Mengapa Kekayaan itu Penting di Tangan Muslim yang Saleh?

Kekayaan yang hakiki menurut Islam adalah yang menunjang kesalehan

Setiap orang tentu punya keinginan untuk menjadi kaya. Sebab dengan begitu, segala kebutuhan dan keinginan di dunia bisa terpenuhi. Dengan menjadi kaya, orang menjadi lebih mudah untuk mengulurkan tangannya. Membantu kaum fakir miskin maupun kelompok lain yang sedang mengalami kesusahan. 

Lantas, apa sebetulnya makna kaya dalam Islam? Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis, menyampaikan kaya adalah orang yang secara harta memiliki lebih dari kebutuhannya. Tetapi secara makna batin, kaya adalah orang yang mensyukuri dan bukan soal berapa banyak harta.

“Secara makna batin, kaya itu merasa cukup dengan menjaga ‘iffah (menahan diri) dan kehormatan diri. Dan kalau dari definisi kepemilikan, kaya adalah (harta) yang lebih dari kebutuhan,” jelasnya kepada Republika.co.id.  

Kiai Cholil memaparkan, yang harus dikejar seorang Muslim ialah kekayaan hati dan kekayaan harta. Kaya hati tentu dengan banyak bersyukur dan qanaah, yang berarti menerima pemberian Allah SWT dan mengembalikan kepada-Nya dengan cara mensyukuri apa yang diterimanya.

“Harta yang dikumpulkan tentu dengan cara yang halal dan baik. Lalu harta yang dimiliki itu dizakatkan, diinfakkan, diwakafkan, disedekahkan. Itu yang baik bagi seorang Muslim,” jelasnya. 

Karena itu, Kiai Cholil menyampaikan, Muslim tidak dilarang untuk menjadi kaya, asalkan dengan cara yang baik dalam memperolehnya serta mengelola kekayaan dengan baik. Kesukaan Islam terhadap Muslim yang kaya, menurutnya, tercermin melalui zakat. 

“Ajaran tentang zakat itu hanya bisa dilakukan oleh orang kaya, orang miskin tidak bisa berzakat. Jadi sebenarnya Islam lebih suka orang kaya, karena tangan yang memberi lebih baik daripada yang menerimanya,” jelasnya.

Dalam konteks itulah, yang tidak diperbolehkan yaitu menjadi kaya dengan kesombongan. Sedangkan yang diperlukan adalah kaya dan zuhud, menjalani kehidupan dengan kesederhanaan. 

“Jadi sebenarnya lebih bagus orang kaya yang dermawan, hidupnya sederhana, itu yang diinginkan Rasulullah SAW, sehingga dia bisa berzakat, berinfak, bersedekah, untuk kebaikan,” katanya. 

Untuk menjadi kaya sesuai ajaran Islam, Kiai Cholil mengungkapkan, tentu harus bekerja keras dengan sebaik-baiknya dan bersabar. Dengan demikian, bisa menjadi Muslim kaya yang senang berbagi sesuai tuntunan Islam. “Orang kaya itu pebisnis, maka kita diminta untuk berbisnis karena 90 persen jalan rezeki itu dari bisnis,” imbuhnya.

Sementara itu, pengajar di Ma’had Daarussunnah Bekasi, Ustadz Muhammad Azizan Syahrial Lc menjelaskan, makna kaya bagi seorang Muslim tercermin dalam hadits riwayat Bukhar dan Muslim. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Abu Hurairah: 

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ، ﻋَﻦِ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ: «ﻟَﻴْﺲَ اﻟﻐﻨﻰ ﻋَﻦْ ﻛَﺜْﺮَﺓِ اﻟﻌَﺮَﺽِ، ﻭَﻟَﻜِﻦَّ اﻟﻐِﻨَﻰ ﻏِﻨَﻰ اﻟﻨَّﻔْﺲِ

“Bukanlah kekayaan itu terletak pada banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan (yang hakiki) itu adalah kekayaan hati (qanaah).” 

Ustadz Azizan menjelaskan, Imam Syafi’i pernah mengatakan bahwa bila seorang Muslim memiliki hati yang qanaah, maka dia dan raja dunia itu sama. Dengan catatan, punya hati yang qanaah. Kaya atau miskin bagi seorang Muslim sebetulnya tidak ada bedanya. Sebab, tolok ukurnya bukanlah kemiskinan atau kekayaan, tetapi sejauh mana menjadi Muslim yang memanfaatkan segala sesuatu yang Allah SWT takdirkan kepada dirinya. 

“Bila miskin, dia bersabar. Bila kaya, dia bersyukur. Jadi kekayaan seperti apa yang harus dicari seorang Muslim? Dia tidak harus mencari kekayaan. Tidak ada satu pun perintah di dalam Alquran dan hadits agar kita menjadi orang kaya. Artinya, kekayaan atau kemiskinan itu karunia Allah SWT,” ungkapnya.

Allah SWT, memberikan karunia kepada siapapun yang Dia kehendaki. Bila seorang Muslim diberi kekayaan, maka ia harus mengatur kekayaan itu dengan baik dan harus memanfaatkan kekayaan yang Allah SWT berikan padanya itu dengan baik, sebagaimana yang dilakukan Sahabat Nabi SAW, Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. 

Kehidupan para Sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf itu tidak pernah mengincar kekayaan. Mereka hanya berusaha dan Allah SWT beri karunia berupa kekayaan. Karena, Nabi SAW meski tidak pernah mengajarkan untuk menjadi kaya, beliau berharap ada umatnya yang kaya dan berkah hartanya agar bisa menyalurkan harta kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan sesuai tuntunan Islam. “Jadi, apakah Rasulullah mengajak umatnya untuk menjadi kaya? Tidak, tetapi Nabi SAW pernah mendoakan Anas bin Malik agar memiliki banyak harta,” terang Ustadz Azizan. 

Dalam hadits Mmttafaqun alaih, Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah hartanya (Anas bin Malik), dan anak-anaknya, serta berkahilah apa yang telah Engkau berikan kepadanya.” 

Dari hadits itu, diketahui tentang pentingnya menyertai kekayaan dengan keberkahan. “Jadi kembali lagi, tolok ukurnya bukan tentang kekayaan, tetapi sejauh mana hartanya diberkahi Allah SWT,” imbuhnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA