Jika langit malam kelap-kelip dengan adanya bintang-bintang, maka umat ini terang benderang dengan adanya para ulama yang mengajari ilmu dan memberi teladan. Dan ini adalah kisah salah satu dari mereka. Ia masyhur sebagai ahli fikih paling muda di kalangan para sahabat Nabi. Ia juga merupakan sahabat yang paling utama dari kalangan Ansar. Termasuk salah satu sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling banyak. Terhitung sebagai ahli suffah. Ia dikenal hidup fakir, namun kaya dengan perbendaharaan ilmu. Ia adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
Nama dan kunyahnya
Nama beliau
Ulama berselisih pendapat terkait nama asli Abu Sa’id Al-Khudri. Di antara perkataan mereka tentang nama beliau adalah:
Pertama: Beliau bernama Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Tsa’labah bin Ubaid bin Al-Abjar Abu Sa’id Al-Khudri. [1]
Kedua: Beliau bernama Sinan. Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya mengatakan, “Nama Abu Sa’id Al-Khudri adalah Sinan.” [2]
Namun, nama beliau yang masyhur di kalangan ulama adalah Sa’ad.
ADVERTISEMENT
Kunyah beliau
Abu Sa’id Al-Khudri Al-Anshari termasuk keturunan suku Al-Khazraj. Mereka disebut Bani Khudrah atau Balkhudrah. Ada juga yang menyebut mereka Banu Al-Abjar. Dan yang dimaksud Al-Abjar adalah ‘Udzrah bin ‘Auf bin Al-Harits bin Al-Khazraj. [3]
Keluarga besarnya
Ayah beliau
Ayah Abu Sa’id Al-Khudri bernama Malik bin Sinan bin Ubayd bin Tsa’labah Al-Anshari. Malik bin Sinan termasuk sahabat Nabi yang mengikuti perang Uhud. Dan termasuk jejeran sahabat yang mati syahid di pertempuran tersebut.
Penyebutan nama Malik bin Sinan secara khusus dalam kitab-kitab sejarah Islam tidaklah ditemukan, kecuali dalam dua peristiwa. Yakni, syahidnya beliau dalam perang Uhud dan tatkala beliau menghisap darah dari wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Wajah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka, maka Malik bin Sinan menghadap ke arah beliau dan menghisap darah dari wajahnya, kemudian menelannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Siapa saja yang senang melihat seseorang yang darahnya bercampur dengan darahku, maka hendaklah ia melihat Malik bin Sinan.’” [4]
Pada riwayat Ibnu Ishaq di dalam kitab Sirah-nya, Nabi bersabda, “Siapa pun yang darahnya bercampur dengan darahku, maka neraka tidak akan menyentuhnya.” [5]
Ibu beliau
Ibu Abu Sa’id Al-Khudri bernama Anisah binti Abi Haritsah dari Bani Adi bin An-Najjaar. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hubaib kepada orang-orang yang membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [6]
Saudara-saudara beliau
Ahli sejarah mencatatkan beberapa saudara Abu Sa’id, di antaranya:
Pertama: Qatadah bin An-Nu’man, saudara seibu.
Kedua: Fari’ah binti Malik, saudara seayah dan seibu.
Ketiga: Zainab, saudarinya yang lain.
Anak-anak beliau
Abu Sa’id dikaruniai beberapa anak dari pernikahannya dengan istrinya, Zainab. Di antaranya:
Pertama: Abdurrahman
Kedua: Abdullah
Ketiga: Hamzah
Keempat: Sa’id
Kelima: Basyir
Ahli sejarah juga menuliskan beberapa cucu beliau, di antaranya:
Pertama: Rubaih bin Abdirrahman bin Abu Sa’id
Kedua: Abdullah bin Abdullah bin Abu Sa’id
Baca juga: Biografi Ringkas Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
Kelahirannya
Tidak ada kitab sejarah yang menuliskan secara pasti tahun kelahiran tokoh ini. Namun, berdasarkan beberapa catatan peristiwa, kita dapat menetapkan tahun kelahiran beliau dengan jalan berikut:
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dianggap masih kecil saat terjadi perang Uhud, sehingga beliau ditolak oleh Nabi untuk diikutkan dalam pertempuran tersebut. Disebutkan bahwa umur beliau waktu itu baru 13 tahun. Sementara, perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun 3 Hijriah. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan beliau lahir sekitar 10 tahun sebelum hijriah.
Ciri-cirinya
Beberapa ciri fisik Abu Sa’id Al-Khudri yang disebutkan dalam kitab sejarah sebagai berikut:
Pertama: Abu Sa’id tidaklah bercukur, di mana jenggotnya berwarna putih lebat.
Kedua: Dari Wahab bin Kisan, ia berkata, “Aku melihat Abu Sa’id memakai sutra.”
Ketiga: Dari Usman bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, ia berkata, “Aku melihat Abu Sa’id menipiskan kumisnya sebagaimana saudaraku Al-Haliq.”
Akhlaknya
Abu Sa’id Al-Khudri berhias dengan akhlak Islam yang mulia sebagai buah dari keimanan yang tertancap kuat di dalam hati beliau. Di antara akhlak beliau yang paling menonjol adalah:
Sabar dan menjaga kehormatan diri
Abu Sai’d Al-Khudri adalah salah satu sahabat yang ditempa secara langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan hikmah dan anutan sehingga menjadikan dirinya seorang pribadi muslim yang sejati. Di antara sifat terpuji yang ia miliki adalah ia senantiasa berjalan di atas kesabaran ketika menghadapi kesempitan dan ujian hidup.
Dikisahkan, ketika ayahnya meninggal dalam perang Uhud, ia kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta-minta. Namun, Nabi malah balik memberikan nasihat menggugah untuk mendidiknya, hingga petuah itu meresap kuat ke dalam sanubarinya.
Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan kisah tersebut dari jalur Utaibah, anaknya sendiri, di mana Abu Sa’id berkata, “Ayahku meninggal pada perang Uhud sebagai syahid, dan tidak meninggalkan harta untuk kami sepeser pun. Maka, aku pun mendatangi Rasulullah dan meminta (harta) padanya. Maka, tatkala melihatku, beliau bersabda,
من استغنى أغناه الله، ومن يستعفف يعفه الله
“Barangsiapa yang merasa cukup (tidak meminta-minta), maka Allah akan mencukupi (kebutuhan)nya. Barangsiapa yang menjaga diri (dari yang haram), maka Allah akan menjaganya.” Maka, aku (Abu Sa’id -pen) pun kembali (tanpa membawa apa-apa).
Hadis tersebut juga terdapat di dalam Ash-Shahihain dari jalur Ata’ bin Yazid dari Abu Sa’id Al-Khudri dengan cerita dan lafaz berbeda, yakni “Bahwa orang-orang Ansar meminta-minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak seorang pun yang meminta kepada beliau kecuali diberi, hingga ludes apa yang beliau punya untuk diinfakkan kepada mereka. Beliau kemudian berkata kepada mereka,
ما يكن عندي من خير لا أدخره عنكم وإنه من يستعف يعفه الله ومن يتصبر يصبره الله ومن يستغن يغنه الله ولن تعطوا عطاء خيرا وأوسع من الصبر
“Kebaikan (harta) di sisiku tidaklah tersisa, kecuali telah aku berikan kepada kalian. Barangsiapa yang menjaga diri (dari yang haram), maka Allah akan menjaganya. Dan siapa saja yang bersabar, maka Allah akan menjadikannya orang yang sabar. Begitu pula, barangsiapa yang merasa cukup (dari manusia), maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Pemberian (dari Allah) tidak ada yang lebih baik dan lebih lapang bagi manusia selain kesabaran.” [7]
Selain itu, meskipun beliau dari kalangan Ansar, beliau sering bergaul dengan ahli suffah dan juga dikenal sebagai ahli suffah. Beberapa sahabat, meskipun hidup cukup, mereka memilih hidup zuhud dan sabar. Di antaranya dengan banyak berinteraksi dengan ahli suffah. Bahkan, beberapa ulama terkenal dari kalangan sahabat selain Abu Sa’id tinggal di samping Masjid Nabawi sebagai ahli suffah, semisal Abu Hurairah dan Abdullah bin Mas’ud. [8]
Abu Nu’aim Al-Ashbahani berkata tentangnya, “Keadaannya dekat dengan keadaan ahli suffah. Meskipun ia adalah seorang Ansar yang memiliki rumah, namun ia lebih menyukai hidup dengan ahli suffah untuk meraih sabar, dan memilih berdiam sebagai ahli suffah untuk hidup fakir dan memelihara diri dari segala yang tidak baik.” [9]
Keberanian dan kepahlawanan
Di antara sifat yang juga dimiliki oleh Abu Sa’id Al-Khudri adalah keberaniannya dalam membela kebenaran, bagaimana pun keadaannya. Kisah beliau yang berkaitan dengan hal ini, semisal:
Pertama: Beliau diketahui sebagai salah satu sahabat yang membaiat Nabi di bawah pohon, yang dikenal sebagai Bai’atur Ridwan. Seperti telah masyhur diceritakan, bahwa pada saat itu, kondisi kaum muslimin yang awalnya berniat berhaji cukup mencekam. Di mana Usman yang diutus oleh Nabi untuk bernegoisasi dengan kaum Quraisy, tidak juga kembali dalam beberapa hari. Sampai kemudian terdengar berita jika ia terbunuh. Maka, Nabi pun mengambil ba’iat dari para sahabat untuk berjanji setia dan tidak akan pergi, jika semisal mereka harus berperang. Hal ini menunjukkan loyalitas dan keberanian para sahabat, meskipun jumlah mereka sedikit. Sampai-sampai Allah pun mengabadikan kisah mereka dalam Al-Qur’an yang mulia. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ رَضِیَ اللّهُ عَنِ المؤمِنِینَ اِذْ یُبَایِعُونَکَ تَحتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِی قُلوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّکِیْنَةَ عَلَیْهِمْ وَ اَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِیْبًا
“Sungguh Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Lalu, Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (Q.S. Al-Fath: 18)
Kedua: Semangat beliau untuk berjihad bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan sejak beliau masih kecil, sebagaimana yang akan dikisahkan nantinya. Disebutkan dalam buku sejarah, bahwa beliau mengikuti 13 peperangan bersama kaum muslimin, baik yang diikuti oleh Nabi secara langsung (Gazwah) maupun yang bentuknya ekspedisi (pengiriman satuan militer atas perintah Nabi), di antaranya:
Pertama: Perang (Gazwah) Bani Mustaliq
Kedua: Perang (Gazwah) Khandaq
Ketiga: Perang (Gazwah) Bani Quraidzah
Keempat: Perang (Gazwah) Hudaybiah
Kelima: Ekspedisi (Syariyyah) Basyir bin Sa’ad ke Fadak
Keenam: Ekspedisi (Syariyyah) Al-Qamah bin Mujazzaz
Ketujuh: Perang (Gazwah) Mu’tah
Kedelapan: Ekspedisi (Syariyyah) Abdurrahman bin ‘Auf ke Dumah Al-Jandal
Kesembilan: Perang Fathul Makkah
Kesepuluh: Perang (Gazwah) Hunain
Kesebelas: Perang (Gazwah) Tabuk
Kedua belas: Perang (Gazwah) Ukaydir di Dumah Al-Jandul
Ketiga belas: Ekspedisi (Syariyyah) Ali bin Abi Thalib ke Yaman
Ketiga: Beliau pernah memberikan nasihat secara berani kepada Marwan bin Al-Hakam bin Abil ‘Ash tatkala ia menjadi orang pertama yang membuat bid’ah berupa melakukan khotbah sebelum salat Id. Padahal Marwan pada saat itu tengah menjabat sebagai khalifah Bani Umayah di Syam.
Peristiwa tersebut disampaikan di antaranya melalui jalur Thariq bin Syihab, di mana ia berkata, “Orang pertama yang memulai khotbah Id sebelum salat adalah Marwan. Maka, ada seseorang berdiri dan berujar kepadanya, “Salat (Id) itu seharusnya didahulukan sebelum khotbah.” Marwan menimpali, “Hal tersebut sudah ditinggalkan.” Maka Abu Sa’id berkata, “Adapun orang ini telah menunaikan apa yang seharusnya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” [10]
Keempat: Mengutamakan orang lain
Abu Sa’id Al-Khudri juga dikenal dengan sifat itsar atau mendahulukan orang lain dibanding diri sendiri. Sebagian orang yang menulis biografinya mensifatinya demikian dengan berkata, “Ia seorang yang mendahulukan orang-orang fakir.” [11]
Maka itsar ini merupakan kebiasaan baik dan akhlak yang mulia yang para sahabat dipuji oleh Allah dengan berfirman,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr ayat 9).
Hingga jadilah para sahabat itu sebagai generasi Qur’ani yang tiada taranya. Generasi salaf yang diteladani dalam akhlak mulia. Dan satu di antara mereka adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
Keislamannya
Kitab-kitab sejarah juga tidak menyebutkan cerita dan awal mula keislaman Abu Sa’id Al-Khudri radhiyyalahu ‘anhu. Namun, nampak bahwa beliau termasuk penduduk Madinah yang pertama-tama memeluk agama Islam. Hal ini terlihat jelas pada sikap pemuda terdidik ini. Bagaimana ia mendudukkan Islam dalam dirinya. Begitu juga kedalaman iman di dalam dirinya. Sehingga mendorong dirinya untuk ikut berjihad pada perang uhud bersama Nabi. Padahal umurnya pada waktu itu masih 13 tahun. Namun, usia belia tidak menghalangi niatnya untuk turut serta dalam pertempuran besar tersebut.
Berniat ikut perang Uhud
Pada saat perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyeleksi sahabat yang akan berangkat berjihad, di antaranya berdasarkan usia. Sekelompok sahabat yang masih remaja ditolak oleh beliau dan tidak diizinkan menyandang senjata di hari itu. Satu di antara sahabat muda tersebut adalah Abu Sa’id Al-Khudri. Pada saat itu, Abu Sa’id masih berusia 13 tahun.
Kisah penolakan dan pemulangan Abu Sa’id Al-Khudri, diceritakan sendiri olehnya, di mana ia berkata, “Aku mengusulkan diri untuk ikut perang Uhud pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara usiaku masih 13 tahun. Ayahku pun menggenggam tanganku seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, anak ini memiliki tulang yang sangat besar.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengamatiku dari atas ke bawah kemudian membenarkan ayahku. Namun, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memerintahkan ayahku sambil bersabda, ‘Kembalikan anak itu.’ Maka, ayahku pun memulangkanku.” [12]
Zaid bin Haritsah Al-Anshari radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap kecil dan menolak sejumlah orang pada peristiwa perang Uhud. Di antaranya Zaid bin Haritsah, Al-Bara’ bin ‘Azib, Sa’ad bin Khaitsamah, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Jabir bin Abdillah. [13]
Guru-gurunya
Berdasarkan riwayat-riwayat Abu Sa’id Al-Khudri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun sebagian besar ia berasal dari Nabi secara marfu’, beliau juga meriwayatkan hadis dari sahabat yang lain. Oleh karena itu, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menuliskan, “Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Zaid bin Tsabit, Abu Qatadah Al-Ansari, Abdullah bin Salam, Usaid bin Hudhair, Ibnu Abbas, Abu Musa Al-Asy’ari, Mu’awiyah, dan Jabir bin Abdillah.” [14]
Murid-muridnya
Murid-Muridnya dari golongan sahabat
Di antara sahabat yang meriwayatkan hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri adalah[15]:
Pertama: Ibnu Umar
Kedua: Jabir
Ketiga: Anas
Keempat: Istrinya (Zainab binti Ka’ab)
Kelima: Ibnu Abbas
Keenam: Zaid bin Tsabit
Ketujuh: Mahmud bin Lubayd
Murid-muridnya dari golongan tabi’in
Adapun tabi’in yang meriwayatkan hadis darinya adalah:
Abdurrahman (anaknya), Abu Umamah bin Sahl, Said bin Al-Musayyab, Thariq ibnu Syihab, Abu At-Tufail, Ata’ bin Abi Rabah, Ata’ bin Yasar, Ata’ bin Yazid, ‘Iyad bin Abdullah bin Abi As-Sarh, Al-Agar bin Muslim, Bisyr bin Sa’id, Abu Al-Wadak, Hafs bin Ashim, Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, saudaranya (Abu Salamah bin Abdurrahman), Raja’ bin Rabiah, Adh-Dhahaq Asy-Syirqi, ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Khabbab, Sa’id bin Al-Harits Al-Anshari, Abdullah bin Muhairiz, Abdullah bin Abi ‘Utbah (pelayan Anas), Abdurrahman bin Abi Ni’m, Ubaid bin Umair, Uqbah bin Abdil Faiz, Iqrimah, ‘Amr bin Salim, Quz’ah bin Yahya, Muhammad bin Sirin, Nafi’ pelayan Ibnu Umar, Yahya bin Imarah bin Abi Hasan, Mujahid, Abu Ja’far Al-Baqir, Abu Sa’id Al-Maqbiri, Abu Abdurrahman Al-Habli, Abu Utsman An-Nahdi, Abu Syu’ban pelayan Abu Ahmad, Abu Shalih As-Siman, Abu Al-Mutawakkul An-Naji, Abu Nadrah Al-Ubaid, Abu Al-Qamah Al-Hasyimi, Abu Harun Al-Abdi, dan selainnya. [16]
Pujian ulama terhadapnya
Di antara pujian ulama terhadap Abu Sa’id Al-Khudri:
Pertama: Diriwayatkan dari Hanzalah bin Abi Sufyan, dari ayahnya, ia berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah yang paling muda yang lebih berilmu dibanding Abu Sa’id Al-Khudri.” [17]
Kedua: Al-Imam Abu Bakr Al-Khatib berkata, “Abu Sa’id adalah orang Ansar yang paling utama. Ia menghafal hadis yang sangat banyak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [18]
Ketiga: Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Abu Sa’id Al-Khudri adalah salah satu ahli fikih dari kalangan sahabat, dan yang paling mulia serta paling cerdas di antara mereka.” [19]
Keempat: Al-‘Amiri berkata, “Abu Sa’id Al-Khudri adalah salah satu di antara sahabat yang masyhur, yang paling utama, paling banyak riwayatnya. Dan ia terhitung sebagai ahli suffah. Suka mengutamakan orang-orang fakir. Dikaruniai kesabaran. Seorang faqih. Serta seorang yang mulia dan terhormat.” [20]
Riwayat hadis darinya
Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan hadis sebanyak 1170 buah hadis, dan termasuk urutan ketujuh sahabat periwayat hadis terbanyak setelah Abu Hurairah (5374 hadis), Abdullah bin Umar (2630 hadis), Anas bin Malik (lebih dari 2286 hadis), Aisyah (2210 hadis), Abdullah bin Abbas (1660 hadis), dan Jabir bin Abdillah (1540 hadis) radhiyallahu ‘anhum ajma’in. [21]
Abu Sa’id Al-Khudri termasuk sahabat yang memiliki ingatan yang sangat kuat. Ia sama sekali tidak menuliskan hadis-hadis di dalam kitab, namun ia menghafalkan keseluruhan hadis yang ia riwayatkan. Tentang hal ini, ia pernah berkata kepada muridnya, “Janganlah engkau tulis hadis-hadis, dan jangan engkau jadikan ia sebagaimana Al-Qur’an (ditulis -pen). Akan tetapi, hafallah dariku sebagaimana aku menghafalnya.” Di kesempatan lain ia berkata, “Ambillah hadis-hadis sebagaimana aku mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [22]
Abu Sa’id Al-Khudri jugalah yang meriwayatkan hadis larangan Nabi untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah kalian tulis dariku, selain Al-Qur’an. Dan siapa pun yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya.” [23]
Salah satu mufti dari kalangan sahabat
Pakar sejarah menyebut Abu Sa’id Al-Khudri sebagai salah satu sahabat yang biasa berfatwa. Maka, tentang ini Ziyad bin Mina berkata, “Adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, dan sahabat Rasulullah lain yang serupa dengan mereka, berfatwa di Madinah. Maka, mereka mengambil hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak wafatnya Usman radhiyallahu ‘anhu hingga wafatnya diri mereka masing-masing.” [24]
Nasihatnya
Berikut adalah salah satu nasihat beliau, “Wajib bagimu bertakwa kepada Allah. Karena takwa adalah pemimpin setiap hal. Wajib pula atasmu untuk berjihad. Karena ia adalah kerahiban dalam Islam. Demikian juga, patut bagimu berzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Karena ia mengharumkanmu pada penduduk langit dan menyebutmu di tengah-tengah penduduk bumi. Wajib juga bagimu untuk diam, kecuali dalam rangka menyampaikan kebenaran. Maka engkau pun akan mengalahkan setan.” [25]
Wasiatnya
Sebelum meninggal, Abu Sa’id Al-Khudri memberikan wasiat kepada Abdurrahman, anaknya, di mana ia berkata, “Ayahku berkata padaku, ‘Aku semakin tua. Para sahabat dan kawananku telah pergi (wafat). Tolong, peganglah tanganku.’ Ayahku kemudian bertelekan kepadaku hingga tiba di tepi pemakaman Baqi, bagian yang belum ada kuburannya. Beliau kemudian berkata, ‘Wahai anakku, jika nanti aku mati, maka kuburkanlah aku di sini. Jangan buatkan aku tenda besar, dan jangan pula engkau iringi aku dengan api. Jangan pula tangisi aku dengan ratapan. Jangan engkau kabarkan manusia tentang kematianku. Ringankanlah dan segerakanlah.’ Ayahku kemudian wafat pada hari Jumat. Aku pun tidak suka memberitahu manusia sebagaimana ia melarangku. Namun, mereka datang kepadaku dan bertanya, ‘Kapan engkau mengeluarkan (jenazah)nya?’ Aku pun menjawab, ‘Setelah aku siapkan, baru aku keluarkan.’ Maka, manusia pun memenuhi pekuburan Baqi bersamaku.” [26]
Wafatnya
Setelah menjalani kehidupan dan umur yang terbilang cukup panjang, ia telah sukses mengumpulkan berbagai kebaikan dan keutamaan. Baik berupa ilmu, amal, akhlak yang mulia, sikap zuhud, dan jihad fii sabilillah. Abu Sa’id Al-Khudri pada akhirnya berpulang ke sisi Rabbnya ‘Azza Wajalla di Madinah. Kota tempat ia lahir, tumbuh, dan berjuang bersama Nabi dan para sahabat yang mulia radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Ulama berbeda pendapat terkait tahun wafat Abu Sa’id Al-Khudri. Di antara perkataan mereka tentang waktu kematiannya sebagai berikut:
Pertama: Beliau wafat pada tahun 74 Hijriah. Ini pendapat Al-Wakidi, Ibnu Numair, dan Ibnu Bakir. [27]
Kedua: Beliau wafat pada tahun 64 Hijriah. Ini perkataan Ali Al-Madini. [28]
Ketiga: Beliau wafat pada tahun 63 Hijriah. Ini perkataan lain dari Ali Al-Madini dan Ibnu Hibban. [29]
Keempat: Beliau wafat pada tahun 65 Hijriah. Ini pendapat Al-Askari. [30]
Abu Sa’id Al-Khudri dikuburkan di pemakaman Baqi sebagaimana yang ia wasiatkan kepada anaknya, Abdurrahman. Sebelumnya, dia menginginkan pemakaman yang sederhana. Sampai kemudian manusia di Madinah mengetahui berita kematiannya. Mereka pun berbondong-bondong menghadiri penguburan jenazahnya, sehingga pekuburan Baqi pun tumpah ruah dan penuh dengan manusia. Semua itu sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap Abu Sa’id Al-Khudri yang mereka kenal telah menjadi Mufti di Madinah dalam waktu yang cukup panjang. Begitu juga kisah kepahlawanan, kesahajaan, kesabaran, dan teguhnya beliau dalam memberikan nasihat, serta beramar makruf nahi mungkar kepada manusia. Semoga Allah mengumpulkan kita bersamanya, dan seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in di surga-Nya kelak, tempat yang penuh kenikmatan nan abadi.
***
Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber bacaan dan terjemah:
Muhammad Abdullah Abu Su’aylik. 1999. Abu Sa’id Al-Khudri Shahibu Rasulillahi wa Mufti Al-Madinah fii Zamaanihi. Riyadh. Huquq At-Thaba’ Mahfuzah.
Catatan kaki:
[1] Al-Mu’jam Al-Kabir 6/33, Al-Ishabah 2/33, Sirah Ibnu Hisyam 3/178, Thabaqat Khalifah hal. 96
[2] Sirah Ibnu Hisyam 3/178.
[3] Jamharah Ansab Al-Arab hal. 362 dan Al-Ishabah 2/32.
[4] Al-Mu’jam Al-Kabir no. 5430, Ibnu Sakkan dan Sa’id Mansur sebagaimana dalam Al-Ishabah 3/320, Al-Maghazy karya Al-Waakidi 1/247.
[5] Sirah Ibnu Hisyam 3/116, di mana sanadnya Munqati’. Juga terdapat dalam Al-Maghazhi karya Al-Waakidi 1/247.
[6] Al-Majar: 429 dan Al-Ishabah 4/238.
[7] Al-Jami’ Ash-Shahih, Kitab Ar-Riqaq nomor 6470.
[8] Ahlus Suffah. Asy-Syaikh Shalih Najib Ad-Daq.
[9] Al-Hilyah 1/369-370.
[10] HR. Muslim 2/21-24.
[11] Ar-Riyaadh Al-Mustathaabah hal 100.
[12] Siyar Alam Nubala, 3/169, Tahdzib Ibnu Asaakir 6/113, dan Al-Mustadrak 3/563.
[13] Mu’jam Al-Kabir, nomor 5150.
[14] Tahdzib At-Tahdzib 3/416.
[15] Siyar Alam Nubala 3/169 dan At-Tahdzib 3/416.
[16] At-Tahdzib 3/316-317.
[17] Thabaqat Ibnu Sa’ad, 2/374.
[18] Tarikh Bagdad, 1/180
[19] Tahdzib Al-Asma, 2/237.
[20] Ar-Riyad Al-Mustathabah, hal. 100.
[21] Aktsaru Ash-Shahabah Riwayah lilhadits. Mahmud Dawus Dasuqi Khattabi.
[22] Al-Mustadrak 3/564, Jami’ Bayan Al-‘Ilmi 1/76-77, dan Taqyid Al-Ilm halaman 36.
[23] HR. Muslim hal. 229.
[24] Thabaqat Al-Fuqaha, karya Asy-Syirasyi hal. 33.
[25] Siyar A’lam Nubala 3/170.
[26] Al-Mustadrak, 3/564.
[27] Tahdzib At-Tahdzib 3/417.
[28] Siyar Alam Nubala 3/171 dan At-Tarikh Al-Kabir 4/44.
[29] Masyahir Ulama Al-Amshar hal 11 dan At-Tsiqat 3/150.
[30] Tahdzib At-Tahdzib 3/417.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84260-abu-said-al-khudri.html