Publik dikagetkan dengan organisasi filantropi yang diduga menyelewengkan dana hasil donasi para dermawan. Adalah donasi ACT, yang dipergunakan untuk gaji petinggi Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan bonus tinggi. Alasannya bahwa organisasi mereka merupakan taraf internasional.
Sehingga mereka mewajarkan jika gaji mereka sangat tinggi, dan uniknya mereka mengadopsi konsep amil dalam zakat, guna melegitimasi pengambilan dana donasi ACT. (Baca: Viral Dugaan Sumbangan ACT Diselewengkan; Ini Hukum Menilap Sumbangan Umat).
Padahal tentu kita tahu, konsep amil yang ada dalam literatur turats maupun kontemporer, semuanya mengarah pada bab zakat saja. Bukan ada konteks infaq, hibah, sedekah, dan lainnya.
Al-Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Kaff mendefinisikan amil seperti dalam redaksi berikut;
العامل: ويسمى الساعي، وهو الذي يستعمله الحاكم في أخذ الزكوات من أربابها وصرفها إلى مستحقيها، فيعطى من الزكاة وإن كان غنياً، هذا إن لم يجعل له الحاكم أجرة من بيت المال، وإلا فلا يعطى.
Amil atau yang biasa disebut dengan sa’i, ialah orang yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk mengambil harta zakat, lalu ia menyerahkannya kepada para mustahik zakat. Maka ia berhak menerima bagian zakat, atas nama amil, meski ia kaya.
Hanya saja ini dibatasi, jika dalam melakukannya ia mendapat upah dari kas negara, maka ia tidak mendapat bagian zakat atas nama amil. Jika tidak diberi zakat, maka ia befhak mendapatkannya. (Taqrirat al-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah, Juz 1 hal. 424)
Dengan demikian, konsep amil dalam penggalangan dana yang dilakukan ACT, tidaklah bisa terakomodir dalam amilnya zakat. Bahkan, amil zakat sendiri pun juga dibatasi. Ia tidak bisa semena-mena meminta bagian zakat, sebab bagiannya dibatasi dengan gaji.
Jika ia sudah mendapat gaji dari pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sebagai amil, maka ia tidak berhak mendapatkan bagian zakat. Jika tidak demikian, maka boleh baginya.
Entah dapat ide dari mana mereka mengadopsi konsep ini, kiranya referensi manapun belum bisa melegitimasi konsep yang merela usung. Dalam fikih muamalah pun, status Act ini juga belum jelas. Jika beralasan statusnya sebagai wakil, ternyata belum ada sighat antara pihak ACT dengan donatur. Ini pun bisa sah, jika mereka melakukan sighat, meski satu pihak. Fikih Maliki melegitimasinya, namun agaknya yang mereka jalankan tidak demikian.
Adapun dalam fikih Syafi’i, ada satu konsep yang bisa melegitimasi pengambilan dana dari para donatur, hanya saja ini dibatasi oleh kemampuan finansial mereka.
(فَرْعٌ) لَيْسَ لِلْوَلِيِّ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْ مَالِ مُوَلِّيهِ إنْ كَانَ غَنِيًّا مُطْلَقًا فَإِنْ كَانَ فَقِيرًا وَانْقَطَعَ بِسَبَبِهِ عَنْ كَسْبِهِ أَخَذَ قَدْرَ نَفَقَتِهِ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ وَرَجَّحَ الْمُصَنِّفُ أَنَّهُ يَأْخُذُ الْأَقَلَّ مِنْهَا وَمِنْ أُجْرَةِ مِثْلِهِ وَإِذَا أَيْسَرَ لَمْ يَلْزَمْهُ بَدَلُ مَا أَخَذَهُأَخَذَهُ … إلى أن قال… وَقِيسَ بِوَلِيِّ الْيَتِيمِ فِيمَا ذُكِرَ مَنْ جَمَعَ مَالًا لِفَكِّ أَسْرِ أَيْ: مَثَلًا فَلَهُ إنْ كَانَ فَقِيرًا الْأَكْلُ مِنْهُ كَذَا قِيلَ.
Seorang wali tidak boleh mengambil hartanya muwalli-nya (orang yang diurus wali), jika ia orang yang kaya. Namun jika ia merupakan orang fakir, dan sebab mengurusnya, ia tidak bisa bekerja, maka ia boleh mengambil hartanya muwalli, sekadar jumlah nafkahnya.
Ini merupakan pendapatnya Imam al-Rafi’i, sedangkan menurut mushannif (imam Al-Nawawi), ia boleh mengambil sedikit dari hartanya muwalli dan unrah mitsilnya (upah minimum dalam pekerjaannya). Dan jika ia nanti menjadi kaya, ia tidak wajib menggganti nominal yang dulu ia ambil dari hartanya muwalli-nya.
Disamakan dengan konsep walinya anak yatim, yaitu orang yang menggalang dana guna menebus tawanan perang contohnya. Jika ia fakir, diperbolehkan baginya untuk mengambil upah darinya. (Tuhfat al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Juz 5 hal. 186)
Komentator kitab ini, memberikan contoh lain dari penggalangan dana untuk membebaskan tawanan. Syekh Al-Syarwani mengatakan;
(قَوْلُهُ أَيْ: مَثَلًا) يُدْخِلُ مَنْ جَمَعَ لِخَلَاصِ مَدِينٍ مُعْسِرٍ أَوْ مَظْلُومٍ مُصَادَرٍ وَهُوَ حَسَنٌ مُتَعَيِّنٌ حَثًّا وَتَرْغِيبًا فِي هَذِهِ الْمَكْرُمَةِ اهـ سَيِّدْ عُمَرْ أَقُولُ وَكَذَا يُدْخِلُ مَنْ جَمَعَ لِنَحْوِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ.
Di antara contoh serupa dari orang yang menggalang dana guna menebus tawanan adalah orang yang menggalang dana guna menebus hutangnya seseorang, atau orang yang didzalimi. Yang demikian merupakan perbuatan mulia, ini merupakan pandangnnya Sayyid Umar. Menurutku (Syekh al-Syarwani), orang yang menggalang dana guna pembangunan masjid juga masuk dalam konteks demikian. (Hasyiyah Al-Syarwani ala Tuhfat al-Muhtaj, Juz 5 hal. 186)
Dari referensi ini, ada celah untuk menganalogikan ACT dengan konsep di atas. Memandang rerata petinggi Act ialah orang yang kaya, setidaknya mereka tidak bisa distatuskan dengan nomenklatur fakir miskin dalam fikih, tentunya mereka tidak berhak sepeserpun atas hasil dari penggalangan dana.
Bahkan, jikapun ia fakir miskin, namun kegiatan ACT tidak mengganggu aktivitas pekerjaannya, ia tidak boleh mengambil dana ACT, meski ia fakir miskin. Jadi, fikih sangat berhati-hati jika berkaitan dengan hak sesama, seyogyanya mereka meminta fatwa kepada orang Alim atas kasus mereka.
Sebelum terjerumus lebih jauh, silahkan kembali. Terkait gaji mereka yang tidak wajar, karena fikih tidak melegitimasi upah bagi mereka, apalagi terbilang fantastis angkanya, mereka harus mengembalikannya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh para donatur.
Jika dulu mereka mendermakan hartanya untuk membantu korban banjir Palu, maka pihak ACT harus mengembalikannya. Intinya uang yang mereka dapat dari donatur, ia harus mengembalikannya sesuai dengan yang dimaksudkan para donatur.
Demikian penjelasan menyoal klaim bagian Amil dari Donasi ACT. Wallahu a’lam.