Beberapa Dalil Pahala Bagi yang Baru Berniat

NIAT memiliki keutamaan yang sangat besar. Maka memang benar bila bab niat menjadi perhatian tersendiri dalam rangka meningkatkan kualitas amal kita. Bahkan terdapat keutamaan niat yang sangat istimewa, yakni niat akan diganjar dengan pahala meskipun orangnya belum melakukan amalannya. Kami akan sampaikan tiga dari beberapa dalil yang bersumber dari hadits shahih tentang pahala atas niat kebaikan.

Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhu, Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika dia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisiNya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan”.(HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat, “Jika hambaKu berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian menulis kesalahan itu sampai ia (benar-benar) mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya maka tulislah sesuai dengan perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahan itu (tidak jadi mengerjakan kesalahan/dosa yang ia niatkan), maka tulislah untuknya satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya sepuluh kali kebaikannya itu hingga tujuh ratus” (HR. Bukhari).

Dari Anas radliyallahu anhu, dari Nabi shalallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa menginginkan kebaikan kemudian tidak mengerjakannya, maka satu kebaikan ditulis untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, maka sepuluh kebaikan ditulis baginya. Dan barangsiapa menginginkan kesalahan kemudian tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis apa-apa baginya. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, maka ditulis satu kesalahan baginya” (HR. Muslim).

INILAH MOZAIK

Baru Berniat Sudah Mendapat Pahala

PERKARA niat adalah perkara penting dalam amal ibadah kita. Bahkan jauh lebih penting dari amalan itu sendiri. Niat adalah asas dan pondasi, sedangkan amalan hanya mengikuti niat.

Ibnu Qayyim rahimahullah menyampaikan, “Sesungguhnya niat adalah ruh amalan. Pemimpin dan pengendalinya. Sedangkan amalan sekadar mengikuti. Amalan menjadi sah sesuai keabsahan niat dan menjadi rusak dengan rusaknya niat. Dengan niat tersebut akan didapatkan taufiq. Adapun ketiadaan niat akan mendatangkan kehinaan. Dengan niat pula bertingkat-tingkatlah derajat manusia di dunia dan akhirat”.

Tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhuma, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam dalam suatu peperangan, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa laki-laki yang mana tidaklah kalian menempuh perjalanan, tidak pula melewati lembah, melainkan mereka bersama kalian. Sakit telah menghalangi mereka”. Dalam riwayat lain, “Melainkan mereka berserikat dengan kalian dalam pahala.

Juga hadits yang cukup panjang yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi yang bersumber dari sahabat Abu Kabsyah al Anmari radliyallahu anhu. Hadits ini mengabarkan bahwa golongan orang yang tidak diberi harta namun diberi ilmu oleh Allah, orang tersebut berniat akan memperlakukan hartanya seperti perlakuan seorang dermawan yang kaya apabila ia diberi harta oleh Allah. Rasulullah katakan, “dengan niatnya yang baik itu, maka pahala keduanya sama”.

Dari dua hadits mulia ini, muncullah kaidah agung dalam hal keutamaan berniat baik. Berdasar hadits ini, ulama menjelaskan bahwa niat dapat mendatangkan pahala bagi orangnya, meskipun orang tersebut tidak dapat melaksanakan amal/ibadah yang dia niatkan karena terhalang oleh sesuatu hal.

Allah Alam.

 

INILAH MOZAIK

Niat Menentukan Nilai Amal Diri Seseorang

NIAT itu membedakan amal yang satu dan amal yang lain, serta membedakan antara orang yang satu dan orang yang lain. Syekh Ibn Taymiyah telah meyakinkan kita berapa niat itu sangat menentukan nilai amal dan diri kita.

Tapi, niat sejati itu dalam hati. Lantas, apa makna ikhlas? Imam al Nawawi, di awal kitab al-Adzkar, menyajikan banyak keterangan para syekh tentang makna-makna ikhlas.

Allah swt berfirman, “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.” (al-Bayinah : 5)

Allah swt juga berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidaklah dapat mencapai Allah, melainkan ketakwaan dari kamulah yang mencapai-Nya.” (al-Hajj :37)

Ibn Abbas mengatakan, ketakwaan di sini maksudnya adalah niat (tulus).

Dari Umar ibn al-Khaththab diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Perbuatan itu bergantung pada niat. Bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Sedang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin ia kuasai atau perempuan yang ingin ia kawini, maka hijrahnya karena hal itu pula.”

Hadis ini sahih, dan termasuk salah satu hadis yang menjadi poros ajaran Islam. Kaum salaf senang sekali mengawali kitab-kitab mereka dengan hadis ini, demi memperingatkan para penelaah agar mempunyai dan memerhatikan niat yang lurus.

Ibn Abbas berkata, orang itu dihormati sepadan dengan niatnya. Yang lain berkata, manusia itu dihargai sebanding dengan niatnya.

Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, meninggalkan amal karena manusia itu ria, melakukan amal karena manusia itu syirik, dan ikhlaslah yang menyembuhkan keduanya.

Banyak perbuatan biasa menjadi bernilai karena terbungkus dalam niat yang begus, sebagaimana banyak kewajiban menjadi tak bermakna lantaran niatnya yang tak lurus. Ketulusan membuat hidup semua tindakan. [Chairunnisa Dhiee]

 

INIILAH MOZAIK

Semua Perbuatan Tergantung Niat

SEKARANG aku mengerti kenapa hubunganku dengan lelaki yang kukasihi, berakhir di tengah perjalanan menuju niat kami untuk menghalalkan hubungan ini. Aku sudah cukup lama menjalin kasih dengannya, lelaki yang berprofesi sebagai abdi negara. Kami saling mengenal sejak bersekolah di tingkat menengah pertama. Dia adalah teman sekelasku.

Selepas sekolah menengah kejuruan, kami menjalin hubungan, dan setelah beberapa tahun setelah itu, kami berniat mengakhiri hubungan ini dengan sebuah predikat ‘Halal’. Kalian tahu gerak-gerik kita di dunia ini sudah diketahui Allah, bahkan sebelum kita melakukan sebuah tindakan, Allah sudah mengetahui isi hati kita, mengetahui niat kita.

Allah telah mengetahui niatku untuk segera melengkapi kodratku sebagai wanita, yaitu menjadi seorang istri dan ibu. Namun sayang, aku tidak tahu niat lelaki yang mengaku menyayangiku, tapi Allah telah lebih tahu, sangat tahu.

Menjalin hubungan beda agama bukanlah hal yang mudah, sungguh sangat sulit kurasa. Harus banyak toleransi antara aku dan dia. Tapi aku tak mengapa, aku tetap menjalani hubungan itu, dengan harapan kelak Allah akan memberikan hidayah untuk lelaki yang selalu ku sebut namanya dalam obrolanku dengan Allah.

Hingga pada akhirnya, aku mengira ia mendapat hidayah untuk memilih Islam sebagai agamanya. Alhamdulillah, gumamku dalam hati. Namun kalian tahu, apa niatnya sebenarnya, lelaki yang selama bertahun-tahun menghabiskan waktu bersamaku berjuang bersama mengejar cita-cita kami masing-masing. Ternyata, ia hanya ingin memeluk Islam jika aku mau menikah bersamanya.

Aku sungguh kecewa dengan kejujurannya. Aku memang berharap ia bisa seiman denganku, tapi bukan karena kau, tapi karena Allah swt. Dalam tiap sujudku, aku mendoakannya agar bisa mengenal Allah, zat yang maha membolak-balikkan hati. Dan akhirnya ia akan menjadi seorang muslim karena telah mengenal sang Illahi Rabbi, bukan karena aku.

“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan” (HR Bukhari : 7)

Aku hanya wanita yang juga sedang berhijrah menjadi wanita lebih baik, walau tidak sebaik Fatimah Az-zahra. Aku memiliki banyak kekurangan dalam diri, jika lelaki itu ingin memilih Islam hanya karena aku, maka ia akan menemukan banyak kekurangan dalam diriku, dan ia akan kecewa ia akan kembali lagi ke dunianya, ke agamanya. Dan apa artinya dua kalimat syahadatnya?

Apapun yang kita lakukan akan kembali seperti apa niat kita sebelumnya. Apakah niatnya semata untuk mengharap rida Allah, atau karena orang lain. Aku percaya, tidak ada niat terbaik selain niat hanya untuk mengharap keridaan Allah swt. [Chairunnisa Dhiee]

 

 

Ketika Niat Selalu Diuji

Ada sebuah dorongan yang membuat kami dari Media Center Haji (MCH) Daker Makkah akhirnya memutuskan hal ini. Malam itu kami memilih untuk menyisihkan barang satu dua jam waktu kami untuk mengabdikan diri di Masjidil Haram. Dasarnya keikhlasan dan kelonggaran waktu.

Hari-hari pertama kami di Makkah memang tidak ada aktivitas signifikan terkait jamaah haji Indonesia di Masjidil Haram. Maklum, berangkat dari Jakarta bersama jamaah kloter pertama pada 9 Agustus, kami tiba di Makkah ketika belum ada satu pun jamaah haji Indonesia di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut. Liputannya pun baru sebatas persiapan Daker Makkah menyambut jamaah haji Indonesia dari Madinah.

Jamaah kloter pertama dari Madinah pun akhirnya tiba di Makkah Rabu (16/8) malam waktu setempat setelah mereka selama delapan hari melakukan shalat Arbain di Masjid Nabawi. Dan sejak itu Masjidil Haram mulai menggeliat oleh berbagai cerita jamaah haji Indonesia.

Ada jamaah yang harus pulang dari Masjidil Haram dengan telanjang kaki karena sandalnya hilang atau lupa di mana ia meletakkannya. Cerita jamaah tersasar hampir tiap hari ada. Begitu pula jamaah yang terlepas dari rombongan dan akhirnya bingung mencari jalan pulang ke pemondokan.

Dorongan itu yang akhirnya membuat kami memutuskan untuk mengabdikan diri di Masjidil Haram. Kami malam itu akhirnya memutuskan untuk menyisihkan barang satu dua jam waktu kami untuk membantu jamaah haji Indonesia yang tersasar di Masjidil Haram.

Tapi, niat memang selalu diuji. Seusai menunaikan shalat Jumat di Masjidil Haram, kami mendapati tiga kasus jamaah tersasar di pintu Marwah. Kami pun berbagi-bagi tugas. Saya menuju terminal Syib Amir untuk mengantarkan dua jamaah wanita yang tersasar akibat terpisah dari rombongan. Satu wanita muda kira-kira berusia 40-an dan satu lagi kira-kira berusia 60-an lebih.

Keduanya hanya mengenakan kaos kaki. Sandalnya tertinggal di dalam Masjidil Haram. Dengan jarak pintu Marwah ke Syib Amir yang lumayan jauh, berjalan tanpa alas kaki di siang hari bolong sungguh sangat panas sekali.

Beberapa kali saya mencoba memberikan bantuan untuk mengguyurkan kaki si ibu agar tidak kepanasan, berulang kali pula ditolaknya. Mereka hanya ingin segera sampai di pemondokan.

Uniknya, kedua jamaah wanita ini ternyata tidak saling kenal. Si ibu muda mengaku terlepas dari rombongan gara-gara tangannya tiba-tiba dipegang erat oleh si nenek. Tapi, si nenek berkeras memegang tangan si ibu karena dia rombongannya.

Ketika beberapa puluh meter lagi akan sampai di Terminal Syib Amir, kejadian lainnya terjadi. Ada jamaah kakek-kakek asal Indonesia yang mengalami kejang-kejang. Sungguh bingung ketika kita tak terbiasa menghadapi situasi seperti itu. Niat benar-benar diuji saat itu.

Ketika bingung harus melakukan apa, Allah SWT hadir memberikan bantuan lewat seorang perawat dari Turki. Perawat paruh baya itu langsung mengguyurkan air ke sekujur tubuh jamaah kakek-kakek yang rupanya mengalami dehidrasi tersebut.

Beberapa jamaah dari negara lain ikut membantu dengan memberikan air minum perbekalan mereka. Ada juga yang membantu mengipasi si kakek. Alhamdulillah, si kakek akhirnya kesehatannya membaik sebelum akhirnya dibantu petugas kesehatan dilarikan ke Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) di Khalidiyah.

Kami mendapat kabar Jumat itu ternyata ada jamaah haji Indonesia lainnya yang wafat di Syib Amir. Jamaah atas nama Suhaimi bin Kadir Abdillah (62) meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Masjidil Haram ke pemondokan akibat gangguan jantung.

Sehari setelah peristiwa Jumat yang luar biasa itu, PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) Daerah Kerja Makkah memutuskan untuk menempatkan tim kesehatan dan ambulans di wilayah Syib Amir. Alasannya terkait dengan semakin banyaknya jamaah haji Indonesia yang melewati rute Syib Amir tersebut.

Jumlah jamaah haji Indonesia yang memadati kota Makkah kini terus bertambah. Kasus jamaah tersasar atau kasus lainnya pastinya akan bertambah pula. Dan, niat sekali lagi akan kembali diuji. Wallahu a’lam Bish-shawab.

 

Oleh: Didi Purwadi dari Tanah Suci

sumber: Republika Online

Menjaga Stabilitas Niat

Mendapatkan pasangan hidup yang soleh dan anak-anak yang bisa menjadi hiasan mata adalah keinginan setiap orang. Tidak terkecuali seorang lajang yang sedang mencari pendamping, ataupun orang yang telah berkeluarga.

Harapan tersebut akan selalu hadir dalam relung batin seorang Muslim. Rasulullah pun mengajarkan sebuah doa, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Furqaan: 74) 

Bagaimana caranya agar kita mampu merealisasikan harapan tersebut dalam kehidupan? Ada beberapa tahapan yang harus kita lewati. Dan niat adalah tangga awal untuk meraihnya. 

Mengapa niat? Niat adalah landasan awal sebuah perbuatan. Ia berupa aktivitas batin yang unik sehingga selalu menuntut perhatian dan perlakuan istimewa. Secara lebih luas, niat adalah tergeraknya hati menuju apa yang dianggap sesuai dengan tujuan, baik berupa perolehan manfaat atau pencegahan mudarat. Al-Imam Yahya bin Syarifuddin An-Nawawi mengartikan niat sebagai kehendak seseorang kepada perbuatan dalam rangka mencari ridha Allah dan melaksanakan hukum-Nya. 

Dari definisi tersebut, kita bisa melihat urgensi niat dalam satu perbuatan. Keridhaan dan kemurkaan Allah akan sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kita bisa menempatkan faktor niat tersebut dalam tempat yang benar. 

Begitu pula dengan sebuah pernikahan, ia bisa menjadi amal sholeh apabila niatnya lurus untuk mendapatkan ridha Allah, dan bisa menjadi dosa apabila niatnya karena nafsu atau harta. Karena itu, Rasulullah SAW sejak dari awal telah mengingatkan kita tentang hal ini, “Dan setiap orang hanya akan memperoleh berdasarkan niatnya,” (HR. Bukhari Muslim). “Manusia dibangkitkan kembali kelak sesuai dengan niat-niatnya. ” (HR Muslim). 

Ada dua model niat dalam sebuah pernikahan, yaitu niat seseorang yang akan menikah dan niat seseorang yang sudah menikah (berkeluarga). Bagi golongan pertama, niat yang mendasari ia menikah biasanya masih “sederhana”, sehingga mudah untuk diluruskan. Sedangkan niat setelah pernikahan lebih bersifat fluktuatif. 

Dalam pengertian adanya proses naik-turun dari keinginan-keinginan yang timbul berkaitan dengan keberlangsungan berkeluarga. Ada yang ingin terus memelihara niat awal dengan tetap setia pada pasangan. Ada pula yang bertambah niatnya, ingin menikah lagi. Walau kecenderungan kedua ini bisa dilakukan dengan cara yang hasanah maupun dengan cara menzalimi pasangan sebelumnya. 

Seringkali, lemahnya pemahaman dan buruknya pengendalian diri, menyebabkan niat yang lurus pada awal pernikahan, kemudian melenceng jauh. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus selalu kita perhatikan berkaitan dengan masalah niat ini. Pertama, kita harus memahami posisi dan kondisi niat dalam tiga tahapan, yaitu ketika niat itu muncul (diawal), pada waktu proses berjalannya niat (pertengahan), dan ketika niat sudah tertunaikan (diakhir). 

Demikian pentingnya niat ini, sehingga setan akan selalu masuk melalui pintu niat. Ia akan merusak, mengacaukan, dan menjadikan niat kita jatuh ke posisi paling buruk, dalam bentuk riya. Rasulullah SAW menegaskan, “Jika dia pergi berusaha untuk membela anak yatim yang masih kecil-kecil, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia pergi berusaha untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia pergi berusaha untuk membela dirinya agar tetap hidup, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia pergi berusaha karena riya’ dan kesombongan, maka dia berada di jalan setan”. (HR. Thabrani). 

Kehati-hatian dalam melangkah dalam segala tindakan adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan. Saat memilih pasangan, mengkhitbah, ketika melangsungkan pernikahan, hingga setelah pernikahan itu sendiri, mengoreksi niat harus selalu menjadi prioritas. 

Hal kedua adalah menghadirkan doa dalam setiap tahapan niat; mulai dari awal, pertengahan, hingga akhir. Doa dapat mengantisipasi hadirnya penyakit-penyakit yang bisa mengotori kesucian niat. Dan, doa pun mengungkapan kepasrahan hati dan jalan terbaik meraih pertolongan Allah. Semoga Allah senantiasa membimbing niat-niat kita. 

Ini Kata Rasulullah Soal Keutamaan Niat

Masih banyak di antara kita melakukan perbuatan baik, termasuk menjalani rutinitasnya tanpa niat. Padahal, Nabi Muhammad SAW dalam hadis mutawatirnya selalu mengingatkan: Innamal a’mal bi al-niyat (sesungguhnya perbuatan [yang bernilai ibadah] ialah perbuatan yang disertai dengan niat [karena Allah]). Hadis ini menafikan nilai ibadah setiap amal dan perbuatan tanpa niat. Sekalipun yang dilakukan adalah ibadah khusus. 

Sebaliknya, amal perbuatan duniawi yang baik dan dilakukan dengan niat ibadah, maka  akan bernilai ibadah di mata Tuhan. Ulama fikih menganggap sia-sia amal perbuatan tanpa niat. Karena itu, Imam Syafi’i pendiri Mazhab Syafi’i yang banyak dianut di Asia Tenggara dan Mesir mengharuskan adanya niat bagi setiap perbuatan jika dikehendaki sebagai ibadah.

Kalangan ulama kalam (teolog) menganggap niat sebagai faktor yang membedakan antara perbuatan manusia (human creations) dan perbuatan binatang (animal creations). Senada dengan pandangan ulama tasawuf seperti dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi di dalam Fushush al-Hikam-nya, perbuatan yang dilakukan dengan niat suci dan penuh penghayatan adalah perbuatan keilahian (al-af’al al-Haqqani/divine creations). Niat adalah bentuk keterlibatan Tuhan mulai dari kehendak (masyi’ah), kemampuan (istitha’ah), sampai terjadinya perbuatan (kasab).

Semakin terasa keterlibatan Tuhan di dalam sebuah perbuatan maka semakin kuat niat itu. Segala perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan niat, maka semakin berkah pula perbuatan itu. Pada hakikatnya niat adalah konsep matang dan penuh kesadaran dari dalam diri kita tentang suatu perbuatan yang akan kita lakukan. Dalam bahasa manajemen, niat dapat dihubungkan dengan programming atau perencanaan yang baik. Tanpa perencanaan sulit mengharapkan hasil yang baik.

Dalam ilmu manajemen modern, selalu dititikberatkan arti penting sebuah programming karena sebuah pekerjaan tanpa perencanaan yang baik pasti tidak akan menjanjikan output dan outcome lebih baik. Niat adalah the first creation dan implementasinya adalah the second creation. Muslim yang ideal selalu mengerjakan amal perbuatannya dua kali. Sekali dalam niat/program dan sekali dalam actions. Tuhan yang Mahakuasa pun melakukan kehendaknya dua kali. Sekali dalam konsep, yaitu di dalam Al-Lauh al-Mahfudh dan yang kedua dalam bentuk implementasi.

“Bukan gugur selembar daun dari dahannya, melainkan sudah tercatat di Lauh Mahfudh,” kata Nabi. Nabi juga mengingatkan kita: “Takhallaqu bi akhlaq Allah” (Berakhlaklah dengan mencontoh akhlak Allah).

Ketulusan dan kesucian sebuah niat melahirkan energi positif yang dahsyat. Seseorang yang bekerja dengan niat ikhlas tidak akan pernah merasa lelah, kecewa, dan frustrasi. Bahkan, menjalani kematian pun ia akan tersenyum.

Niat yang baik akan melahirkan mental hard worker dan good performance, yang merupakan prasyarat masyarakat profesional. Niat yang baik tentunya menjanjikan output dan outcame yang lebih baik dan besar. Ini perintah agama dan ini juga tuntutan hidup sebagai seorang Muslim.

Para ahli motivasi dan ahli manajemen meyakini bahwa orang yang memiliki niat luhur dan baik akan mengadopsi kekuatan dalam (inner power) yang bekerja luar biasa di dalam dirinya. Seberat apa pun tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang dipikulnya akan dirasakan lebih mudah. Sebaliknya, tanpa niat ikhlas akan menyedot energinya sendiri. Bahkan, yang bersangkutan juga akan mengalirkan fibrasi negatif ke lingkungan sekitarnya sehingga orang lain juga merasa tersedot dengan energi negatif itu.

Di sinilah perlunya niat yang baik dan benar agar perbuatan kita mempunyai dampak spiritual lebih utama (insan kamil). Tingkatan efek spiritual inilah yang membedakan antara perbuatan manusia dan perbuatan binatang (hayawanat) dan karakter tumbuh-tumbuhan (nabatat). Kita perlu mengingatkan pada diri kita agar selalu tersambung (connected littishal) dengan Tuhan dalam melakukan setiap pekerjaan kita. Hanya dengan demikianlah seorang hamba bisa meraih martabat utama. 

Oleh: Nasarudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal

sumber: Republika Online

Jangan Pernah Remehkan Niat

APA program Anda di weekend ini dan apakah makna weekend bagi Anda dan keluarga Anda? Jawabannya bisa jadi berbeda-beda dan kita harus menghormati keberbedaan jawaban-jawaban itu.

Secara umum, weekend diterjemahkan sebagai saat rehat dari rutinitas, relaks dari kepenatan dan santai dari keruwetan. Karena itulah maka kegiatan yang “tidak biasa” biasanya menjadi pilihan; wisata ke luar kota bagi yang selalu sibuk di dalam kota, berbelanja bagi yang jarang belanja sendiri, dan tidur sepanjang hari bagi mereka yang sehari-harinya jarang tidur.

Ada yang menerjemahkan weekend sebagai jalan-jalan ke mana saja, tanpa tujuan dan tanpa kejelasan, yang penting jalan. Menurut para peneliti, para penerjemah weekend yang seperti ini biasanya sulit menemukan bahagia dan gampang bertemu derita. Kok bisa? Karena dalam kebiasaannya, mayoritas bahagia itu adalah digapai karena niat, tujuan dan rencana. Jangan pernah remehkan niat, tujuan dan rencana hanya karena ingin tampil sepertinya kita adalah orang yang paling pasrah.

Pasrah itu ada yang positif dan ada yang negatif, tergantung nuansa hati, alasan kepasrahan dan potensi diri yang dimiliki. Nah, saatnya kita membaca diri kita sendiri sebagai bagian dari aktifitas weekend kita. Bukankah rutinitas kita selama ini adalah membaca orang lain atau urusan-urusan lain?

Lepaskan urusan rutinitas dalam acara weekend kita. Tenangkan dan bahagiakan hati di weekend ini karena hari-hari kerja kita telah dipenuhi dengan kegiatan yang menganaktirikan ketenangan dan kebahagiaan dengan menganakemaskan kemenangan dan kekuasaan.

Pondok Pesantren Alif Laam Miim secara rutin melaksanakan acara “Pondok Weekend” bagi mereka yang berkehendak mengisi acara weekendnya dengan mengaji dan mengkaji ajaran agama, kisah teladan, dan tips Islam dalam menjalani hidup yang senantiasa penuh tantangan dan hambatan. Salam, AIM@PonpesKota.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2287017/jangan-pernah-remehkan-niat#sthash.O7qjencr.dpuf

Tanamkan Niatmu dengan Ikhlas

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Ada seorang arab Badui datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka ia pun beriman kepada Nabi dan mengikuti Nabi. Setelah itu, berkata kepada Nabi, “Aku akan berhijrah bersamamu.” Maka Nabi pun meminta sebagian sahabat untuk memperhatikan orang ini.

Tatkala terjadi peperangan, Nabi memperoleh ghanimah (rampasan perang) maka Nabi pun membagi-bagikan ghanimah tersebut. Nabi juga membagikannya kepada orang tadi. Nabi menyerahkan bagian ghanimah orang ini kepada para sahabat agar dapat diberikan kepada orang tersebut. Tugas orang tersebut adalah menjaga bagian belakang pasukan.

Tatkala lelaki tersebut datang maka para sahabat pun menyerahkan bagian ghanimahnya kepadanya. Ia pun berkata, “Apa ini?” Mereka berkata, “Ini adalah bagianmu yang dibagikan NabiShallallahu Alaihi wa Sallam untukmu.” Ia mengambilnya lalu menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, “Apa ini?” Nabi menjawab, “Aku memberikannya untukmu.”

Lelaki itu berkata, “Aku tidak mengikutimu untuk memperoleh ini, akan tetapi aku mengikutimu supaya dipanah dengan anak panah di sini (seraya mengisyaratkan ke lehernya) lalu aku mati dan masuk surga.”

Nabi pun bersabda, Jika niatmu benar maka Allah akan mengabulkannya. Tidak lama kemudian para sahabat bangkit dan maju ke medan perang melawan musuh.

Setelah perang berakhir jasa orang tersebut dibawa kepada Nabi dalam kondisi lehernya ditembus oleh anak panah.

Nabi berujar, Apakah ini adalah mayat orang itu? Para sahabat menjawab berkata, “Benar.” Nabi bersabda, “Niatnya benar maka Allah mengabulkan (keinginannya).”

Setelah itu, Nabi mengafani jasadnya ini dengan jubah beliau, lalu meletakkan mayatnya di depan, lalu menyalatkannya. Diantara doa Nabi tatkala menyalatkan orang ini adalah, “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu telah keluar berhijrah di jalan-Mu, lalu ia pun mati syahid dan aku bersaksi atas hal ini.” (HR. An-Nasa`i nomor 1952, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib nomor 1336)

Tanamkan niat dalam hati

Keinginan adalah bagian kewajaran dalam hidup, ketika seorang manusia terkadang ingin memperoleh sesuatu yang terbaik dalam hidupnya. Terlebih bagi hamba yang beriman, maka keinginan mereka dipenuhi oleh cita dan asa yang bernuansa ibadah, supaya mereka mampu menggengam keridhaan Allah dalan ayunan langkah kaki hidupnya.

Tapi, manusia hanyalah makhluk yang begitu lemah plus penuh kekurangan, sehingga tak ada satu pun keinginannya dapat terwujud kecuali jika ia diberikan pertolongan oleh Allah dalam meraih yang ia inginkan. Sebab, perotlongan hanya Allah yang menentukan segala hal dalam hidup.

Pertolongan Allah ibarat air yang menumbuhkan benih menjadi tanaman indah lagi ranum buahnya. Sesubur apapun tanah yang menyimpan benih tanpa kucuran air, maka benih pun akan menjadi layu dan mati sebelum tumbuh di atas tanah.

Hal ini pun sama dengan keinginan hati. Itu akan hanya menjadi keinginan tanpa wujud apabila disertai oleh pertolongan Allah.

Oleh karenanya, maka arab Badui dalam riwayat di atas memberikan faidah ilmu, bahwa keinginan hati haruslah ditanamkan dengan kuat dan berakar kokoh di dalam hati ketika seseorang sudah menetapkan asa dan cita kebaikan. Jangan mudah untuk berpaling dari asa kebaikan ketika sudah ditanam dalam hati, karena menanamkan keinginan di dalam hati dengan kuat akan melahirkan ikhtiar dan usaha tanpa henti untuk memperolehnya.

Sama dengan diri seseorang yang bercita cita mati syahid, maka angan mati syahid hadir di pelupuk matanya. Tak tergoyah oleh apapun, hingga mendapatkan apa yang ia citakan yaitu mati syahid di ujung kehidupan.

Benarkan dalam hati dengan ikhlas

Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “JIka benar niatmu maka Allah yang akan menyampaikan niatmu.” Jawaban Rasul kepada badui itu juga memberikan faidah yang bagus dan agung, bahwa setelah kita menanamkan niat kebaikan, maka dengan meluruskan niat kita akan menjadi sebab datangnya pertolongan Allah untuk merealisasikan setiap keinginan yang dimiliki hamba yang beriman.

Tak ada yang mustahil dalam mewujudkan setiap keinginan bagi orang yang yakin dengan niat yang ia miliki apabila sang Rahman sudah berkehendak. Sebab, tak ada yang mampu menghalangi apapun dari kehendak Allah.

Inilah yang menjadi penjelasan bahwa ada manusia-manusia lemah secara ekonomi tapi ternyata ia menjadi tamu Allah dalam haji dan umrah, jauh lebih dahulu dari pada yang berkelapangan harta tapi tak kunjung menjadi tamunya Allah. Itu semua karena ternyata si fakir selalu menanamkan niat dalam hatinya untuk berhaji dan ia ikhlaskan niat itu untuk Allah hingga ia diampuni.

Inilah pula yang menjadi keterangan dari orang yang hanya tamat Madrasah Aliyah, tapi membangun pondok pesantren dengan ratusan santri shalih yang tak jemu belajar ilmu, mengalahkan doktor yang terkadang memiliki keinginan untuk membangunnya tapi tak kunjung terwujud.

Inilah pula yang terkadang menjadikan seorang ikhwan (saudara-red) biasa dengan kesibukan kerja tapi punya asa menghafalkan Al-Quran dan ia pun hafal dengan baik, padahal banyak tamatan pondok pesantren yang tak kunjung hafal Al-Quran.

Mereka memiliki satu kesamaan, bahwa keinginan yang mereka miliki ditanamkan dengan kuat didalam hati, dibungkus keikhlasan hingga Allah mewujudkan keinginan mereka semua.

Mati syahid, haji, umrah, menghafal Al-Quran, menikah dengan niat ibadah dengan hamba yang shalih dan shalihah serta lainnya adalah keinginan yang pantas untuk ditanamkan dalam hati, lalu diiringi dengan kejujuran tindakan, hingga Allah yang kelak mewujudkan semuanya.

Barakallah fikum

Ustadz Oemar Mita, Lc

 

sumber: Fimadani