Menunda Bayar Hutang, Apa Akibatnya?

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam proses hidup bermasyarakat. Di mana satu dengan lainnya saling mengisi dan membantu. Dan ini sesuai dengan isyarat dari al-Quran bahwa manusia harus saling tolong menolong dalam kebaikan.

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)

Lewat ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan setiap mukmin untuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketaatan dan melarang mereka untuk saling membantu dalam kebatilan. (Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir, 5/18)

Termasuk dalam kategori tolong-menolong adalah memberikan pinjaman hutang sebagai bantuan finansial. Hal ini lumrah dalam kehidupan masyarakat, bahkan boleh jadi begitu dekat. Di mana praktik pinjam meminjam sangat lazim dan biasa di kehidupan sosial masyarakat mulai dari strata sosial bawah sampai pejabat dan konglomerat.

Tapi yang perlu jadi perhatian adalah bagaimana Islam mengatur urusan pinjam-meminjam tersebut agar berjalan baik dan tidak menimbulkan gesekan sosial antara yang berhutang dan yang memberi piutang.

Karena tidak jarang, urusan hutang-piutang ini berbuntut panjang. Mulai dari tidak adanya bukti pinjam-meminjam, atau berkelitnya si peminjam dari pelunasan, menunda-nunda pembayaran, sampai tidak mau bayar hutang. Dan tidak jarang yang berhutang lebih galak dari yang memberi piutang.

Aturan Syariat Islam tentang Hutang Piutang

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan tuntunan dalam urusan muamalah hutang-piutang. Paling tidak ada dua hal mendasar yang perlu jadi perhatian dalam hutang-piutang. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 282:

Pertama, terdokumentasi dengan baik. Mencakup tanggal, waktu, jumlah pinjaman, waktu pengembalian, dsb.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Kedua, adanya dua saksi yang adil dalam transaksi hutang-piutang.

وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.”

Dua poin di atas jadi landasan yang diatur oleh Islam perihal hutang-piutang. Dan hal tersebut akan menjaga keberlangsungan akad dengan baik, atau paling tidak menutup celah adanya unsur kezaliman di antara dua pihak.

Karena tidak dipungkiri, lupa adalah penyakit manusia. Siapa pun bisa lupa, maka menjadi penting untuk melakukan dokumentasi dengan baik perihal jumlah, penanggalan dan sebagainya.

Juga soal saksi ini tidak kalah penting, di mana saat salah satu dari pihak yang terlibat akad hutang-piutang berkelit, maka ada dua saksi yang akan memberikan penguatan di depan pengadilan, jika urusan ini membesar dan butuh diangkat di meja hijau.

Bahkan pihak pemberi piutang atau yang memberi pinjaman boleh mengambil jaminan jika tidak adanya dokumen catatan ataupun saksi dalam akad pinjam-meminjam tersebut. kecuali dua belah pihak memiliki rasa saling percaya untuk tidak melakukan tersebut.

وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ

Sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Materi Khutbah Jumat: Peristiwa Mendebarkan Setelah Kematian Prinsip keadilan adalah prinsip dasar Islam, di mana setiap muslim wajib memberikan hak sesuai dengan tempatnya, dalam arti menunaikan hak kepada yang berhak, termasuk di sini adalah soal hutang.

Maka konsepsi penulisan dan persaksian dalam soal hutang piutang ini adalah sebagai bentuk penjagaan syariat terhadap harta manusia (hifdzul mal), yang mana hal tersebut merupakan satu dari lima hal asasi yang dijaga dalam syariat. (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, 4/464)

Soal lain yang juga penting menjadi perhatian dalam urusan hutang-piutang adalah ketepatan pembayaran sesuai kesepakatan. Dan ini sering sekali diabaikan, padahal ini termasuk janji yang harus ditepati. Urgensi memenuhi janji banyak disebut Allah dalam al-Quran salah satunya firman Allah Ta’ala:

وأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡ‍ُٔولٗا

Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34)

Menepati janji dalam ayat ini terkait hak-hak Allah dan juga hak-hak hamba. Maka jika hak (janji) itu dipenuhi dengan baik, Allah akan berikan pahala darinya. Jika tidak ditunaikan maka Allah janjikan azab yang pedih. (Taisir al-Karim ar-Rahman, Abdurrahman as-Sa’di, 526)

Hati-hati Soal Hutang

Kasus hutang-piutang sering menjadi penyebab retaknya hubungan, atau bahkan sampai kepada permusuhan yang berujung pembunuhan. Karena urusan uang, nyawa orang bisa melayang.

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya hilangnya semangat tolong-menolong dalam kebaikan yang harusnya jadi asas akad pinjam-meminjam tersebut.

Karena jika yang memberi piutang memberikan pinjaman dengan tendensi merampas dan memanfaatkan kelemahan finansial si peminjam, maka yang terjadi adalah kezaliman. Maka akan muncul syarat-syarat yang memberatkan, konsekuensi-konsekuensi yang menyulitkan dan tidak jarang pinjaman berbunga dengan tujuan debt trap (jebakan hutang) jadi andalan.

Begitu juga di pihak si peminjam. Jika semangat yang dibangun sejak awal dari pinjaman tersebut sekedar cari untung semata untuk kemudian melarikan diri dari tanggungan, maka hal tersebut termasuk dari dosa besar dan perbuatan tercela.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Shuhaib al-Khair radhiyallahu ‘anhu:

أًيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْناً وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللهَ سَارِقاً

Siapa saja  yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) sebagai seorang pencuri.” (HR. Ibnu Majah, hadist ini hasan shahih menurut Syaikh al-Albani)

Urusan hutang-piutang bukanlah urusan remeh semata, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di banyak hadist mengingatkan tentang perkara hutang ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin itu tergantung karena hutangnya sampai dibayarkan.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Imam al-Iraqi sebagaimana dinukil oleh Imam al-Mubarakfuri menjelaskan makna hadis ini, bahwa jiwa seorang mukmin yang memiliki hutang akan ditangguhkan (pada hari kiamat), sampai ada kejelasan status hutangnya, apakah telah dibayarkan atau belum. (Tuhfatu al-Ahwazi, al-Mubarakfuri, 4/164)

Soal hutang juga menjadi penyebab terhalangnya seseorang masuk ke dalam Surga. Bahkan mereka yang meninggal sebagai syuhada sekalipun akan tertahan karena disebabkan oleh hutang yang mereka miliki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ أُحْيِيَ، ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِيَ، ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ، مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ.

Demi jiwaku yang berada di Tangan-Nya, sekiranya seseorang terbunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lagi, kemudian terbunuh lagi, lalu dihidupkan kembali dan kemudian terbunuh lagi, sedangkan ia memiliki tanggungan hutang, ia tidak akan masuk Surga sampai hutangnya dibayarkan.” (HR. An-Nasai(

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga punya kebiasaan yang dihafal betul oleh para sahabat. Yaitu, jika ada yang meninggal dunia, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan bertanya perihal hutang yang dimiliki oleh si mayit.

Jika mayit memiliki tanggungan hutang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menyalatkannya sampai ada yang membayarkan hutangnya atau ada yang menjadi penanggung atas hutang-hutang tersebut.

Hal tersebut menunjukkan betapa urusan hutang ini adalah urusan yang pelik dalam agama. Maka hendaknya seseorang tidak berhutang kecuali dalam keadaan terpaksa. (Fathu al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/547)

Hutang memang dibolehkan, namun para ulama mewanti-wanti dalam urusan ini, bahkan mereka memberi beberapa syarat sebelum berhutang. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, ada tiga syarat sebelum berhutang:

Pertama, hendaknya seseorang yang akan berhutang berniat untuk melunasi hutangnya.

Kedua, hendaknya seseorang yang berhutang memiliki kemampuan atau punya kemungkinan besar untuk bayar hutang.

Ketiga, hendaknya hanya berhutang dalam perkara-perkara yang masyru’ saja. (At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr, 23/238)

Segera Lunasi, Jangan Tunda Bayar Hutang

Adalah Ibnu Mubarak rahimahullah yang pernah meminjam sebuah pena saat rihlahnya di negeri Syam. Qadarullah pena tersebut terbawa hingga ia kembali ke kampung halamannya di kota Merv (Marwa) yang ada di Khurasan.

Ibnu Mubarak baru sadar ketika ia memeriksa bawaannya, yang ternyata pena pinjaman tersebut tidak sengaja ia bawa bersamanya. Dan apa yang kemudian dilakukan ulama yang dikenal sebagai abid dan zahid atas sebuah pena tersebut. Ia memutuskan kembali melakukan perjalanan ke Syam untuk mengembalikan pena tersebut.

Mari renungi, hanya karena sebuah pena bulu angsa yang pasti harganya tidak seberapa, tapi Abdullah bin Mubarak rela melakukan perjalanan nyaris 2.900 km untuk kembali ke Syam guna mengembalikan sebuah pena yang dipinjamnya.

Materi Khutbah Jumat: Karena Bertobat Jadi Kuat Memikul Derita Berat Maka hal tersebut ia lakukan tidak lain karena sikap wara’-nya dan perhatiannya terhadap pinjaman. Tentang hutang. Yang harus segera dikembalikan tanpa ditunda-tunda (Tarikh al-Baghdad, Imam adz-Dzahabi, 10/160)

Sungguh tidak terhormat dan berdosa sekali bagi mereka yang memiliki hutang, dan juga memiliki kemampuan untuk segera bayar hutang, tapi justru ia menunda-nunda. Padahal boleh jadi si pemilik piutang itu adalah tetangga sendiri, teman, atau orang-orang yang berdekatan, yang hanya berjarak selemparan batu. Tapi ia menunda-nunda hak tersebut untuk ditunaikan. Wallahu a’lam

(Fajar Jaganegara/dakwah.id)

Menunda Bayar Hutang Padahal Sudah Mampu, Apakah Termasuk Dosa?

Kehidupan zaman sekarang semakin hari semakin keras dan kejam saja. Agar bertahan hidup saja orang-orang harus saling sikut-sikutan tanpa pandang bulu baik kawan maupun lawan. Hanya karena melihat orang yang berhutang mendapat rezeki, hutang yang belum jatuh tempo pun sudah ditagih oleh pihak yang memberi hutang. Di sisi lain, ada juga orang yang mengutang menyepelekan membayar hutang. Ia berani menunda bayar hutang padahal sudah mampu. Dilihat dari sudut pandang hukum Islam, bagaimana hukum menunda bayar hutang padahal sudah mampu? Bagaimana juga hukum menagih hutang sebelum jatuh tempo?

Dalam pembahasan fikih muamalah, akad yang mengatur utang-piutang disebut dengan akad qardh, yang dalam akad ini pihak pemberi hutang disebut dengan muqridh, dan pihak yang berhutang disebut  dengan muqtaridh. Hukum asal dari memberi hutang adalah sunnah karena merupakan salah satu bentuk  menolong orang lain dari kesulitan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi:

مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ العَبْدِ مَا دَامَ العَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ. رواه مسلم

Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim)

Dalam akad qardh sendiri menurut mayoritas ulama tidak disyaratkan adanya jangka waktu tertentu untuk pelunasan. Bila syarat tersebut disebutkan saat akad berlangsung, maka syarat tersebut otomatis gugur. Oleh sebab itu, pihak pemberi hutang boleh-boleh saja menagih hutang sebelum jatuh tempo. Hal ini sebagaimana diutarakan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (33/128):

اشْتِرَاطُ الأَجَلِ. اخْتَلَفَ الفُقَهَاءُ فِي صِحَّةِ اشْتِرَاطِ الأجَلِ وَلُزُوْمِهِ فِي القَرْضِ عَلَى قَوْلَيْنِ أَخَدُهُمَا لِجُمْهُوْرِ الفُقَهَاءِ مِنَ الحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالحَنَابِلَةِ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَابْنِ الـمُنْذِرِ وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ تَـأْجِيْلُ القَرْضِ وَإِنِ اشْتَرَطَ فِيْ العَقْدِ وَلِلْـمُقْرِضِ أَنْ يَسْتَرِدَّهُ قَبْلَ حُلُوْلِ الأَجَلِ.

“Syarat Tempo Hutang. Ulama berbeda pendapat dalam hal sahnya syarat jangka waktu dalam akad hutang piutang. Terdapat dua pendapat salah satunya pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, serta pendapat dari Imam al-Awza’i, Imam Ibn al-Mundzir dan ulama lainnya bahwa dalam utang piutang tidak diwajibkan adanya penentuan tempo pelunasan meskipun sudah disyaratkan dalam akad. Oleh karena itu, pihak yang memberi hutang boleh menagih sebelum jatuh tempo”

Meskipun boleh menagih hutang sebelum jatuh tempo, hanya saja sebaiknya ditangguhkan terlebih dahulu sesuai dengan kesepakatan, sebagaimana dsebutkan dalam kitab Tanwir al-Qulub (halaman 274):

وَلَوْ شَرَطَ أَجَلًا فَالشَّرْطُ لَغْوٌ وَلِلْمُقْرِضِ مُطَالَبَتُهُ قَبْلَ حُلُوْلِهِ وَيُسَنُّ لَهُ الوَفَاءُ بِالتَّأْجِيْلِ

“Seandainya disyaratkan adanya tempo pelunasan, maka syarat tersebut menjadi sia-sia. Pihak pemberi hutang boleh menagih utangnya sebelum jatuh tempo, namun sunnah baginya menagihnya sesuai dengan  waktu yang disepakati”

Sebagai catatan tambahan, pihak pengutang yang tidak melunasi hutangnya sebelum jatuh tempo padahal sudah mampu, ia tidak tergolong sebagai penunda-nunda pelunasan hutang yang mendapat dosa. Sebab yang masuk kategori ini adalah orang yang mampu membayar namun menunda bayar hutang sampai setelah tempo waktu yang ditentukan, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’ (5/67):

 (ش قَوْلُهُ “مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ” الـمَطْلُ هُوَ مَنْعُ قَضَاءِ مَا اسْتُحِقَّ عَلَيْهِ قَضَاؤُهُ. فَلَا يَكُوْنُ مَا لَمْ يَحِلَّ أَجَلُهُ مِنَ الدُّيُوْنِ مَطْلًا. وَإِنَّمَا يَكُوْنُ مَطْلًا بَعْدَ حُلُوْلِ أَجَلِهِ.

“(Penjelasan) hadits Nabi ‘Penundaan bayaran yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman.’ Penundaan yang dimaksud dalam hadits ini adalah mencegah untuk membayar hutang yang seharusnya ia lunasi. Oleh karena itu, bila masih belum jatuh tempo maka tidak dikategorikan sebagai upaya penundaan pelunasan hutang. Dikatakan sebagai perbuatan menunda-nunda bila dilakukan sesudah jatuh tempo”

Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH