Idul Fitri; Menjaga Keselarasan Lahir Batin

Bagi kalangan muslim khususnya, Idul Fitri merupakan sebuah momentum istimewa. Dan disadari atau tidak, hal ini seolah menuntut untuk menyambutnya secara tidak biasa pula. Sebut saja dalam urusan berpakaian.

Menjelang hari raya Idul Fitri, pusat-pusat perbelanjaan menawarkan diskon spesial. Orang-orang pun berbondong-bondong mendatanginya. Semua berburu busana baru karena ingin tampil dengan pakaian terbaik di hari yang istimewa itu.

Islam sejatinya tidak melarang manusia untuk berhias diri dengan menggunakan pakaian yang indah atau bahkan mewah. Terutama di hari-hari istimewa seperti hari Jumat dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).

Dalam al-Hawi al-Kabir, Abu al-Hasan al-Mawardi menjelaskan,

يستحب للرجل أن تكون ثياب جمعته وعيده أجمل من ثيابه في سائر أيامه، لأنه يوم زينة

“Dianjurkan bagi seseorang agar busana Jumat dan Idnya lebih bagus daripada busana yang ia pakai sehari-hari. Karena hari itu adalah hari berhias,” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 2/455).

Di samping alasan karena hari itu adalah hari berhias, dalam keterangannya, al-Mawardi juga mengutip Riwayat bahwa Rasulullah pernah bersabda,

ما على أحدكم لو اشترى ثوبين ليوم جمعته سوى ثوبي مهنته

“Tak soal kalian membeli dua baju untuk digunakan pada hari Jumat selain dua baju untuk digunakan bekerja,” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 2/455).

Demikian, salah satu wujud perhatian syariat terhadap busana. Namun begitu, perlu diingat bahwa anjuran menggunakan pakaian terbaik pada hari-hari istimewa seperti Idul Fitri jangan sampai dimaknai sebagai ajang berlomba-lomba dalam memperindah busana.

Apalagi sampai menjadi ajang pamer busana belaka. Sebab yang lebih utama dari sekadar pakaian adalah hati dan perbuatan.

Dengan kalimat lain, perhatian pada busana dan penampilan lahir jangan sampai membuat kita lupa memperhatikan kondisi batin, terlebih pada momen Idul Fitri. Ulama sufi Abu Abdurrahman as-Sulami, guru dari Imam al-Qusyairi, dalam ‘Uyub al-Nafs mengingatkan,

وَمن عيوبها اشتغالُها بالإصلاح الظَّاهِر لزينة النَّاس وغفلتها عَن إصْلَاح الْبَاطِن الَّذِي هُوَ مَوضِعُ نَظرِ الله عز وَجل

“Diri yang sibuk memperbaiki penampilan agar tampak indah di depan manusia sementara lalai menata batin yang notabene menjadi objek penilaian Allah merupakan penyakit.” (al-Sulami, ‘Uyub al-Nafs, 21).

Pandangan ini selaras dengan sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. bersabda,

 إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak memandang penampilan kalian, juga tidak pada harta kalian. Melainkan yang Allah padangan adalah hati dan perbuatan kalian.”

Sampai di sini, menjadi jelas pula bahwa Islam membawa pesan yang moderat dalam artian tidak hanya mengatus urusan lahir, atau urusan batin belaka. Melainkan keduanya sama-sama penting menurut Islam.

Secara tersirat, semangat Islam dalam menyelaraskan antara yang lahir dan yang batin bisa dibaca dalam Qs. Al-An’am: 160. Allah Ta’ala berfirman,

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ

Tinggalkanlah dosa lahir maupun dosa batin” (Qs. Al-An’am: 160).

Secara jelas melalui ayat ini Allah tidak hanya memerintahkan untuk meninggalkan dosa lahiriah seperti mencuri, mencaci, dan seterusnya. Allah juga tidak sekadar memerintahkan agar meninggalkan dosa batin seperti sombong, ujub, iri, dengki, riya, dan macam-macam penyakit hati lainnya.

Akan tetapi Allah Swt, memerintahkan agar kedua jenis dosa itu ditinggalkan.

Sebagai penutup perlu kiranya merenungi nasihat yang termaktub dalam Tuhfat al-Habib ala Syarh al-Khatib karya al-Bujairami berikut.

جعل الله للمؤمنين في الدنيا ثلاثة أيام: عيد الجمعة والفطر والأضحى، وكلها بعد إكمال العبادة وطاعتهم. وليس العيد لمن لبس الجديد بل هو لمن طاعته تزيد، ولا لمن تجمل باللبس والركوب بل لمن غفرت له الذنوب. وأما عيدهم في الجنة فهو وقت اجتماعهم بربهم ورؤيته في حضرة القدس، فليس شيء عندهم ألذ من ذلك.

“Allah menciptakan tiga hari raya untuk orang-orang beriman: haru Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha. Ketiganya ada setelah orang-orang mukmin menyempurnakan ibadah dan ketaatan mereka. Hari raya bukan milik orang yang menggunakan pakaian baru, tapi milik orang yang ketaatannya bertambah.

Hari raya juga bukan milik ia yang bersolek dengan pakaian dan kendaraan, tapi milik ia yang dosa-dosanya diampuni. Sedangkan hari raya orang mukmin di surga kelak adalah saat mereka berkumpul dengan Tuhannya, melihat-Nya secara nyata, karena tiada  sesuatupun yang lebih nikmat daripada itu.” (al-Bujairami, Tuhfat al-Habib ala Syarh al-Khatib, 2/218).

Demikian sekelumit penjelasan tentang urgensi menyelaraskan lahir dan batin. Semoga di hari yang fitri ini kita mampu menyelaraskan keduanya sehingga di hari yang mulia ini tidak hanya busana kita yang indah, tapi juga hati kita. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Idul Fitri: Momentum Mengerdilkan yang Selain Allah

Idul Fitri identik dengan takbir. Takbir dikumandangkan sejak matahari terakhir di bulan Ramadan tenggelam hingga menjelang shalat Id dilaksanakan. Dalam shalat Id pun, takbir dibaca baca berulang. Tujuh kali untuk rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua. 

Dalam al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi disebutkan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ، يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى، سَبْعًا وَخَمْسًا، فِي الْأُولَى سَبْعًا، وَفِي الْآخِرَةِ خَمْسًا، سِوَى تَكْبِيرَةِ الصَّلَاةِ  

Sesungguhnya Rasulullah Saw, bertakbir pada dua (sholat Id) yakni Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali dan lima kali. Pada rakaat pertama tujuh kali, rakaat terakhir lima kali selain takbir sholat .” (al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, 3/404)

Demikian pula dalam khutbah yang dilangsungkan seusai shalat Id. Dalam khutbah Idul Fitri takbir dibaca berulang-ulang. Pada khutbah pertama disunnahkan untuk memulainya dengan takbir sebanyak sembilan kali. Sementara dalam khutbah kedua, sunnah hukumnya memulai dengan takbir sebanyak tujuh kali (Fathul Qarib al-Mujib, 102).

Lantas apa sebetulnya makna takbir? Apa pula pelajaran yang bisa dipetik dari identiknya Lebaran dengan takbir ini?

Secara sederhana, takbir adalah mengagungkan Allah serta meyakini bahwa tiada sesuatupun yang lebih besar dan lebih agung daripada Allah. Dengan demikian, di bawah  keagungan Allah, menjadi kecil setiap sesuatu yang besar (Fiqh al-Ad’iyah wa al-Azdkar, 1/285).  

Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Hadis Qudsi, 

الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ

Kebesaran adalah selendangku, sedang keagungan adalah sarungku. Barangsiapa merampas salah satunya dari-Ku maka pasti Ku-campakkan dia ke dalam neraka” (Sunan Abi Daud, 4/59).

Menjelaskan Hadis Qudsi ini, al-Khattabi dalam Ma’alim al-Sunan mengatakan,

أن الكبرياء والعظمة صفتان لله سبحانه اختص بهما لا يشركه أحد فيهما ولا ينبغي لمخلوق أن يتعاطاهما، لأن صفة المخلوق التواضع والتذلل

“Bahwa kebesaran dan keagungan adalah adalah dua sifat eksklusif milik Allah yang tidak dimiliki oleh selain Allah. juga tidak layak bagi makhluk merampas dua sifat ini lantaran sifat makhluk adalah tawadlu dan merendah.” (Ma’alim al-Sunan, 4/196)

Sampai di sini, dapat ditarik benang merah bahwa sejatinya Idul Fitri yang identik dengan takbir mengajarkan hal penting. Yaitu bahwa semuanya, bahkan sesuatu yang dianggap besar sekali pun tidak mungkin menandingi Kebesaran Allah.

Jika dalam keseharian cenderung mengagungkan pangkat dan jabatan, mendewakan popularitas, karir, dan keterkenalan, membangga-bangkan nasab, diri sendiri berikut capaian dan prestasi, atau merasa depresi dengan aneka problematika kehidupan yang menimpa, dengan adanya Idul Fitri kita kembali diingatkan bahwa semua itu tak ada apa-apanya. Sebab yang Maha Besar dan Maha Agung hanyalah Allah semata.

Walhasil, Idul Fitri menjadi momentum untuk membesarkan dan mengangungkan Allah serta mengerdilkan selain-Nya, termasuk diri kita sendiri. Secara bersamaan, Idul Fitri menjadi ajang untuk membersihkan diri dari pengagungan yang berlebihan kepada selain Allah.

Juga dari sifat sombong dan ujub yang dalam kajian tasawuf menjadikan kita terhijab dari Allah. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Semoga Kita Berhasil Mencapai Derajat Taqwa

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra menjadi khotib shalat Idul Fitri di Masjid Agung Sunda Kelapa, Senin (2/5/2022). Isi khutbah Prof. Azyumardi Azra tentang “Fitrah Memperkuat Ukhuwwah Untuk Kedamaian”

Pada permulaan ceramahnya, Prof Azyumardi Azra mengajak jamaah memanjatkan rasa syukur atas kesempatan yang telah Allah SWT berikan.

“Jamaah shalat Idul Fitri Rahimakumullah; Pada pagi ini, 1 Syawal 1443H/ Mei, 2022M, Alhamdulillah kita dapat melaksanakan ibadah Idul Fitri dalam keadaan sehat wal-afiat lahir batin setelah sebulan Ramadhan menjalankan ibadah puasa.”

“Dalam kesempatan penuh nikmat dan berkah ini marilah kita menyampaikan puji syukur seraya mendekatkan diri pada Allah SWT (taqarrub ila Allah). Semoga kita telah berhasil mencapai derajat atau maqam taqwa, sesuai tujuan ibadah puasa.” katanya.

“Shalawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang sepenuhnya kita ikuti untuk mengaktualisasikan kedamaian Islam rahmatan lilalamin, rahmat bagi alam semesta; dasar dan asas peradaban Islam di muka bumi.”

Menurutnya, kita patut berbahagia karena insya Allah berhasil dalam mengendalikan hawa nafsu selama berpuasa dan melakukan banyak ibadah mulai shalat tarawih, tadarrus dan iktikaf sampai membayar zakat mal, zakat fitrah, infaq dan shadaqah. Hal ini sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, di hari bahagia ini kita bertakbir dan melakukan shalat sunnah sesuai firman Allah SWT surah al-A’laa ayat 14-15 yang artinya.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu ia bersembahyang.”

Khutbah Hari Raya Idul Fitri kali ini ingin menyegarkan kembali makna yang terkandung dalam fitrah manusia dan ajaran Islam tentang kedamaian, kebhinnekaan dan ukhuwwah Islamiyyah. Ketiga hal ini merupakan faktor penting dalam membangun (kembali) peradaban Islam secara komprehensif. Hari ini kita merayakan kemenangan ‘fitri’; kembali kepada ‘fitrah’ (kesucian), seperti dijelaskan Allah dalam firman-Nya surah Ar-Rum ayat 30 yang artinya.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah pada) fitrah Allah yang telah menjadikan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

IHRAM

Khotbah Jumat: 6 Kekeliruan dalam Merayakan Idul Fitri

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى.

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Terlebih lagi kita telah berada di penghujung bulan Ramadan yang sangat mulia ini. Kita tingkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan itu baik dengan menjalankan seluruh kewajiban yang telah diwajibkan Allah Ta’ala, maupun memperbanyak amalan sunah yang akan menyempurnakan amal ibadah wajib kita. Selain itu, tidak kalah penting juga untuk meninggalkan seluruh larangan Allah Ta’ala.

Sesungguhnya suksesnya seorang muslim di dalam melewati bulan Ramadan diukur dengan tingkat keimanan dan ketakwaan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2014).

Terampuni dosa-dosa kita merupakan indikasi baik dan sukses kita di dalam bulan suci ini. Pada hadis yang telah kita sebutkan, ampunan Allah Ta’ala hanya akan didapatkan oleh mereka yang menjalani puasa ini dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala.

Selanjutnya, tak lupa puji dan syukur senantiasa kita haturkan kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, atas semua limpahan nikmat dan rezeki yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita. Baik rezeki itu berupa nikmat iman, nikmat kesehatan, dan yang tak kalah penting nikmat taufik serta hidayah. Sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk beribadah bersama, melaksanakan salat Jumat terakhir di bulan Ramadan ini.

Sebentar lagi, kaum muslimin akan merayakan hari raya Idul Fitri. Hari suka cita, hari yang penuh kegembiraan, dan kebahagiaan. Kegembiraan berupa kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini dengan beramal. Kebahagiaan berupa kemampuan untuk menjalankan puasa yang telah Allah Ta’ala wajibkan.

Ma’asyiral muslimin, jemaah Salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.

Di dalam merayakan hari raya Idul Fitri yang penuh berkah ini, syariat telah memberikan begitu banyak tuntunan dan petunjuk yang disunahkan untuk kita lakukan. Bahkan ada beberapa amalan yang sangat ditekankan untuk dilakukan di hari raya ini. Sayangnya, masih banyak sekali kekeliruan-kekeliruan yang terjadi di masyarakat kita saat merayakan Idul Fitri.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas bersama 6 kekeliruan yang sering terjadi pada masyarakat kita saat merayakan hari raya Idul Fitri.

Kesalahan pertama: salah dalam memaknai Idul Fitri

Banyak masyarakat kita menganggap makna Idul Fitri adalah ‘kembali suci’. Selain itu, mereka juga berkeyakinan bahwa ketika Idul Fitri, semua muslim dosanya diampuni. Kedua anggapan ini tidak tepat.

Pertama, Idul Fitri berasal dari dua kata; ‘ied (Arab: عيد) dan al-fitr (Arab: الفطر ).

Kata ‘ied secara bahasa berasal dari kata ‘aadaya’uudu (Arab: عاد – يعود), yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘ied karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, dan pada waktu yang sama.

Sedangkan kata al-fitr berasal dari kata aftharayufthiru (Arab: أفطر – يفطر ), yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Berbeda dengan anggapan kebanyakan orang Indonesia. Seringkali memaknainya dengan ‘fitrah’ dan ini jelas salah. Kedua kata tersebut memiliki makna berbeda dan penggunaannya pun berbeda. Oleh karena itu, perayaan ini disebut Idul Fitri karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa Ramadan.

Kedua, konsekuensi dari kesalahan mengartikan Idul Fitri ini berakibat pada anggapan bahwa seluruh kaum muslimin di hari raya ini ‘kembali suci’ atau ‘suci seperti bayi’. Maksudnya, diampuni dosanya sebagaimana bayi yang baru lahir.

Keyakinan semacam ini termasuk kekeliruan yang sangat fatal. Berkeyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa Ramadan dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh amal puasa kaum muslimin telah diterima oleh Allah Ta’ala. Menganggap bahwa puasanya menjadi kaffarah (penghapus) terhadap semua dosa yang meraka lakukan, baik dosa besar maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang yang bisa memastikan hal ini karena tidak ada satu pun makhluk yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah Ta’ala ataukah tidak. Bahkan para sahabat sekali pun tidak pernah merasa yakin bahwa amal mereka di bulan Ramadan ini diterima oleh Allah Ta’ala. Mu’alla bin Fadl mengatakan,

كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم

“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadan. Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka ketika di bulan Ramadan” (Lathaiful Ma›arif, Ibnu Rajab, hal. 264).

Kesalahan kedua: berkeyakinan adanya syariat mengisi malam ‘Ied dengan ibadah khusus

Anggapan ini termasuk bidah dan tidak ada dalil dari Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wasallam. Adapun riwayat yang menjelaskan tentang amalan di malam ‘Ied,

من أحيا ليلة العيد لم يمت قلبه يوم تموت القلوب

“Siapa yang menghidupkan malam ‘Ied, hatinya tidak akan mati saat banyak hati yang mati”

Hadis ini lemah dan tidak sahih. Sumbernya berasal dari dua riwayat, salah satunya maudhu’ (palsu) dan yang satu lagi sangat lemah sekali. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah wal Maudhu’ah, karya Syekh Al-Albany, 520-521).

Oleh karena itu, tidak disyariatkan mengkhususkan malam ‘Ied dengan mendirikan salat malam dibandingkan dengan malam-malam lainnya. Kecuali kalau orang tersebut memang terbiasa melakukan salat malam pada selain malam ‘Ied.

Kesalahan ketiga: mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya

Hal ini bertentangan dengan tujuan dan syiar di hari raya, yaitu mengisinya dengan kegembiraan dan kesenangan. Di sisi lain, hal ini juga bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya dari menjadikan kubur sebagai ‘Ied (perayaan) karena mengkhususkan ziarah kubur di momen hari raya ini termasuk dalam makna menjadikannya sebagai ‘Ied. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya,

“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pemakaman, dan janganlah kalian jadikan makamku sebagai ‘Ied (tempat perayaan). Serta ucapkanlah selawat untukku, karena sesungguhnya ucapan selawat kalian akan sampai kepadaku di mana saja kalian berada” (HR. Abu Daud dengan sanad hasan, dan para perawinya ṡiqāt).

Di dalam hadis tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang umatnya menjadikan makamnya sebagai ‘Ied. Lalu bagaimana dengan kuburan yang lain? Tentu saja hukumnya lebih ditekankan lagi dan larangannya lebih tegas.

Kesalahan keempat: melalaikan salat berjamaah dan meninggalkan salat subuh karena begadang di malam harinya

Sangat disayangkan, perkara ini seringkali diremehkan oleh sebagian kaum muslimin. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاةُ الْعِشَاءِ وَصَلاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لا يَشْهَدُونَ الصَّلاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّار

“Salat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah salat Isya dan salat Fajar. Seandainya mereka tahu keutamaan yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. Sungguh aku ingin memerintahkan salat dimulai dan aku minta seseorang menjadi imam salat. Sedangkan aku pergi bersama beberapa orang yang membawa kayu bakar menuju suatu kaum yang tidak hadir salat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api” (HR. Muslim no. 651).

Di hadis yang lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر

“Janji antara kami dan mereka adalah salat. Siapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir” (HR. Tirmizi no. 2621, An-Nasa’i no. 463. Dinyatakan sahih oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi).

Kesalahan kelima: bercampur baur dan berdesak-desakan antara laki-laki dan wanita di tempat salat, jalan-jalan, atau selainnya

Allah Ta’ala berfirman,

ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا

“Dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra’: 32).

Saat menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan perbuatan yang mendekatkan kepada zina, yaitu ber-ikhtilath (bercampur-baur) dengan sebab-sebabnya dan segala hal yang mendorong kepada zina tersebut” (Umdatut Tafsir, 2: 428).

Oleh karena itu, yang bisa dilakukan seorang laki-laki hendaknya ia tidak langsung pulang dari tempat salat atau masjid sebelum kaum wanita telah pulang terlebih dahulu.

Kesalahan keenam: keluarnya sebagian wanita dalam keadaan memakai wewangian, berhias, dan terbuka auratnya

Sungguh ini termasuk pelanggaran yang sering terjadi, dan termasuk perkara yang sering diremehkan orang-orang. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Siapa saja wanita yang memakai wewangian, lalu melewati sebuah kaum agar mereka mencium wanginya, maka dia telah berzina”. (HR. Nasa’i no. 5126; Tirmizi no. 2786. Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 2019).

Para orang tua dan para suami hendaknya tegas di dalam perkara ini, wajib hukumnya untuk mengarahkan anak-anak perempuan serta istrinya agar tidak berbuat hal tersebut, serta mengambil tindakan apabila diperlukan.

Jamaah salat Jumat yang berbahagia.

Akhir kata, hari raya Idul Fitri yang akan kita rayakan ini termasuk salah satu nikmat Allah Ta’ala yang patut kita syukuri. Bermaksiat kepada-Nya dan menyalahi syariat-Nya bukanlah termasuk bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita salah satu hambanya yang bisa menikmati perayaan Idul Fitri ini dengan hati yang bersih, jauh dari keteledoran, kekeliruan, dan bisa memberikan kebahagiaan ini untuk orang lain.

Wallahu a’lam bisshowaab.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74868-khotbah-jumat-6-kekeliruan-dalam-merayakan-idul-fitri.html

Panduan Bacaan Doa di Rumah Setelah Shalat Idul Adha dan Shalat Idul Fitri

Dalam kitab Bustanul Fuqara’ wa Nuzhatul Qurra’,  Imam Shaleh bin Abdullah bin Haidar Al-Syafi’i menyebutkan salah satu riwayat bahwa Umar bin Abdul Aziz membaca doa berikut setelah melaksanakan shalat ‘Id. Doa dimaksud adalah sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ اْلحَقُّ  إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ فَإِنْ كُنْتَ مِنَ المُحْسِنِيْنَ فَارْحَمْنِيْ ، وَإِنْ لَمْ أَكُنْ مِنَ اْلمُحْسِنِيْنَ فَقَدْ قُلْتَ وَكَانَ بِاْلمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْماً  فَارْحَمْنِيْ وَإنْ لَمْ أَكُنْ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ فَأَنْتَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ اْلمَغْفِرَةِ فَاغْفِرْ لِيْ، وَإنْ لَمْ أَكُنْ مُسْتَحِقًّا لِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَأَنَا صَاحِبُ مُصِيْبَة ٍوَقَدْ قُلْتَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌوَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ اَللَّهُمَّ فَارْحَمْنِيْ

Allohumma innaka qulta wa qawlukal haqqu; Inna rohmatallaahi qoriibum minal muhsiniin. Fa inkuntu minal muhsiniina farhamnii, wa illam akum minal muhsiniina faqod qulta; Wa kaana bil mu’miniina rohiimaa, farhamnii. Wa illam akun minal mu’miniina fa anta ahlut taqwaa wa ahlul maghfiroh, faghfirlii. Wa illam akun mustahiiqon lisyai-in min dzaalika fa ana shoohibu mushiibatin wa qod qulta; Alladziina idzaa ashoobathum mushiibatun qooluu innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ulaa-ika ‘alihim sholawaatun min robbihim wa rohmah, wa ulaa-ika humul muhtaduun, allohumma farhamnii.

Artinya:

Ya Allah, sungguh Engkau telah berfirman dan firman-Mu benar; Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. Jika aku termasuk orang yang berbuat baik, maka rahmatilah aku. Jika aku bukan termasuk orang yang berbuat baik, maka Engkau telah berfirman; Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. Jika aku tidak termasuk orang yang beriman, maka Engkau adalah Dzat Yang Maha Pengampun, karena itu ampunilah aku.

Jika aku tidak berhak mendapatkan semua itu, berarti aku termasuk orang yang terkena musibah, dan Engkau telah berfirman; Orang-orang yang terkena musibah dan mereka berkata ‘Kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.’ Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahamt dari Tuhannya, dan mereka itulah yang mendapatkan petunjuk. Maka rahmatilah aku.

Doa ini dapat kita baca saat kita melaksanakan shalat Idul Adha di rumah sesuai imbauan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama.

BINCANG SYARIAH

Ramadan Berlalu, Yakin telah Kembali Suci?

SETELAH kita melihat bahwa di bulan Ramadan ini penuh dengan pengampunan dosa dari Allah Taala, namun banyak yang menyangka bahwa dirinya kembali suci seperti bayi yang baru lahir selepas bulan Ramadan, padahal kesehariannya di bulan Ramadan tidak lepas dari melakukan dosa-dosa besar.

Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa dosa-dosa kecil bisa terhapus dengan amalan puasa, salat malam dan menghidupkan malam lailatul qadar. Namun ingatlah bahwa pengampunan tersebut bisa diperoleh bila seseorang menjauhi dosa-dosa besar.

Lalu bagaimanakah dengan kebiasaan sebagian kaum muslimin yang berpuasa namun menganggap remeh salat lima waktu, bahkan seringkali meninggalkannya ketika dia berpuasa padahal meninggalkannya termasuk dosa besar?

Sebagian kaum muslimin begitu semangat memperhatikan amalan puasa, namun begitu lalai dari amalan salat lima waktu. Padahal dengan sangat nyata dapat kami katakan bahwa orang yang berpuasa namun enggan menunaikan salat, puasanya tidaklah bernilai apa-apa. Bahkan puasanya menjadi tidak sah disebabkan meninggalkan salat lima waktu.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan salat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan salat telah melakukan dosa kekafiran dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan salat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Taala,

“Jika mereka bertaubat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS At Taubah: 11)

Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan salat.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai salat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”

Namun ini nyata terjadi pada sebagian orang yang menunaikan puasa. Mereka begitu semangat menunaikan puasa Ramadan, namun begitu lalai dari rukun Islam yang lebih penting yang merupakan syarat sah keislaman seseorang yaitu menunaikan salat lima waktu. Hanya Allah lah yang memberi taufik.

Lalu seperti inikah Idul Fitri dikatakan sebagai hari kemenangan sedangkan hak Allah tidak dipedulikan? Seperti inikah Idul Fitri disebut hari yang suci sedangkan ketika berpuasa dikotori dengan durhaka kepada-Nya? Kepada Allah-lah tempat kami mengadu, semoga Allah senantiasa memberi taufik. Ingatlah, meninggalkan salat lima waktu bukanlah dosa biasa, namun dosa yang teramat bahaya.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah- mengatakan,

“Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan salat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”

Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kabair, Ibnu Hazm rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan salat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”

Itulah kenyataan yang dialami oleh orang yang berpuasa. Kadang puasa yang dilakukan tidak mendapatkan ganjaran apa-apa atau ganjaran yang kurang dikarenakan ketika puasa malah diisi dengan berbuat maksiat kepada Allah, bahkan diisi dengan melakukan dosa besar yaitu meninggalkan salat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Jika demikian, di manakah hari kemenangan yang selalu dibesar-besarkan ketika Idul Fitri? Di manakah hari yang dikatakan telah suci lahir dan batin sedangkan hak Allah diinjak-injak? Lalu apa gunanya minta maaf kepada sesama begitu digembar-gemborkan di hari ied sedangkan permintaan maaf kepada Rabb atas dosa yang dilakukan disepelekan? [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Hal-hal yang Dilakukan Rasulullah Saat Idul Fitri

  1. RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam biasa melaksanakan Salat Id di tanah lapang. Beliau tidak menunaikan salatnya di masjid kecuali sekali saja yaitu karena hujan.
  2. Saat Hari Raya Idul Fitri, Nabi mengenakan pakaian terbaik (terindah).
  3. Beliau biasa makan kurma-dengan jumlah ganjil-sebelum pergi melaksanakan Salat Id. Tetapi pada Idul Adha, Rasulullah tidak makan terlebih dahulu sampai pulang, setelah itu baru beliau memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
  4. Dianjurkan untuk mandi sebelum pada hari Id sebelum ke tanah lapang, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar yang dikenal semangat mengikuti sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  5. Nabi Muhammad biasa berjalan (menuju tanah lapang) sambil berjalan kaki. Beliau biasa membawa sebuah tombak kecil. Jika sampai di tanah lapang, beliau menancapkan tombak tersebut dan salat menghadapnya (sebagai sutroh atau pembatas ketika salat).
  6. Beliau shallallahu alaihi wa sallam biasa mengakhirkan salat Idul Fitri (agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrinya) dan mempercepat pelaksanaan salat Idul Adha (supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya).
  7. Ibnu Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali setelah matahari terbit, lalu beliau bertakbir dari rumahnya hingga ke tanah lapang.
  8. Beliau shallallahu alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan salat tanpa ada adzan dan iqomah. Tidak ada juga ucapan, Ash Sholatul Jamiah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam dan juga sahabatnya tidak menunaikan salat sebelum (qobliyah) dan sesudah (badiyah) Salat Id.
  9. Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan Salat Id dua rakaat terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah takbiratul ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Tidak disebutkan bacaan zikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu bahwa bacaan ketika itu adalah berisi pujian dan sanjungan kepada Allah taala serta bersalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibnu Umar (yang dikenal semangat dalam mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa sallam)mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.
  10. Setelah bertakbir, beliau shallallahu alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada rakaat pertama serta surat “Al-Qamar” pada rakaat kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-Ala” pada rakaat pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada rakaat kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku dilanjutkan takbir 5 kali pada rakaat kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
  11. Setelah menunaikan salat, beliau shallallahu alaihi wa sallam menghadap ke arah jemaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
  12. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah di tanah dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
  13. Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa memulai khutbahnya dengan Alhamdulillah dan tidak terdapat dalam satu hadis pun yang menyebutkan beliau memulai khutbah Id dengan bacaan takbir. Hanya saja dalam khutbahnya, beliau shallallahu alaihi wa sallam memperbanyak bacaan takbir.
  14. Beliau shallallahu alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jemaah untuk tidak mendengar khutbah.
  15. Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika Id bertepatan dengan hari Jumat untuk mencukupkan diri dengan Salat Id saja dan tidak menghadiri Salat Jumat.
  16. Beliau shallallahu alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) Id.

 

Pembahasan ini disarikan dari kitab Zadul Maad, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Murojaah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslimah.or.id

Sumber: https://muslimah.or.id/145-petunjuk-nabi-dalam-shalat-ied.html

Ramadhan yang Membekas

BULAN Ramadhan, umat Islam berlomba-lomba melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih. Karena memang, berbagai kelebihan dan keutamaan yang dimiliki oleh bulan Ramadhan telah memberikan motivasi dan semangat bagi kita untuk meraihnya. Maka, tidak mengherankan bila pada bulan Ramadhan masjid atau mushalla penuh dengan jamaah shalat lima waktu dan tarawih. Begitu pula tadarus al-Quran bergema di mana-mana. Orang-orang berlomba-lomba berbuat amal shalih dengan berinfak, bersedekah, dan sebagainya.

Kini Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita. Lantas, bagaimana status ibadah dan amal shalih kita pasca Ramadhan? Apakah kita tetap istiqamah dalam melakukan ibadah dan amal shalih seperti yang kita lakukan selama Ramadhan? Sejauh mana Ramadhan kali ini memberi kesan dan pengaruh terhadap perilaku kita? Beberapa pertanyaan ini patut mendapat perhatian bagi setiap muslim, dalam rangka muhasabah. Selain itu, agar semangat Ramadhan terus hidup di jiwa kita dan membekas dalam perilaku kita sehari-hari pasca Ramadhan.

Sejatinya pasca Ramadhan kita diharapkan istiqamah, mampu dan terbiasa dengan melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih untuk hari-hari pasca Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya, baik berupa amalan wajib maupun sunnat. Karena Ramadhan adalah bulan tarbiyah. Ramadhan telah mendidik dan mentraining kita secara fulltime 30 hari berturut-turut untuk melakukan ibadah puasa dan lainnya. Tujuannya yaitu untuk menjadi insan yang bertaqwa sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala jelaskan dalam al-Quran (al-Baqarah: 183). Inilah keutamaan Ramadhan yang disediakan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai sarana untuk menjadi orang yang bertakwa.

Jika Ramadhan yang telah berlalu ini dapat memberikan bekas dan pengaruh kepada kita dalam kehidupan kita  sehari-hari pasca Ramadhan yaitu dengan ditandai semakin baik perilaku, amal shalih dan ibadah kita, maka sukseslah kita dalam training dan ujian untuk memperoleh gelar taqwa tersebut dan beruntunglah kita. Namun sebaliknya, jika Ramadhan tidak membekas dan berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari, maka gagallah kita dalam training dan ujian tersebut dan merugilah kita. Maka, kesuksesan Ramadhan kita sangatlah tergantung dengan kuantitas dan kualitas ibadah kita pada bulan-bulan berikutnya setelah Ramadhan.

 

Sungguh Ramadhan telah memberikan pembelajaran yang banyak terhadap kepribadian seorang muslim dalam rangka melahirkan insan yang bertakwa dan berkarakter islami. Banyak pembelajaran yang dapat kita peroleh dari bulan Ramadhan untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari pasca Ramadhan. Di antaranya adalah:

Pertama, semangat beribadah dan beramal shalih. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk semangat beribadah dan berlomba-lomba dalam  kebaikan. Maka, pasca Ramadhan ini sejatinya kita mempertahankan kualitas dan kuantistas ibadah dan amal shalih itu. Karena ibadah dan amal shalih itu tidak hanya disyariatkan untuk bulan Ramadhan saja, tapi sesungguhnya diperintahkan sepanjang masa selama kita hidup di dunia yang fana ini. Inilah tugas utama kita di dunia sebagai makhluk Allah sesuai dengan firman-Nya:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ (٥٦)

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS: Az-Zariyat: 56).

Bahkan kita diperintahkan Allah Subhanahu Wata’ala untuk berlomba dalam kebaikan setiap saat, bukan hanya pada bulan Ramadhan. Allah berfirman, Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan..” (Al-Baqarah: 148)

Kedua, menjaga diri dari maksiat. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita bagaimana mengendalikan diri dari hawa nafsu  dan maksiat lewat ibadah puasa. Pada waktu berpuasa kita dituntut untuk menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya. Jika hal-hal yang mubah seperti makan, minum dan hubungan istri dilarang pada waktu berpuasa, maka terlebih lagi hal-hal yang diharamkan. Dengan demikian kita dilatih untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan. Maka puasa itu dapat menjaga diri dari maksiat. Inilah salah satu maqashid syariah dari ibadah puasa sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Saw dengan sabdanya, “Puasa itu perisai (penahan diri dari maksiat)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka, sudah sepatutnya setelah Ramadhan kita mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan maksiat baik berupa perkataan seperti ghibah, mencaci maki, menipu, menfitnah dan sebagainya, maupun perbuatan seperti mencuri, korupsi, memukul, membunuh dan sebagainya. Pasca Ramadhan ini diharapkan kita menjadi orang  yang shalih. Hal ini tercermin dari perilaku kita yang semakin baik dari sebelumnya.

 

Ketiga, suka membantu orang lain. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk membantu saudara kita yang lemah ekonominya lewat infak, shadaqah dan zakat. Amal shalih tersebut sangat digalakkan pada bulan Ramadhan. Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan terbiasa dengan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan pertolongan kita dan terjepit ekonominya. Kebiasaan berinfak pada bulan Ramadhan perlu dipertahankan dan dilanjutkan pada bulan lainnya.

Mengenai keutamaannya, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٍ۬ فَلِأَنفُسِڪُمۡ‌ۚ

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka pahalanya itu untuk kalian sendiri…” (QS: Al-Baqarah: 272).

Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Setiap hari, dua malaikat turun kepada seorang hamba. Salah satunya berdoa, “Ya Allah, berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak. Dan yang lain berdoa, “Ya Allah, hilangkan harta orang yang menolak infak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam juga bersabda, “Allah Swt menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

Keempat, suka mengasihi dan mencintai saudara seiman. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk berempati dan peduli terhadap orang fakir dan miskin. Melalui puasa Ramadhan kita dapat merasakan kondisi orang-orang yang kelaparan dan bagaimana penderitaan hidup orang fakir dan miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Begitu pula Ramadhan mengajari kita untuk saling mencintai dan mengasihi sesama muslim dengan memberikan menggalakan kita untuk memberikan makanan untuk berbuka puasa dan makanan untuk bersahur . Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan untuk dapat selalu merasakan penderitaan saudara-saudara kita seiman, baik karena lemah ekonominya maupun konflik perang sehingga menimbulkan rasa empati dan kasih sayang terhadap mereka. Kita diharapkan untuk memiliki rasa solidaritas ukhuwwah dan kepedulian sosial serta mencintai saudara muslim. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Kelima, selalu menjaga shalat berjama’ah. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk selalu menjaga shalat jama’ah lewat shlat lima waktu, shalat tarawih dan qiyam lail di masjid dan mushalla. Pada saat shalat tarawih, masjid dan mushalla penuh dengan jama’ah selama bulan Ramadhan. Bahkan pada awal-awalnya terlihat membludak, walaupun pada akhir Ramadhan jama’ah semakin berkurang, namun tetap lebih ramai dibandingkan dengan jumlah jama’ah pada hari-hari sebelum Ramadhan. Maka, diharapkan pasca Ramadhan kita terbiasa melakukan shalat berjama’ah di masjid atau mushalla. Sejatinya semangat shalat berjama’ah ini bisa dipertahankan dan dilanjutkan pada shalat lima waktu pada hari-hari setelah Ramadhan.

Baca: Etos Perjuangan di Bulan Ramadhan

Di antara keutamaan shalat jama’ah yaitu pertama, orang yang shalat berjamaah mendapatkan 27 kali lipat pahala dibandingkan shalat sendirian (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua, setiap langkah orang yang shalat berjama’ah dicatat satu pahala sekaligus dihapus satu kesalahan (HR. Bukhari dan Muslim). Ketiga, orang yang shalat berjama’ah akan tetap di doakan oleh para malaikat setelah shalatnya sampai shalat berikutnya selama ia masih ditempat shalatnya (HR. Bukhari dan Muslim). Keempat, makmum yang berbarengan ucapan aminnya dengan para malaikat, maka diampuni dosa-dosanya. (HR. Bukhari).

Keenam, menjaga shalat sunnat. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk semangat melakukan ibadah sunnah. Pahala amalan sunnat pada bulan Ramadhan dihitung pahala wajib sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits (HR. Baihaqi).

Itu sebabnya orang berlomba-lomba melakukan shalat-shalat sunnat di bulan Ramadhan. Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan kita untuk tetap istiqamah dalam menjaga shalat-shalat sunnat seperti Rawatib, ghair Rawatib, Dhuha, Tahiyatul masjid, Wudhu’, Tahajjud, Witir dan shalat sunat Fajar.

Adapun keutamaan shalat Rawatib yaitu dibangunkan rumah di Surga (HR. Muslim). Keutamaan shalat Dhuha yaitu pahalanya sama seperti bersedekah (HR. Muslim). Mengenai keutamaan shalat sunat setelah wudhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda kepada Bilal, “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling kamu harapkan akan mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan sejak masuk Islam, karena aku benar-benar mendengar suara terompahmu di surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang paling aku harapkan pahalanya kecuali setiap kali selesai berwudhu, baik di waktu siang maupun malam, aku melakukan shalat sunnah semampuku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun keutamaan shalat sunnat Fajar (sudah masuk waktu shubuh, namun sebelum shalat shubuh) adalah nilai pahalanya lebih baik dari dunia dan isinya, sebagaimana sabda Nabi Saw, “Shalat dua rakaat di waktu fajar lebih baik daripada dunia beserta isinya.” (HR. Muslim)

 

Ketujuh, suka bertadarus al-Quran. Makna tadarus al-Quran adalah membaca, memahami, menghafal dan mempelajari Al-Quran. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk tadarus dengan al-Quran. Tadarus al-Quran termasuk amalan yang paling utama dan digalakkan di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, umat Islam dengan semangat dan antusias bertadarus al-Quran. Bahkan dalam bulan Ramadhan seorang muslim mampu mengkhatamkan Al-Quran beberapa kali.

Maka, sepeninggal Ramadhan kita diharapkan terbiasa dengan berinteraksi dengan al-Quran baik dengan  membaca, mengkhatamkan,  memahami, menghafal maupun mengkaji al-Quran. Karena al-Quran itu tidak hanya wajib dibaca pada bulan Ramadhan, namun juga wajib dibaca pada bulan-bulan berikutnya (selain Ramadhan).

Banyak sekali keutamaan orang yang membacanya, di antaranya yaitu; Pertama: mendapatkan syafaat (pertolongan) pada hari Kiamat (HR. Muslim). Kedua, Rasulullah Shalallahu ’Alaihi Wassallam menegaskan bahwa orang yang terbaik di antara manusia adalah orang yang mau mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. (HR. Bukhari). Ketiga, orang yang pandai membaca Al-Qur’an akan disediakan tempat yang paling istimewa di surga bersama para malaikat yang suci. Sedangkan orang yang membaca terbata-bata (belum pandai), maka ia akan diberi dua pahala. (HR. Bukhari dan Muslim). Kelima, orang yang membaca dan mendengar Al-Qur’an akan mendapatkan sakinah, rahmah, doa malaikat dan pujian dari Allah Swt. (HR. Muslim). Keenam, mendapat pahala yang berlipat ganda yaitu setiap huruf dihitung satu kebaikan dan satu kebaikan dilipat gandakankan menjadi sepuluh ganda (HR. at-Tirmizi), dan sebagainya.

Demikianlah hendaknya kita mengisi hari-hari pasca Ramadhan yaitu dengan istiqamah melakukan berbagai ibadah dan amal shalih seperti yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Ibadah dan amal shalih ini tidak hanya diperintahkan pada bulan Ramadhan, namun juga pada bulan-bulan lainnya. Kesuksesan Ramadhan seseorang itu ditandai dengan semakin baik ibadah dan perilakunya yaitu menjadi orang bertakwa. Semoga ibadah dan amal shalih kita di bulan Ramadhan diterima Allah Swt. Dan semoga kita termasuk kita termasuk orang-orang yang sukses dalam Ramadhan dan mendapat gelar taqwa. Amin!

 

Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, anggota Rabithah Ulama & Duat Asia Tenggara

HIDAYATULLAH

Ketupat, Simbol Mengakui Kesalahan Ala Sunan Kalijaga

Salah satu menu wajib di hari raya Idul Fitri atau Lebaran adalah ketupat. Menu yang satu ini hampir tersedia di sejumlah wilayah Nusantara, dengan penamaan atau varian yang berbeda-beda. Ada ketupat dengan tahu atau kupat tahu di lingkungan masyarakat Sunda, kupat glabet (kota Tegal), coto Makassar, ketupat sayur (Padang), laksa (kota Cibinong), doclang (kota Cirebon). Ketupat juga kerap kali menjadi pelengkap untuk menyantap gado-gado dan sate ayam.

Dari sisi bentuknya, F.G Winarno, pakar Ilmu Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor mengungkapkan ketupat tak hanya bentuk wajik, tapi ada yang persegi panjang, mirip mulut bebek hingga seperti untaian rambut dikepang dua. “Total ada 12 jenis bentuk ketupat asli Indonesia,” ujarnya.

Khatib salat Idul Fitri 1436 Hijriah di Masjid Agung Kauman Kota Magelang pada Juli 2015 sempat menguraikan bahwa berdasarkan filosofi Jawa, ketupat memiliki makna khusus yakni “Ngaku Lepat” yang artinya meminta maaf dan “Laku Papat” yang berarti empat tindakan.

Pada awalnya, ketupat lahir ketika agama Islam mulai masuk ke Nusantara. Tradisi ketupat ini diperkenalkan oleh Raden Mas Sahid atau yang biasa disebut dengan Sunan Kalijaga di masa Kerajaan Demak. Kerajaan Islam pertama di Jawa ini membangun kekuatan politik dan penyiaran agama Islam dengan pendekatan budaya agraris.

Jay Akbar di majalah Historia edisi Agustus 2010 pernah mengutip pendapat H.J. de Graaf dalam Malay Annals. Menurut Graaf, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak di bawah Raden Patah awal abad ke-15. Kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.

Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Sementara Djawahir Muhammad, budayawan dari Semarang, memberikan tafsir ikhwal anyaman dari janur yang terlihat rumit sebagai simbol dari kesalahan tiap individu yang memang beragam. “Ketika ketupat dibuka, maka terlihatlah isinya yang berwarna putih yang mencerminkan hati yang putih dan suci,” ujarnya.

Selain itu, menurut Djawahir, bentuk ketupat yang saling menyambung juga melambangkan kesempurnaan umat muslim setelah menjalani ibadah puasa serta menahan nafsu selama sebulan. (jat/bag)

 

DETIK