Secara bahasa, musibah bermakna apa saja yang menimpa manusia secara mutlak (umum). Bila ditinjau dari segi istilah, bermakna peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak disukai yang terjadi (Fathul Bari dalam Kitabul Mardha). Ditegaskan oleh al-Qurthubi bahwa musibah itu adalah segala sesuatu yang menyakitkan, merugikan, dan menyusahkan orang Mukmin.
Musibah merupakan salah satu cara yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk menjadikan manusia meraih kebaikan dan meningkat kualitas dirinya. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, dapat dipahami bila yang paling banyak dan paling besar mendapatkan musibah itu adalah para Nabi dan Rasul Allah SWT. Sebab, Allah SWT menghendaki mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih tinggi kualitas dirinya daripada yang lainnya.
Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”
Ketika Allah SWT memberikan suatu musibah kepada kita, sesungguhnya Allah menghendaki agar kita berendah diri kepada Allah, merasa tidak berdaya, menyandarkan diri kepada-Nya, dan terus-menerus butuh kepada-Nya. Sebab, manusia tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menolak sekecil apa pun musibah yang menimpa dirinya dan tidak ada yang dapat melindungi dan menolongnya terhadap itu semua kecuali hanya Allah SWT.
Selain itu, agar kita memeriksa aib, kebodohan diri, dan kezaliman diri kita. Sebab, tidaklah suatu musibah menimpa diri kita kecuali karena ada kekeliruan dan kezaliman yang kita lakukan.
Selain itu, agar kita menyaksikan dan menyadari betapa luas karunia, ihsan, rahmat, kedermawanan, dan kebaikan Allah SWT serta kekayaan dan keterpujian-Nya. Sebab, bila dibandingkan dengan musibah yang menimpa terhadap diri kita, sungguh kenikmatan dan kebaikan Allah SWT lebih besar dan lebih luas yang telah diberikan kepada kita.
Ketika kita mampu menyikapi suatu musibah yang menimpa kita sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT, maka diri kita akan menjadi pribadi yang musyahadatul minnah wa muthola’atu ‘aibin nafsi wal amal yang akan melahirkan cinta, pujian, syukur kepada Allah SWT, ihsan, rendah diri kepada Allah SWT, tobat di setiap waktu, dan akan merasakan bahwa diri kita tidak memiliki apa pun serta betapa sedikinya amal-amal yang telah kita lakukan.
Inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT ketika Allah SWT memberikan musibah kepada hamba-hamba-Nya yang dengannya kita akan mendapatkan berbagai kebaikan. Dalam kitab al-Wabilush Shayyib, Imam Ibnul Qoyyim menuturkan,
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan bukakan untuknya pintu perendahan diri, perasaan tidak berdaya, selalu bersandar hatinya kepada Allah Taala, dan terus-menerus merasa butuh kepada-Nya. Ia memeriksa aib-aib dirinya, kebodohan yang ada padanya, dan kezalimannya. Di samping itu, ia menyaksikan dan menyadari betapa luas karunia, ihsan, rahmat, kedermawanan, dan kebaikan Rabbnya serta kekayaan dan keterpujian diri-Nya.”
Oleh karena itu, jika ditimpa musibah, hendaknya kita meyakini bahwa musibah yang menimpa kepada kita itu adalah cara Allah SWT untuk memberikan kebaikan kepada kita, kemudian kita hadapi musibah itu dengan sikap yang terbaik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Wallahualam.
Oleh: Moch Hisyam