Konflik Israel dan Palestina adalah konflik berkepanjangan yang telah berlangsung selama lebih dari 70 tahun. Konflik ini melibatkan dua kelompok etnis dan agama yang berbeda, yaitu orang Yahudi dan orang Arab Palestina. Lantas mungkinkahIsrael dan Palestina berdamai?
“Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah Bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel. Kolonialisme belum mati hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme ada diberbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair dan seterusnya.” Begitulah kata Bung Karno.
Tak bisa dipungkiri, konflik Israel-Palestina adalah salah satu masalah sentral dan krusial di kawasan Timur Tengah. Konflik dan resolusi konflik pun menjadi salah satu isu yang tetap saja menonjol dalam perkembangan studi politik di dunia hampir sepanjang abad 20 bahkan sampai abad 21 saat ini, terutama masalah pertikaian Arab-Israel.
Sejarah mencatat awal mula konflik terbuka perang Arab-Israel dimulai sejak tahun 1948. Dimana, negara-negara Arab yang bersatu melawan Israel pada perang tahun 1948 yaitu; Mesir, Suriah, Lebanon, Irak, Jordan, Saudi Arabia, Yaman dan milisi Palestina.
Syahdan, bahwa konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel adalah salah satu sengketa yang cukup panjang jika kita menghitung waktu maupun upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan sengketa ini, yang belakangan ini kembali memanas cukup menarik perhatian kita. Hal ini jelas memicu kembali ketegangan. Tidak hanya di kalangan negara-negara Timur Tengah, tetapi juga ikut menarik perhatian dari dunia.
Dalam konflik antara Israel dan Palestina, ternyata telah beberapa kali dilakukan perjanjian-perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara kedua pihak, yang sama-sama menyatakan dirinya sebagai negara merdeka, dan berhak atas wilayah yang menjadi pokok sengketa antara kedua pihak.
Melansir dari laman CNBC Indonesia, Israel telah melancarkan empat serangan-serangan militer berkepanjangan di Gaza yakni di tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021. Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur.
Pembangunan kembali hampir mustahil dilakukan karena pengepungan tersebut menghalangi material konstruksi, seperti baja dan semen, mencapai Gaza. Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.
Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.
Meski telah berkali-kali dilakukan upaya perdamaian sampai pada tingkat perjanjian internasional yang telah dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sehingga menghasilkan pembagian wilayah untuk kedua masing-masing pihak yakni Israel dan Palestina.
Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak mampu secara langsung menyelesaikan permasalahan antara Israel dan Palestina. Palestina dengan pasukan intifadanya dan Israel dengan kekuatan bersenjata yang cukup kuat tetap saling menyerang dan bertahan satu sama lain.
Tentang intifada ini, terutama dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Kepemimpinan Nasional Terpadu Pemberontakan, sebuah koalisi faksi politik Palestina yang berkomitmen untuk mengakhiri pendudukan Israel dan membangun kemerdekaan Palestina. Lebih dari itu, intifada ini ditandai dengan mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama komunal.
Penting diketahui, bahwa negara Israel berdiri pada 1948 setelah PBB menyetujui pendiriannya di tanah Palestina yang awalnya di bawah mandat Inggris. Sehari setelah pendirian Negara Israel, negara-negara Arab yang terdiri dari Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, dan Irak langsung menyerang Israel.
Sejak saat itu peperangan demi peperangan terus terjadi. Palestina yang mayoritas penganut agama Islam, mendapat dukungan dari negara-negara Arab dan Muslim lainnya, sementara Israel didukung negara-negara Barat. Banyak dinamika yang terjadi dalam konflik yang telah berlangsung selama lebih dari enam dekade ini.
Jika melihat faktor lain selain klaim teologis dalam sebuah konflik yang terjadi dalam rentan waktu yang cukup lama, maka menurut pendekatan ilmu sosiologi dalam hal ini teori konflik sosial Oberschall, bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagai hal.
Misalnya konflik antar kelas (social class conflict) seperti bangsa Yahudi yang menganggap lebih tinggi kedudukannya dibanding bangsa Arab, konflik ras (ethnics and racial conflicts) bangsa Yahudi dan Arab, konflik antar pemeluk agama (religions conflict) Islam dan Yahudi, konflik antar komunitas (communal conflict) Zionis dan Hamas, dan lain sebagainya.
Tinjauan teoritis
Sekali lagi, salah satu faktor yang mendasari terjadinya konflik adalah faktor teologis, yaitu agama Yahudi dan agama Islam sama-sama menganggap wilayah yang diperebutkan sebagai Tanah Suci bagi masing-masing agama. Faktor lainnya adalah politik.
Adalah Negara Barat yang menjadi pendukung Israel mempunyai banyak alasan dibalik dukungannya. Israel yang berada di Timur Tengah dijadikan sebagai alat konstelasi bagi negara Barat khususnya AS. Ekonomi menjadi faktor penting juga dalam konflik ini, karena negara-negara Timur Tengah sangat kaya akan sumber energi, khususnya minyak dan gas.
Dalam buku “Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam” dikatakan, bahwa Muslim Palestina menganggap Israel adalah kafir harbi (kafir musuh yang bisa diperangi) yang mana Yahudi Israel dianggap merampas tanah hak milik bangsa Palestina.
Oleh karena itu, dianggap jihad jika mereka mengorbankan nyawa dan harta untuk membela tanah Palestina. Tidak mengherankan jika mereka mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua berusaha melawan penjajahan Israel di atas tanah Palestina.
Bagi kaum Yahudi, tanah Palestina mempunyai nilai historis yang sangat Penting. Selain memang awalnya mereka pernah menetap di sana hingga adanya eksodus oleh tentara Romawi, bangsa Yahudi juga mempunyai doktrin bahwa Tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan bagi mereka. Yahudi menganggap bahwa dirinya adalah umat Allah Swt. atau umat yang terpilih dibandingkan dengan yang lain.
Salah satu kelompok yang mempunyai paham ini adalah kelompok Haredim. Kelompok ini awalnya hanya berada di wilayah tradisional Jerusalem, seperti Mea Shearim. Akan tetapi, saat ini kelompok tersebut telah tersebar di seluruh Israel dan mereka berpengaruh kuat pada politik Israel.
Mungkinkah Israel dan Palestina Berdamai?
Terkait pertanya mungkinkah Israel dan Palestina berdamai? Sebenarnya, ada banyak upaya internasional yang telah dilakukan untuk mencapai solusi damai atas konflik Israel-Palestina. Misalnya Perjanjian Oslo 1993 yang menciptakan Otoritas Palestina dan peta jalan negosiasi.
Namun, perjanjian damai berikutnya sering gagal untuk menghasilkan resolusi akhir. Isu-isu inti, seperti status Yerusalem, hak kembalinya pengungsi Palestina, dan perbatasan negara Palestina-Israel, tetap kontroversial dan belum menemukan titik-temu.
Dari sini kita tahu, bahwa konflik Israel-Palestina sangat berakar pada faktor-faktor sejarah, politik, budaya yang telah membentuk Timur Tengah modern dan intervensi Barat. Tentu saja, memahami asal-usulnya sangat penting untuk menemukan jalan menuju perdamaian dan koeksistensi.
Sejarah konflik yang kompleks, peran nasionalisme, dan perjuangan untuk memperoleh wilayah oleh kedua pihak terus menantang para pemimpin dan organisasi internasional untuk bekerja menuju penyelesaian yang berkelanjutan. Terlepas dari tantangan yang luar biasa ini, tetap menjadi kewajiban moral bagi dunia untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan yang memenuhi hak-hak dan aspirasi yang sah dari kedua pihak, warga Israel dan warga Palestina.
Masih tentang usaha perdamaian. Perdamaian Palestina-Israel yang diharapkan oleh rakyat kedua belah pihak dan diharapkan oleh masyarakat dunia internasional, masih terkendala beberapa faktor. Terutama hambatan internal dari ke dua pihak yang berkonflik. Israel dihadapkan pada friksi internal antara dua pihak, dimana kelompok pertama yang menginginkan eksistensi Israel sebagai negara kuat sebagai raison d’etre eksistensi Israel itu sendiri.
Atau, pilihan kedua berarti menempuh jalan perdamaian yang mengarah kepada pembentukan Negara Palestina merdeka. Sementara di pihak Palestina, hambatan untuk mencapai kemerdekaan Palestina terhambat oleh faktor internal. Yaitu adanya konflik antara Fatah dan Hamas yang menjadi batu sandungan kekuatan Palestina dalam mencapai kemerdekaan hakiki dari Israel.
Catatan akhir
Jelasnya, prospek Perdamaian Palestina-Israel masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala; baik internal maupun eksternal. Di pihak Israel, konflik internal antar golongan dan kekuatan politik saling menonjolkan kekuatannya dalam menyikapi posisi Palestina dan para pejuang kemerdekaan Palestina.
Begitu juga di pihak Palestina dihadapkan pada konflik internal antara Fatah dan Hamas dalam menyamakan persepsi memilih strategi yang pas untuk perjuangan kemerdekaan Palestina. Akhirnya, ketika dua negara yang berkonflik masih disibukan dengan masalah internalnya. Adalah memunculkan kekhawatiran akan masa depan perdamaian Palestina-Israel akan terwujud dalam waktu cepat. Namun, kemungkinan perdamaian tetap ada bila didukung dengan itikad baik semua pihak yang terkait konflik.
Demikian penjelasan terkait mungkinkahIsrael dan Palestina berdamai? Perdamaian antara Israel dan Palestina tidak akan mudah, tetapi itu adalah tujuan yang layak untuk dikejar. Dengan kerja keras dan komitmen dari kedua belah pihak, perdamaian dapat menjadi kenyataan. Wallahu a’lam bishawab.