Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah dan ampunan. Di bulan ini, umat Islam di seluruh dunia berpuasa dari terbit hingga terbenamnya matahari. Selain itu, Ramadhan juga merupakan waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri. Artikel ini akan membahas tentang menyambut Ramadhan dengan intropeksi diri.
Intropeksi Diri Menyambut Ramadhan
Sebenarnya, jika ditelisik arti kata dari “Marhaban” bermakna “kami lapang menerima”. Jadi misalnya ada orang atau tamu yang datang kita ucapkan kepadanya marhaban, itu untuk menggambarkan bahwa hati kami tidak kesal, melainkan hati lapang menerima. Kemudian, marhaban juga bermakna “tempat bagi pejalan atau kendaraan untuk mengambil bekal dan memperbaiki kendaraan”.
Artinya, kalau kita mengucapkan marhaban, maka berarti disamping hati kita tidak kesal dan lapang menerimanya, juga berarti bahwa di bulan Ramadhan kita siap mengambil bekal. Pun, di bulan Ramadhan kita siap memperbaiki apa yang tidak baik dari kepribadian dan apa yang rusak dari tekad. Kita ingin menggambarkan kelapangan dada kita dengan kehadiran Ramadhan.
Boleh jadi ada diantara kita bahkan anak-anak kita yang berkata “waduh puasa lagi, kapan terakhir ini.” Itu sebabnya, tak jarang ketika menjelang Maghrib buka puasa kita selalu berkata pada penceramah-penceramah “jangan lama-lama ceramah ini sudah mau berbuka lho”.
Tentu saja, kata Quraish Shihab, kita tidak ingin seperti itu, akan tetapi kita ingin menyambutnya dengan gembira. Pun, menyambutnya harus disesuaikan dengan tamu yang datang. Kalau demikian, yang pertama dalam konteks penyambutan ini kita harus tahu arti Ramadhan yang sebenarnya.
Sebenarnya, puncak dari Ramadhan adalah “Lailatul Qadar”. Allah Swt. berfirman:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ ۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلٰٓئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْ ۚ مِّنْ كُلِّ اَمْرٍ. سَلٰمٌ ۛ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Artinya: “Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Roh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr [97]: 3-5).
Karena itu, kenalilah Ramadhan, kenalilah ciri-cirinya supaya dia mau datang ke hati Anda. Jika Anda tidak mengenalnya, maka Ramadhan akan berjalan dan berlalu saja. Lebih dari itu, menariknya, bisa jadi apa-apa yang Anda tidak meminta justru Allah Swt. mengasihnya. Makanya perbanyak sedekah, terutama pada mereka yang tidak mampu.
أيُّ الصَّدَقَةِ أفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فَيْ رَمَضَانَ
Artinya: “Rasulullah saw pernah ditanya, “Sedekah apakah yang paling mulia?” Beliau menjawab: “Yaitu sedekah dibulan Ramadhan.” (HR Tirmidzi).
Tentang niat puasa
Semua kita tahu bahwa puasa tidak akan sah jika tidak ada niat. Anehnya, kalau puasa sunnah kita boleh berniat pada pagi hari. Itu sebabnya, ketika Nabi tidak ada makanan di dapur, Nabi langsung puasa Sunnah.
Siti Aisyah Ra mengisahkan, “Rasulullah Saw. bertanya kepadaku pada suatu hari, “wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?” Aku menjawab, “wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatu apapun (untuk dimakan).” Beliau lalu bersabda, “kalau begitu aku akan puasa.” (HR. Muslim).
Dari sini kita tahu bahwa, tidak ada panutan kesederhanaan terbaik selain Rasulullah Saw. Beliau adalah pemimpin umat dan negara, namun kehidupan beliau tidak dikelilingi emas dan permata. Saat berpuasa, menu sahur dan berbuka Rasulullah hanya itu-itu saja.
Artinya, bukan berarti kita harus meniru menu berbuka ala Rasulullah Saw. Namun, setidaknya, dari Nabi kita bisa belajar keharusan menghindari sifat tamak dalam makan dan minum. Tidak terlalu kenyang hingga malas beribadah dan tidak lupa akan rasa syukur atas nikmat yang Allah Swt. berikan.
Berbeda dengan Ramadhan yang niatnya harus di malam hari. Bahkan, madzhab Syafi’i mengatakan niat puasa ramadhan harus tiap malam. Kenapa tiap hari berniat? Quraish Shihab mengatakan biar kita intropeksi. Misalnya tahun lalu saya masih ada kekurangan ketika berpuasa, maka tahun saya akan memperbaikinya.
Kenapa tiap malam? Karena kemarin saya berniat mau melakukan ini akan tetapi gagal, maka besok saya akan lakukan. Jadi intinya adalah introspeksi. Itu sebabnya, pada bulan Ramadhan sangat dianjurkan yang namanya i’tikaf pada malam 20 terakhir.
I’tikaf Ramadhan
Ada banyak ulama yang mengatakan ketika beri’tikaf (introspeksi) tidak boleh membaca walau ilmu (apalagi membawa handphone), dengan tujuan supaya intropeksi fokus. Itu artinya, jika esoknya puasa Anda kurang baik, maka niat dan introspeksinya kurang sempurnah.
Masih tentang Ramadhan. Keberagamaan kita sekarang lebih banyak menyenangkan diri kita ketimbang menyenangkan Tuhan. Pergi naik haji memang disenangi oleh Tuhan, akan tetapi menolong tetangga yang butuh lebih disenangi Tuhan. Misalnya 1 juz Anda pahami al-Qur’an itu lebih bagus dari pada hatam 10 juz. Dalam hal ini, tadarus adalah bukan membaca semata, melainkan sebuah interaktif dengan orang lain untuk belajar. Pendek kata, di bulan Ramadhan kita harus melakukan yang disukai Tuhan.
Penting dicatat, bahwa ada amalan yang lebih utama dari puasa, shalat, dan sedekah. Sebuah hadits mengatakan:
عن أبى الدرداء رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألا أُخبرُكَ بأفضلَ مِنْ درجةِ الصيامِ و الصلاةِ والصدقةِ؟ قالوا: بلى, قال: إصلاحُ ذاتِ البينِ, فإِنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقَةُ. رواه الترميذى
Artinya: “Dari Abu Darda’ Ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Maukah kalian Aku beritahu yang lebih utama dari puasa, shalat, dan sedekah? Mereka menjawab: “Ya”, Rasulullah bersabda: “Berinteraksi sosiallah yang baik, karena interaksi sosial yang buruk itu memangkas.” (HR Tirmidzi).
Sederhananya, interaksi sosial yang baik adalah dengan akhlak atau etika yang baik itu lebih utama dari puasa, shalat, dan sedekah. Dalam hal ini bukan berarti cukup dengan interaksi sosial yang baik, apalagi dengan pandangan subjektif, sudah cukup, sekalipun tanpa puasa, shalat, dan sedekah. Ketiga hal itu penting bahkan wajib dilaksanakan oleh seorang mukmin, dan dilarang meninggalkannya.
Sekurang-kurangnya, interaksi sosial memiliki tujuan untuk mencapai dan menuju nilai-nilai sosial melalui gerakan yang bermanfaat bagi masyarakat luas, dan merupakan bagian dalam upaya untuk menghilangkan strata sosial yang timbul dari kepedulian sosial dari dalam diri masing-masing.
Pendek kata, kesalehan yang ideal menurut al-Qur’an adalah, kesalehan yang memadukan secara sinergitas antara kesalehan ritual individual dan kesalehan sosial. Tidak hanya mementingkan diri sendiri, akan tapi juga memikirkan mereka-mereka yang ada di akar rumput. Inilah kesalehan yang sesungguhnya.
Demikian penjelasan terkait menyambut kesucian Ramadhan dengan introspeksi diri. Semoga dengan introspeksi diri, kita dapat menyambut Ramadhan dengan hati yang suci dan siap untuk menerima limpahan berkah dari Allah SWT. Wallahu a’lam bisshawaab.