I’tikaf yang Sah, Minimal Barapa Lama?

Dalam Madzhab Hanbali pendapat dhahir madzhab bahwasa boleh i`tikaf tanpa puasa, sehingga boleh tidak sampai satu hari, meski sebentar

Hidayatullah.com | PARA ulama berbeda pendapat menganai lama waktu i`tikaf atau waktu minimal dalam melaksanakan i`tikaf. Berikut ini pendapat para ulama dalam madzhab empat:

Madzhab Hanafi

Dalam Madzhab Hanafi, terdapat perincian dalam masalah ini. Jika i`tikaf  wajib, semisal i`tikaf karena nadzar maka minimal harus dilakukan dalam satu hari menurut Imam Abu Hanifah. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf lebih dari satu hari. Namun jika i`tikaf  sunnah, maka bisa dilakukan satu jam, menurut Muhammad bin Hassan. (Majma` Al Anhar, 1/256).

Madzhab Maliki

Imam Malik berpendapat bahwasannya waktu i`tikaf paling sedikit adalah sepuluh hari dan paling maksimal adalah satu bulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mu’tamad dalam madzhab. Dengan demikian lebih dari satu bulan hukumnya makruh. (Al Fawaqih Ad Dawani, 1/321).

Madzhab Syafi`i

Dalam Madzhab Syafi`i pendapat yang shahih adalah bahwa i`tikaf bisa dilakukan dengan berdiam diri di masjid dalam waktu sebentar atau lama.  Imam Al-Haramain menyatakan bahwa sebentar di sini tentu lebih dari waktu tuma`ninah.

Namun Imam Syafi`i menyatakan bahwa lebih utama dilakukan dalam satu hari, untuk menghindari khilaf dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa minimal waktu yang dihabiskan dalam i`tikaf adalah satu hari. (Lihat, Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/489).

Madzhab Hanbali

Dalam Madzhab Hanbali pendapat dhahir madzhab bahwasannya boleh i`tikaf tanpa puasa, sehingga boleh tidak sampai satu hari, meski sebentar. (Al Inshaf fi Ma’rifah Ar Rajih min Al Khilaf, 3/359).

Meski demikian, ada pula riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa i`tikaf  minimal sehari karena disyaratkan puasa. Namun pendapat masyhur dalam madzhab adalah pendapat pertama. (Lihat, Al Mughni, 3/188).

Dalil Masing-Masing Madzhab

Dalil bahwa i`tikaf minimal satu hari, karena diwajibkan untuk berpuasa ketika i`tikaf. Pendangan ini merujuk kepada Hadits.

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((لَا اعْتِكَافَ إلَّا بِصِيَامٍ)) 

(رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)

“Dari Aisyah radhiyallahu `anha bahwa Nabi ﷺ bersabda,”Tidak ada i`tikaf  kecuali dengan puasa.” (Riwayat Ad Daraquthni).

Imam An-Nawawi menyatakan bahwasannya hadits ini dhaif. Kalau sekiranya diterima maka maksudnya tidak ada i`tikaf yang sempurna. (dalam Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/488).

Dalil I`tikaf Minimal Sepuluh Hari

Sedangkan Madzhab Maliki yang berpendapat bahwa i`tikaf  tidak boleh kurang dari sepuluh hari berhujjah bahwasannya Rasulullah ﷺ tidak pernah melaksanakan i`tikaf lebih sedikit daripada sepuluh hari. (Fawaqih Ad Dawani, 1/321).

Dalil i`tikaf Bisa Dilakukan Sebentar

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: ((أَوْفِ بِنَذْرِكَ)) (أخرجه البخاري)

Dari Ibnu Umar bhawsannya Umar berkatata,”Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar di masa jahiliyah untuk beri`itikaf di malam hari di Masjid Al Haram, Rasulullah ﷺ bersabda, ’Tunaikan nadzarmu.’” (Riwayat Al Bukhari).

Imam An-Nawawi menyatakan bahwasannya hadits menunjukkan bahwa i`tikaf  tidak perlu berpuasa, karena malam hari tidak ada puasa. (Syarh Shahih Muslim, 8/68).

Walhasil, boleh melakukan I`tikaf  meski tidak berpuasa, dengan demikian tidak harus satu hari, meski sebentar. Wallahu `alam bish shawab.*/Thoriq, lc, MA

HIDAYATULLAH