Kepemimpinan dalam Islam adalah suatu amanah yang besar dan berat. Seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang terpuji seperti adil, bijaksana, amanah, dan bertanggung jawab. Pemimpin juga harus memiliki ilmu yang cukup dan mampu mengambil keputusan yang tepat.
Tak bisa dipungkiri, ketika kita berbicara tentang kepemimpinan profetik dalam Islam, berarti sudah merujuk pada sosok pemimpin terbesar yang hebat, manusia paling sempurna dan kekasih Allah swt, dialah Muhammad Saw. Kesempurnaan dan kredibilitas kepemimpinan beliau yang sangat mengagumkan.
Rahasia keberhasilan beliau sebenarnya terletak pada landasan moral (akhlaq al-karimah) yang melekat pada dirinya. Aisyah ra., istri Nabi Saw., bahkan mengatakan bahwa akhlak beliau adalah al-Qur’an. Nabi Saw. adalah “al-Qur’an yang berjalan”. Rasulullah Saw. dihadirkan di muka bumi ini tidak lain semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.
Akhlak Rasulullah Saw. wajib diidolakan dan ditiru oleh seorang pemimpin, sehingga menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang berakhlak mulia akan terpancar keanggunan moralitas yang terang dalam dirinya, sehingga dapat melahirkan sikap-sikap yang positif dalam kepemimpinanya.
Tak hanya itu, Nabi Muhammad juga sangat ermat dalam mengambil keputusan, bersikap terbuka dan toleran, hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan, melindungi rakyatnya, mau mendengarkan kritik, bijaksana, serta mempunyai ghirah untuk selalu bersikap dinamis dan melakukan perubahan yang lebih baik melalui pembaharuan dengan potensi kreatifnya.
Rasulullah Saw. pernah bersabda;
“Barangsiapa dalam Islam menemukan kreasi yang baru dan baik kemudian diamalkan oleh orang sesudahnya, maka kepadanya ditulis pahala sebanyak pahala orang yang mengerjakan sesudahnya. Dan barangsiapa di dalam Islam menemukan kreasi yang jelek dan diamalkan oleh orang yang sesudahnya, maka kepadanya akan mendapat dosa sebanyak orang yang mengerjakan sesudahnya.” (H.R. Muslim).
Ini tentu saja sebagaimana yang telah dipesankan oleh Nabi Saw., bahwa “orang yang paling dicintai dan paling dekat dengan Rasulullah Saw. di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya” (H.R. Ahmad). Dikatakan juga oleh beliau, “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (H.R. Tirmidzi).
Itu sebabnya, tak heran jika dengan landasan akhlak yang baik, seseorang akan mematuhi perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia akan lebih berhati-hati dalam mengambil sikap dalam hidup ini.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada 7 golongan manusia yang dinaungi oleh Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Golongan tersebut adalah pemimpin yang adil, pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya, seseorang yang hatinya senantiasa berpaut pada masjid-masjid yaitu sangat mencintainya dan selalu melakukan sholat berjama’ah, dua orang yang saling mengasihi karena Allah yaitu keduanya berkumpul dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang diundang oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan dan paras yang elok untuk melakukan kejahatan tetapi dia berkata:
Aku takut kepada Allah, seorang yang memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah-olah tangan kanan tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kirinya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sunyi sehingga mengalir air mata dari kedua matanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari sini sudah jelas, bahwa berdasarkan sabda Nabi Saw., bahwa setiap orang harus menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemimpin baik bagi dirinya sendiri, keluarga, ataupun masyarakatnya. Secara etimologis, kepemimpinan (leadership) berarti kualitas, daya, atau tindakan seseorang dalam memimpin.
Tentang Kepemimpinan dalam Islam
Dalam Lisan al-Arab, pemimpin disebutkan sebagai seseorang yang berada di depan. Seperti penggembala yang menuntun gembalaannya dari depan. Sedangkan secara terminologis, berarti kemampuan mempengaruhi, mengajak, atau menggerakkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Bahkan, jika ditelisik lebih jauh lagi, definisi kepemimpinan sendiri sebenarnya sangat beragam. Dalam Islam, para ulama juga sama sekali tidak ada kesepakatan tentang hal ini. Artinya, kepemimpinan seolah menjadi fenomena yang muncul ke permukaan. Tetapi, hanya sedikit disadari eksistensinya.
Karena itu, untuk mendekatkan pengertian ini, penulis menganggap sangat perlu merujuk kembali pada istilah kepemimpinan dalam pandangan Islam. Seperti di antaranya disebutkan dalam al-Qur’an yakni sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah [2]: 30), ulil amri (QS. An-Nisa’ [4]: 59), atau wali (QS. Al-Maidah [5]: 55). Sedangkan dalam Hadits sering disebut ra’in (penggembala) atau imamah.
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59).
اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَهُمْ رَاكِعُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah). (QS. Al-Maidah [5]: 55).
Namun demikian, terlepas dari sebutan apapun yang disepadankan untuk kata “pemimpin”, yang lebih penting dari itu adalah cara bagaimana menjadi pemimpin yang sukses dalam pengertian Islam. Karena itu, seseorang perlu memahami pendasaran teologis yang kukuh sebagaimana disebutkan baik dalam al-Qur’an maupun Hadits.
Rasulullah Saw. menegaskan bahwa “seorang pemimpin haruslah seorang mu’min yang kuat, memiliki keahlian di bidangnya, bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya, serta berkewajiban untuk membela, mengutamakan dan mendahulukan umatnya di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya.”
Tentu saja, syarat pertama dan utama adalah bahwa seorang pemimpin haruslah seorang yang beriman kepada Allah Swt., bukan berasal dari orang-orang kafir. Ini sebagaimana seringkali disebutkan dalam al-Qur’an, salah satunya dalam surah An-Nisa’ [4]: 144. Allah Swt. berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ اَتُرِيْدُوْنَ اَنْ تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ عَلَيْكُمْ سُلْطٰنًا مُّبِيْنًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?” (QS. An-Nisa’ [4]: 144).
Peringatan ini menjadi pedoman penting bagi umat Islam agar tidak salah dalam memilih pemimpinnya. Selain itu, seorang pemimpin juga harus mampu memahami dan meneladani karakteristik kepemimpinan Rasulullah Saw. Inilah yang kemudian akan menjadi landasan epistemologis bagi kepemimpinan profetik dalam disiplin apapun.
Yaitu, bahwa ia harus seorang yang jujur (shiddiq), dapat dipercaya (amanah), cerdas (fathanah), dan wajib menyampaikan risalah Islam atau berdakwah mengajak orang-orang yang dipimpinnya kepada kebaikan dan kebenaran ajaran Allah Swt. (tabligh).
Seorang pemimpin yang mencintai kebenaran, dalam dirinya sesungguhnya tertanam sifat keberanian. Berani karena benar demi membela kebenaran. Bukan sebaliknya, berani karena arogan, egois dan otoriter demi membela kepentingan pribadinya.
Tetapi, keberanian berbasis kebenaran tidak cukup tanpa cara memimpin yang baik dan benar pula, atau yang dalam bahasanya Ali bin Abi Thalib ra., terorganisir. Sebagaimana beliau pernah berkata:
الحق بلا نظام قد يغلبه الباطل بلا نظام
Artinya: “Kebenaran yang tidak terorganisir seringkali dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.”
Bahwa, kebatilan di depan kita sangat terorganisir, kekuatan kapitalisme, komunisme, liberalisme, dan sekuler telah terorganisir dan mengorganisir diri, solid serta bahu membahu satu sama lain, apalagi yang mereka hadapi adalah umat Islam terutama ummat Islam di Indonesia.
Tips dalam Manajemen Organisasi
Sebenarnya, Rasulullah Saw., mempunyai resep yang cukup sederhana, tetapi bermutu tinggi dalam urusan manajemen organisasi. Dalam rangka mewujudkan kebenaran agar dapat terorganisir dengan baik, setidaknya terdapat 6 keunggulan manajemen ala Nabi Saw. yang penting dijadikan pegangan bagi para pemimpin sebagaimana disebutkan oleh M. Ahmad Abdul Jawwad (2006) dalam bukunya, Silsilah al-Tadrib wa al-Tathwir.
Pertama, kemampuan memotivasi tim. Rasulullah Saw. adalah seorang yang pandai memberi motivasi, menumbuhkan optimisme dan membangun semangat para sahabat. Misalnya dengan memberi gelar al-Shiddiq kepada Abu Bakar ra., Asadullah (singa Allah) kepada Hamzah ra., dan Saifullah al-Maslul (pedang Allah yang terhunus) kepada Khalid bin walid ra.
Kedua, simpel dalam memotivasi. Seorang pemimpin harus bisa mengambil hati orang lain, mengenali secara mendalam, mengenalkan jati diri kita, meminta masukan dan kritik dari orang lain, berpartisipasi secara aktif dalam kerja tim dan tidak mengucilkan diri.
Ketiga, kemampuan berkomunikasi. Selalu berusaha meringankan beban dan membantu menyelesaikan masalah orang lain, menjaga hubungan silaturahmi, tetap rendah hati (tawadhu’) dan menganggap bahwa setiap orang itu penting.
Keempat, kemampuan mendelegasikan dan membagi tugas. Rasulullah Saw. menugasi Ali dan Utsman untuk menulis wahyu, Juhaim mencatat harta sedekah, Hudzaifah memprediksi pendapatan dari pohon kurma, Mughirah dan Hasan mencatat keuangan dan transaksi.
Sementara, Abdullah bin Arqan dan Ala’ bin Uqbah mencatat data kabilah, sumber air dan pertumbuhan jumlah orang Anshar, Zaid bin Tsabit menyiapkan surat untuk raja-raja, Mu’aiqib mencatat pendapatan negara, Hanzalah bin Rabi’ menjaga stempel kenabian. Dalam hal ini, pendelegasian sebagai upaya regenerasi.
Kelima, efektif dalam memimpin rapat. Membuka dan menutup sebuah pertemuan dengan doa, menghargai perbedaan pendapat, saling berbagi ide dan pengalaman, serius dan sabar mendengarkan orang berbicara, serta menghargai waktu.Keenam, kemampuan mengontrol dan mengevaluasi.
Rasulullah saw selalu memantau dan mengevaluasi kerja para sahabat, tidak membiarkan seseorang bertindak sesuka hatinya, mengaudit pendapatan dan pembelanjaan para pegawainya.
Demikian penjelasan terkaitmenyemai makna kepemimpinan dalam Islam. Semoga artikel tentang kepemimpinan dalam Islam bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.