Meski berlatarbelakang sebagai keturunan Suku Anak Dalam, Murad menunjukkan prestasi menjadi bintang kelas sejak kelas I SD hingga saat ini.
Dream – Murad terlahir dari orangtua Suku Anak Dalam penghuni hutan kawasan Bukit 12, Jambi. Ayahnya, Jelitay, merupakan Tumenggung Orang Rimba di Kejasung Besar. Posisinya sangat disegani di kalangan Orang Rimba.
Tetapi, Tumenggung mengambil jalan lain. Dia memilih masuk dan menetap di desa, berbaur dengan masyarakat dan memeluk Islam bersama istri dan keempat anaknya, Dedi, Nganing, Murad, dan Laru.
Kisah ini bermula di tahun 2009. Kala itu, Murad dan ketiga saudaranya masuk Islam dan dikhitan di bawah bimbingan ulama Desa Rawa Mekar, Kecamatan Marosebo Ulu, Kabupaten Batang Hari, Jambi, Qohari. Tumenggung kemudian menitipkan Murad kepada ulama tersebut.
Saat itu, Tumenggung dan istrinya belum begitu yakin masuk Islam. Setelah menitipkan anak-anaknya, Tumenggung kembali ke hutan untuk memenuhi hajat hidup dengan bertani dan meramu sesuai tradisi Suku Anak Dalam.
Murad ditinggal selama satu tahun dan Tumenggung memberikan tanggung jawab kepada Dedi sebagai anak tertua untuk mengawasi adik-adiknya, terutama Murad. Tumenggung akan kembali setahun kemudian untuk melihat perkembangan anak-anaknya.
Setahun kemudian, Tumenggung terkagum-kagum dengan perkembangan Murad. Anak itu mampu bersaing dengan anak-anak lain yang bukan berasal dari Suku Anak Dalam. Tetapi, Murad tetap rendah hati dan tidak mudah putus asa serta punya semangat belajar tinggi.
Melihat hal itu, Tumenggung kemudian disarankan oleh Qohari untuk menyekolahkan Murad di sekolah formal.
“Rugi, Gung, kalau pendidikan anak-anak tidak dilanjutkan. Semuonyo balik pado Tumenggung, yang penting ngaji jangan dilupo (Semuanya kembali pada Tumenggung, yang penting mengaji jangan dilupakan),” ucap Tumenggung mengingat pesan Qohari.
Tumenggung akhirnya mengikuti saran tersebut. Dia memasukkan Murad ke Sekolah Dasar Negeri 195 Idi Rawa Mekar. Tumenggung pun harus rela menunggu perkembangan anaknya setahun lagi. Dia harus kembali ke hutan.
Setahun kemudian,Tumenggung kembali dan melihat Murad mampu meraih juara umum di kelasnya. Menyadari hal itu, Tumenggung kemudian berembug dengan istrinya untuk mantap memeluk Islam dan tinggal di desa.
“Jika tidak satu iman dengan anak bagaimana nanti kita mati? Mereka tidak bisa mbantu, pemakan dan peminum kita beda,” kata Tumenggung.
Menurut dia, keraguan yang dialaminya berdasar pada banyaknya Orang Rimba yang memeluk Islam ketika masing lajang. Tetapi ketika menikah mereka kembali ke tradisi turun temurun itu.
“Menjadi Islam bukan pekaro (perkara) mudah, harus betul-betul yakin dari hati dulu. Bukan cuma makan dan minum bae yang harus diubah, perilaku jugo, yang harus di-Islamkan terlebih dulu adolah hati, baru badan diri,” kata dia.
Sang istri pun tidak mudah menerima pendapat Tumenggung. Tetapi, Tumenggung tidak menyerah dan terus mengawasi perkembangan anak-anaknya.
Dia bahkan rela berjalan kaki satu hari dari Kejasung menuju Desa Rawa Mekar, tempat Murad tinggal. Rasa lelah dan perjuangan keras terobati ketika dia mengetahui Murad kembali menjadi juara kelas ketika naik ke kelas II, dan adiknya, Laru, berhasil mendapat penghargaan di Madrasah.
Prestasi anak-anaknya membuat Tumenggung dan istrinya mantap memeluk Islam. “Alhamdulilah, sejak tahun 2010 sampai dengan kini, sayo, bini dan anak-anak meluk Islam dan tinggal di desa, dak teraso tahun iko Murad sudah naik kelas limo, dan dapat juara umum lagi.Alhamdulilah, dari kelas satu sampai kini dio juaro terus,” kata Tumenggung.
Harapan Tumenggung pada anaknya, Murad dan Laru tidaklah besar. Dia hanya ingin anak-anaknya menjadi ujung tombak perubahan masyarakat dalam segi pendidikan dan agama.
Bagi Tumenggung, menjadi Muslim, hidup menetap, dan berpendidikan bukan berarti merusak tradisi leluhur. Sebaliknya, pilihan itu merupakan jalan baginya untuk menguatkan masyarakat, menyempurnakan kebutuhan lahir batin baik bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan.
(Artikel ini merupakan kiriman sahabat Dream, Willy Azan)
sumber:Dream.co.id