, tapi juga hati kita. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH