Yuk, Perbaiki Niat!

KARANGAN Syekh Nawawi merupakan salah satu kitab yang cukup masyhur bagi umat Islam Indonesia. hadis pertama yang disebutkan dalam kitab Arba’in Nawawi adalah membahas tentang niat.

Betapa agungnya kedudukan hadis ini, hal ini mengindikasikan bahwa pentingnya niat, tidak berlebihan jika Imam Ahmad dan Imam Syafii mengatakan bahwa hadits niat ini mencakup sepertiga ilmu.

Kalau ada orang yang bekerja dengan sesuka hatinya, orang menganggap “kerjo kok ga niat“. Ada orang yang berniat tapi tidak ada action. ia bilang “yang penting niat dulu“.

Kedua pemahaman tentang niat ini sering kita dengar. Niat bukanlah hanya sekadar keinginan yang terlintas dalam hati tetapi niat adalah keinginan yang harus menjadi ketetapan hati dan aksi. Niat walaupun kedudukannya cuma tekad dan perancangan.

Tetapi sebagai dasar dan pilar tindakan seorang muslim. Niat juga menjadi pembeda apakah suatu perbuatan termasuk ibadah atau hanya sekedar urusan dunia.

Dalam urusan ibadah, niat adalah syarat sah. Oleh karena itu, pemahaman tentang niat sangatlah penting untuk diketahui setiap muslim, agar bisa melaksanakan ibadah dengan benar sesuai ketentuan syariat Islam. Niat adalah ruh dalam amal.

Suatu pekerjaan akan dicatat sebagai amal saleh, buruk atau sia-sia tergantung pada niatnya. Makanya niatkan urusan dunia semata-mata karena Allah. Dan hasilnya akan meluas kemana-mana.

Bekerja harus berniat untuk ibadah karena Allah. Seorang mukmin yang dalam bekerja berniat semata-mata karena Allah, mencari pahala dan sarana mendatangkan rezeki dari Allah akan hidup jauh lebih berkah, bahagia, dan tenang.

Daripada niatnya cuma sekadar biar sejahtera, sebagai identitas diri, apalagai sekedar relasi. Niat memegang peranan penting dalam melakukan amal, mari luruskan niat, dalam setiap aktivitasnya, orientasikan niat itu kepada Allah SWT. Sebab hanya Allah yang sebaik-baiknya pemberi balasan kebaikan dari setiap amal yang dikerjakan manusia.

Penyimpangan niat adalah ketika niat ibadah tapi terselipnya pernak-pernik duniawi. Atau urusan biasa tanpa niat ibadah, maka sebatas itulah hasilnya dari apa yang ia niatkan.

Saat seseorang ingin menikah, hendaklah meluruskan niat terlebih dahulu, berniatlah menikah dalam rangka untuk beribadah kepada Allah SWT, berniatlah menikah dengan tujuan agar semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Bukan karena semata-mata pilihan orang tua, atau ikut tren nikah muda, atau karena menikah dengannya akan hidup sejahtera. Terlalu sempit niatnya dan terlalu sederhana.

Di era modern ini banyak sekali penghafal Al-Qur’an yang menghafal, tetapi gelagat dan adabnya tidak mencerminkan orang yang sangat mencintai Qur’an.

Apakah ada kesalahan niat ketika menghafal Al-Qur’an? apakah ketika seorang yang berbuat amal kebaikan bisa ada penyimpangan tanpa sadar? []

Oleh: Mia Fitriah Elkarimah
el.karimah@gmail.com

ISLAMPOS

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Bagaimana hukum menggabungkan niat akikah dan kurban? Apakah boleh menggabungkan dua niat itu? Atau tidak boleh bergabung antara akikah dan kurban?

Jawaban persoalan ini ada dua hukum. Seperti dikutip dari Mubadalah.id,  jika merujuk pada ilmu fiqh tentang hukum menggabungkan niat akikah dan kurban, maka hukumnya terbagi menjadi dua, tidak boleh dan boleh.

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Ketidak bolehan menggabungkan niat akikah dan kurban itu merujuk pada ulama fiqh, Imam Ibnu Hajar Alhaitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj yang mengatakan bahwa niat kurban dan akikah tidak boleh bergabung dalam satu amalan saja.

Hal ini, menurut dia, karena meski jenis dan praktik keduanya sama, yaitu sama-sama menyembelih hewan, namun tujuan keduanya berbeda.

Kurban bertujuan untuk mensyukuri nikmat hidup, sementara akikah untuk mensyukuri kelahiran anak. Jika keduanya bergabung, maka hanya mendapat pahala salah satunya saja.

وظاهر كلام الاصحاب انه لو نوى بشاة الاضحية والعقيقة لم تحصل واحدة منهما وهو ظاهر لان كلا منهما سنة مقصودة

Artinya : Perkataan yang jelas dari Ashab (ulama Syafiiyah), bahwa jika seseorang menyembelih satu ekor kambing dengan niat kurban dan akikah, maka pahala salah satunya tidak berpahala. Hal ini sudah jelas karena keduanya sama-sama ada tuntutan untuk melakukannya.

Pendapat Boleh Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Sedangkan ulama fiqh yang menyebutkan kebolehan menyatukan niat akikah dan kurban itu seperti terungkapkan oleh Imam Hasan Al Basri.

Dia menyebutkan bahwa kurban dan akikah boleh gabung  dengan hanya menyembelih satu ekor hewan saja.

Dengan demikian, orang yang belum akikah kemudian dia berkurban, maka kurbannya tersebut sudah cukup.  Artinya, tanpa perlu melakukan akikah di kemudian hari.

Imam Hasan Al Basri juga menjelaskan kebolehan itu berdasarkan karena kurban dan akikah memiliki kesamaan jenis dan tujuan, yaitu menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Sehingga niat keduanya bisa bergabung dan bersatu dalam satu amalan ibadah saja.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab Almushannaf sebagai berikut;

عن الحسن قال: اذا ضحوا عن الغلام فقد اجزأت عنه عن العقيقة

Artinya : Dari Imam Hasan Albasri, dia berkata; Jika mereka berkurban untuk anaknya, maka kurbannya tersebut sudah cukup tanpa perlu mengakikahi lagi.

Dari uraian di atas, maka dapat tersimpulakn, jika mengikuti pendapat Imam Hasan Albasri, maka kurban dan akikah boleh bergabung dengan hanya menyembelih satu ekor hewan, serta mendapatkan dua pahala sekaligus.

Sementara itu, menurut Imam Ibnu Hajar Alhaitami, jika keduanya bersatu (gabung)  maka hanya mendapat pahala salah satunya. 

Tulisan ini telah diterbitkan di Mudalah.id

BINCANG SYARIAH

Niat, Salah Satu Syarat Sahnya Puasa Ramadhan

Sebagian besar ulama madzhab empat sepakat niat merupakan salah satu syarat sahnya puasa Ramadhan. Adapun apakah niatnya dibaca atau cukup di dalam hati, ini masuk ranah khilaf

SEBAGIAN umat Islam akan memulai puasa Ramadhan (sebagaian sudah berpuasa). Salah satu hal patut diketahui adalah syarat sahnya puasa Ramadhan ada empat, salah satunya adalah niat berpuasa.

Syarat Sah Puasa Ramadhan

Syarat bagi orang yang hendak melakukan ibadah shiyam (puasa) Ramadhan agar  puasanya sah ada 3:

  • Muslim, adalah orang yang setidak-tidaknya dengan sadar telah mengucapkan syahadatain (dua kalimah syahadat).
  • Baligh (dewasa menurut syara’), bagi laki-laki telah bermimpi basah sehingga mengeluarkan mani (sperma) atau yang telah berumur lima belas tahun. Adapun bagi wanita sudah mengalami haid atau telah berumur sepuluh tahun.
  • Berakal sehat, apabila seseorang tidak mengidap penyakit syaraf, gila, idiot dan sejenisnya.

Niat masuk rukun puasa Ramadhan

Seseorang yang tengah melakukan ibadah shiyam (puasa) wajib melaksanakan rukun shiyam (puasa) agar puasanya diterima Alah. Adapun rukun shiyam (puasa) adalah sebagai berikut:

  • Niat
  • Shiyam (puasa)
  • Futhur (berbuka puasa).

Niat merupakan hal yang sangat mendasar dalam setiap ibadah, termasuk dalam puasa. Seluruh ulama sepakat, tanpa niat puasa Ramadhan, puasa Ramadhan menjadi tidak sah.

Terdapat banyak riwayat hadis yang menjelaskan bahwa niat menjadi syarat sah atau kewajiban niat puasa Ramadhan. Di antaranya hadis riwayat Imam Abu Dawud, Imam Al-Tirmidzi, Al-Nasai dan Ibnu Majah dari Sayidah Hafshah, dia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda;

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mazhab kami –maksdunya Syafiiyyah- bahwa dia tidak sah –maksudnya puasa Ramadhan- kecuali dengan berniat di waktu malam. Dan ini pendapat Malik, Ahmad, Ishaq, Dawud dan mayoritas ulama salaf dan kholaf.” (dari ‘Al-Majmu, 6/318).

Syaikh Wahbah Al-Zuhail dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, menyebutkan bahwa syarat niat puasa Ramadhan ada empat;

Pertama, niat puasa Ramadhan harus dilakukan di waktu malam, dimulai sejak waktu Maghrib tiba hingga waktu Shubuh. Kedua, ta’yinun niah atau menentukan jenis puasa yang hendak dilakukan, sebagaimana wajib menentukan jenis shalat dalam niat ketika mengerjakan shalat wajib.

Dalam puasa Ramadhan, ketika kita melakukan niat, maka kita wajib menyebut ‘Ramadhan’ dalam niat. Misalnya, nawaitu shauma ghadin min romadhan (saya niat puasa besok dari bulan Ramadhan).

Ketiga, memutlakkan niat hanya untuk puasa Ramadhan saja, bukan untuk puasa yang lain. Keempat, harus melakukan niat setiap malam selama bulan Ramadhan. Hal ini karena setiap hari selama bulan Ramadhan merupakan ibadah mustaqillah (independen), tidak dapat dikaitkan dengan hari sebelumnya atau setelahnya. Karena itu, menggabungkan niat hanya di awal malam hari pertama bulan Ramadhan untuk seluruh puasa selama satu bulan dinilai tidak cukup.

Sementara itu, dalam kitab Hasyiyah Bājūrī Imam Ibrāhim Bājūrī mengatakan paling minimalnya niat puasa itu sebagai berikut.

“نويت صوم رمضان”.

Nawaitu shouma rhomadhona

Artinya: “Saya berniat puasa Ramadhan.” (Hasyiyah Bājūrī: 1/633).

Lalu dalam Fathul Qarīb Syarah Ghāyah wa Taqrīb  Imam Ibnu Qasim menerangkan tentang niat puasa Ramadhan secara lengkap.

نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

“Saya berniat puasa besok, yang mana ia (merupakan bagian) dari kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah ta’ala.” (Fathul Qarīb: 194).

Adapun Imam Baramāwi yang dikutip dalam I’ānah Thõlibīn, ia menganjurkan untuk membaca beberapa kalimat pengganti lafadz “lillahi ta’ala”.

وقوله : (لله تعالى) : ويسن أن يقول إيمانا واحتسابا لوجه الله الكريم

“Dan pada lafadz ‘lillahi ta’ala’ disunnahkan untuk mengucapakan ucapan ‘imānan wa ihtisāban li wajhillāhi al-karīm’.”  (I’ānah Thõlibīn: 2/1228).

Apakah niat wajib dilafalkan?

Dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, Prof Dr Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa menurut istilah syara’, niat adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain. Para ulama berbeda pendapat soal pelafalan niat.

Sebagian besar ulama dari madzhab empat sepakat bahwasannya melafalkan niat puasa bukan merupakan syarat sah atau bukan hal wajib. Adapun Madzhab Hanafi dan Madzab Syafi`i serta pendapat madzhab dalam Hambali menyatakan mustahab dan sunnah.

Sedangkan Madzhab Maliki menyatakan makruh (tidak haram). Adapun sebagian ulama madzhab Hanbali seperti Ibnu Taimiyah menyatakan bahwasannya hal itu bi’dah.

Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah termasuk kelompok yang tidak mewajibkan. Beliau mengatakan;

كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ سَوَاءٌ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ . وَهَذَا فِعْلُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلُّهُمْ يَنْوِي الصِّيَامَ

“Setiap orang yang tahu bahwa esok hari adalah Ramadhan dan dia ingin berpuasa, maka secara otomatis dia telah berniat berpuasa. Baik dia lafalkan niatnya maupun tidak ia ucapkan. Ini adalah perbuatan kaum muslimin secara umum; setiap muslim berniat untuk berpuasa.” (dalam Majmu’ Fatawa, 6:79).

Sementara bagi sebagian ulama lain, syarat melafalkan niat, untuk membantu hati memperjelas niat. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Fathul Mu’īn oleh Imam Imam Zainuddin Al-Malībārī.

وفرضه، أي: الصوم: النية بالقلب، ولا يشترط التلفظ بها بل يندب.

“Kewajiban puasa salah satunya adalah niat dalam hati. Tidak disyaratkan untuk diucapkan. Akan tetapi dianjurkan.” (Fathul Mu’īn: 261).

Lalu Imam Sayyid Bakri dalam I’ānah Thõlibīn menambahkan alasan dianjurkannya melafalkan niat.

وقوله: (بل يندب) أي: التلفظ بها ليساعد اللسان القلب.

“Pengucapan niat itu (dianjurkan) agar lisan dapat membantu hati.” (I’ānah Thõlibīn: 2/1217).

Dalam Madzhab Syafi’i (termasuk mayoritas umat Islam di Indonesia), lafadz niat puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ الشَّهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Nawaitu shouma ghodin ‘an adaa-i fardhisy syahri romadhooni hadzihis sanati lillaahi ta’aala

“Artinya: Aku niat puasa pada hari esok untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.”

Jika demikian, memanglah masalah melafalkan niat merupakan masalah ranah perbedaan pendapat antar ulama sejak dulu. Dalam menyikapi perkara seperti ini maka berlaku kaidah yang disebutkan Imam As Suyuthi dalam Al-Asybah wa An Nadzair (hal. 158):

((لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ))

Artinya: Tidak diinkari perkara yang diperselisihkan padanya, dan sesungguhnya yang diinkari perkara yang ada kesepakatan atasnya (yakni perkara yang disepakati untuk dilarang). Silahkan umat Islam memilih yang mana. Wallahu a`lam bish shawwab.*

HIDAYATULLAH

Faedah Penting Menata Niat

Salah satu syarat mutlak diterimanya amal seorang hamba adalah benarnya niat, yaitu ikhlas hanya untuk Allah. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan tertolak. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketatan hanya kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.“  (QS. Al Bayyinah: 5)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

 إنَّ اللهَ لا يقبلُ من العملِ إلَّا ما كان خالصًا وابتُغي به وجهُه

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, kecuali yang ikhlas mengharap wajah-Nya.“ (HR An-Nasa’i, shahih)

Niat yang benar, yaitu ikhlas kepada Allah, juga akan membuahkan banyak faedah lain yang luar biasa. Dengan menata niat yang ada di hati, seseorang bisa berpeluang mendapat banyak kebaikan dan pahala dari setiap aktifitasnya. Dengan niat yang benar, seseorang bisa mendapat pahala meskipun belum mampu mengamalkan suatu amal. Dengan niat yang benar pula, aktifitas yang mubah dan adat kebiasaan bisa menjadi bernilai ibadah. Inilah pentingnya menata niat agar seorang hamba berkesempatan mendapatkan banyak kebaikan. Oleh karena itu, hendaknya kita pintar dan jeli serta perhatian terhadap perkara hati yang satu ini.

Mendapat Pahala, Meskipun Belum Mampu Mengamalkan

Dengan niat yang ikhlas, seorang hamba bisa mendapatkan pahala suatu amal meskipun dia belum mampu mengamalkannya. Bahkan seseorang bisa mendapat predikat syuhada dan mujahid meskipun dia meninggal di atas kasurnya. Allah Ta’ala menjelaskan tentang sifat orang yang tidak mampu untuk berjihad bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam firman-Nya,

وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّواْ وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَناً أَلاَّ يَجِدُواْ مَا يُنفِقُونَ

Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.’ Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.“ (QS. At Taubah: 92)

Demikian pula, disebutkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَقْوَامَاً خلْفَنَا بالمدِينةِ مَا سَلَكْنَا شِعْباً وَلاَ وَادِياً إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا، حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ

Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di kota Madinah. Mereka tiada menempuh suatu lereng ataupun lembah seperti kita, namun mereka itu bersama-sama dengan kita. Mereka terhalang (untuk berangkat berperang), karena suatu uzur.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِلاَّ شَركُوكُمْ في الأَجْر

kecuali mereka mendapat pahala sebagaimana kalian.“ (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Siapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan jujur dalam hatinya, maka Allah akan sampaikan dia pada kedudukan orang-orang yang mati syahid meskipun dia meninggal di atas ranjangnya.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerangkan bahwa seorang yang fakir bisa memperoleh pahala layaknya orang kaya yang sedekah meskipun dia tidak mampu untuk melakukannya. Hal itu akan didapatkan jika niatnya benar. Dari Abu Kabsyah Al-Anmaary radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَمَثَلِ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ …وَسَلَّمَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ

Permisalan umat ini bagaikan empat orang. Seseorang yang diberikan oleh Allah berupa harta dan ilmu, kemudian dia membelanjakan hartanya sesuai dengan ilmunya, dia menginfakkannya kepada yang berhak. Ada pula seseorang yang diberi oleh Allah berupa ilmu namun tidak diberikan harta. Dia berkata, ‘Seandainya saya memiliki seperti yang dimiliki orang ini (orang yang pertama), niscaya saya akan berbuat seperti yang ia perbuat.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Maka dalam urusan pahala, mereka berdua sama …’ “ (HR. Ibnu Majah, shahih)

Baca Juga: Hukum Talak dengan Sekedar Niat

Namun, ada perkara penting yang harus diketahui. Bahwasanya seseorang terkadang dia tidak mampu mengamalkan sesuatu, namun dia berangan-angan akan megamalkannya dan dia menyangka bahwa dirinya akan mendapat pahala dengan angan-angannya tesebut. Dia beranggapan bahwa itu merupakan niat yang benar. Maka ketahuilah, yang demikian ini hakikatnya merupakan angan-angan dirinya sendiri  yang dusta dan merupakan bisikan setan. Kita dapati ada orang duduk di rumahnya, tidur di atas pembaringannya, dia tidak pergi ke masjid dan hanya mengatakan, “Aku senang untuk pergi ke masjid.“  Namun, dia menyangka dengan ucapannya tersebut akan mendapatkan pahala salat jemaah di masjid. Yang seperti ini bukanlah yang dimaksud dalam pembahasan ini dan tidak termasuk seperti orang yang disebutkan dalam hadis di atas. Benarnya niat harus disertai dengan kejujuran dan ketulusan dalam hati, bukan hanya sekadar angan-angan saja.

Perkara Mubah dan Adat Kebiasaan Bisa Menjadi Bernilai Ibadah

Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan niat ikhlas untuk mencari wajah Allah, melainkan Engkau akan diberi pahala karenanya, sampai-sampai apa yang Engkau berikan ke mulut isterimu (juga akan diberi pahala oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini merupakan perkara agung yang merupakan pintu terbukanya banyak kebaikan. Apabila seorang muslim mampu melakukannya, dia akan medapat kebaikan yang besar dan pahala yang banyak. Seandainya kita maksudkan dalam aktifitas kebiasaan yang kita lakukan dan perkara mubah yang kita lakukan semuanya kita kerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka niscaya akan mendapat kebaikan yang besar dan pahala yang melimpah.

Zabiid Al-Yaamy rahimahullah berkata, “Sesunggunhnya aku suka menghadirkan niat dalam setiap kondisi apa pun, temasuk ketika makan dan minum.

Kita ambil contoh perbuatan yang sering kita lakukan. Mudah-mudahan kita bisa mendapat faedah pahala darinya dalam aktifitas kehidupan sehari-hari.

Banyak orang suka memakai parfum. Seandainya dia maksudkan memakai parfum sebelum pergi ke masjid untuk memuliakan rumah Allah serta agar tidak mengganggu orang yang ada di masjid dengan bau yang tidak sedap, maka dia akan mendapat pahala kebaikan.

Setiap kita pasti butuh makan dan minum. Barangsiapa yang mempunyai niat ketika sedang makan dan minum untuk menguatkan fisik dalam melakukan beribadah, maka dia akan mendapat pahala.

Mayoritas manusia butuh menikah. Apabila dia niatkan ketika menikah untuk menjaga harga dirinya dan istrinya, serta ingin mendapatkan keturunan yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, maka niscaya akan ditetapkan pahala untuknya.

Para mahasiswa hendaknya juga senantiasa memperbagus niat ketika belajar, agar ilmunya bisa memberikan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.

Dokter hendaknya meniatkan ketika bekerja untuk membantu mengobati kaum muslimin yang sakit.

Begitu pula dengan para pekerja dan yang lainnya. Setiap orang hendaknya meniatkan untuk memberi manfaat bagi Islam dan kaum muslimin sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Dan ini berlaku untuk seluruh aktifitas. Setiap orang pasti melakukan aktifitas kerja, memberi nafkah untuk keluarganya, tidur, dan berbagai aktifitas lainnya. Maka, jangan remehkan untuk berusaha mencari pahala dari setiap perkara mubah tersebut dan menghadirkan niat ikhlas di dalamnya. Itu semua akan menjadi sebab keberuntungan dan keselamatan di hari akhirat nanti.

Hal ini bisa kita terapkan dalam setiap aktifitas apapun yang kita lakukan. Inilah di antara faedah pentingnya menata niat yang akan menghasilkan buah manis berupa kebaikan dan pahala di sisi Allah Ta’ala.  Semoga bermafaat.

***

Penulis: Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/72504-faidah-penting-menata-niat.html

Bisa Batal Puasa Karena Niat?

Ada dua macam niat yang berkaitan erat dengan pembatal puasa:

– Niat yang kuat (al-‘azmu)

– Niat yang ragu (At-taroddud fin niyyah)

Jika seseorang berniat kuat untuk membatalkan puasa, maka puasa tersebut bisa batal. Misalnya, seseorang berniat kuat ingin makan di siang hari bulan Ramadhan. Akan tetapi, dia tidak menemukan makanan. Dalam kondisi semacam ini, puasanya telah batal. Dia wajib mengganti puasa di hari lain. Pendapat fikih ini dipegang oleh Mazhab Maliki dan Hambali. Berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i (Badaai’as-Shonaa-i’ 2/92, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/528, Al-Majmu’ 6/313, Kassyaf Al-Qona’ 2/316, sumber: Islamqa).

Dasarnya adalah hadis dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: «إِنَّهُ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ

“Jika dua orang muslim bertengkar dengan pedang mereka, maka pembunuh dan yang terbunuh masuk neraka.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kalau pembunuh, wajar jika masuk neraka. Namun bagaimana dengan yang terbunuh, (mengapa) juga masuk neraka?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena yang terbunuh juga ingin membunuh lawannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun jika niatnya masih di tahap ragu-ragu (apakah ingin diwujudkan ataukah tidak), ada beberapa pendapat ulama tentang batal tidaknya puasa. Ringkasnya, pendapat yang kuat adalah tidak batal. Karena alasan-alasan di bawah ini:

Pertama, kaidah fikih,

اليقين لا يزول بالشك

“Sesuatu yang yakin tidak bisa dibatalkan dengan keraguan.”

Saat memulai puasa, dia masuk ke dalam ibadah puasa dengan niat yang yakin untuk menjalankan ibadah puasa. Lalu di tengah jalan, datanglah niat yang masih ragu-ragu tersebut. Maka niat yang yakin tersebut, tidak bisa dibatalkan oleh keraguan.

Kedua, selama ada keraguan, maka niat seseorang tidak sah. Padahal amal perbuatan itu tergantung niatnya. Sehingga niat membatalkan puasa, selama masih di tahap ragu-ragu, maka tidak sah (tidak bisa) membatalkan puasa.

Ketiga, hadis-hadis tentang pemaafan Allah atas kesalahan yang diucapkan oleh jiwa selama tidak diucapkan lisan atau dilaksanakan.

Di antaranya seperti hadis,

إن الله تجاوز لأمتي عما وسوست أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku atas dosa dari bisikan jiwa, selagi belum dilakukan atau belum diucapkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadis ini,

الخواطر وحديث النفس إذا لم يستقر ويستمر عليه صاحبه فمعفو عنه باتفاق العلماء؛ لأنه لا اختيار له في وقوعه ولا طريق له إلى الانفكاك عنه

“Dosa yang terlintas di pikiran dan bisikan jiwa, jika tidak menetap di dalam hati atau tidak diiyakan oleh seseorang, maka dosa itu diampuni Allah. Seluruh ulama sepakat akan hal ini. Karena dosa seperti itu tidak di bawah kendali seseorang dan tidak mungkin seseorang bisa terhindar darinya.”

(Lihat Al-Adzkar, 1/ 415, terbitan: Maktabah Nuzul Al-Musthofa – Makkah & Riyadh. Cetakan ke 1, Th. 1417 H / 1997 M)

Wallahu a’lam bis showab.

***

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : Muslim.or.id

Tiga Macam Niat dalam Beramal

NIAT seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlas, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133) []

INILAH MOZAIK

Bersihkan Amal dan Niat!

DALAM pelajaran sirah nabawiyah kali ini, kita kaji tafsir surah Al-Mudattsir yang merupakan wahyu kedua yang turun kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Allah Taala berfirman,

Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah. (QS. Al-Mudattsir: 1-7)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam Diperintah untuk Membersihkan Amalan dari Berbagai Noda Perusak

Dan pakaianmu bersihkanlah!, yang dimaksud pakaian di sini ada dua makna yaitu (1) amalan seluruhnya; (2) pakaian yang sudah makruf.

Sedangkan pembersihan juga di sini ada dua makna yaitu (1) membersihkan amal dari kebatilan-kebatilan dan berbagai perusak seperti syirik, riya, kemunafikan, ujub, takabbur (sombong), ghaflah (lalai), dan penyakit lain yang diperintahkan untuk dijauhi dalam ibadah; (2) membersihkan dari berbagai najis pada pakaian, berlaku setiap waktu lebih-lebih saat akan shalat. Ingat bahwa membersihkan najis pada pakaian merupakan syarat shalat menurut kebanyakan ulama.

Syaikh Musthafa Al-Adawi mengungkapkan beberapa pendapat mengenai tafsiran ayat ini:
– Membersihkan diri dari berbagai maksiat.
– Membersihkan pakaian dari najis.
– Membersihkan diri dari pekerjaan yang khabits (kotor).
– Perintah untuk memperbaiki amalan.
– Perintah untuk memperbaiki hati dan niat.

Said bin Jubair mengungkapkan dengan membersihkan hati dan niat. Muhammad bin Kaad Al-Qarzhi, juga Al-Hasan Al-Bashri memaksudkan ayat ini dengan mengatakan, Perbaikilah akhlakmu. (Lihat At-Tashil li Tawil At-Tanzil Tafsir Juzu Tabarak, hlm. 323)

INILAH MOZAIK

Salah Niat, Allah Jadikan Dia Tak Merasa Cukup

SEBENARNYA jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah dan ikhlas kepada-Nya niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan saja. Ingatlah ini!

Semoga sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua, “Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)

Marilah saudaraku-, kita ikhlaskan selalu niat kita ketika kita beramal. Murnikanlah semua amalan hanya untuk menggapai ridho Allah. Janganlah niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan dunia semata. Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia juga akan engkau raih. Yakinlah hal ini!

Semoga Allah selalu memperbaiki aqidah dan setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala wa alihi wa shohbihi wa sallam. [Muhammad Abduh Tuasikal]

Ini 3 Macam Niat saat Beramal, Yang Manakah Kita?

NIAT seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlas, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)

 

INILAH MOZAIK

Nilai Amal Sebanding dengan Niat

AMAL atau perbuatan dapat bernilai ibadah apabila pelakunya mendasarkan amal tersebut dengan niat. Pun meninggalkan suatu perbuatan tercela akan menghasilkan pahala bila ia menyertakan niat karena Allah dalam meninggalkan perbuatan tercela tersebut. Alhasil, semua amal atau perbuatan kita sehari-hari dapat menghasilkan pahala, bukan?

Kita melakukan suatu hal yang terpuji dengan niat karena Allah. Kita juga meninggalkan perbuatan tercela karena Allah. Dan kita melakukan perbuatan mubah dengan menyertakan niat mencari ridha Allah. Maka, alhamdulillah, segala laku perbuatan kita mendatangkan pahala.

Maka kita dalam sehari-hari dapat mendulang pahala dari niat kita. Padahal tidak dalam 24 jam kita shalat tanpa henti, bukan? Atau tidak dalam 24 jam kita terus menerus membaca Al Quran, bukan? Tidak juga sedekah atau yang lain. Apapun halnya yang kita kerjakan meliputi amal yang disyariatkan dan yang mubah, maka kita berpeluang besar mendapatkan pahala Allah.

Imam Ibnu Hajar rahimahullah pernah berkata, “Yang benar adalah, meninggalkan suatu amalan tanpa disertai niat tidak akan mendapatkan pahala. Anda hanya mendapat pahala bila Anda secara sadar meninggalkan hal tersebut. Maka barangsiapa di harinya tidak terbetik sama sekali tentang suatu amal maksiat, tentu tidak sama dengan orang yang mengingatnya, lalu ia menahan diri dari perbuatan maksiat tersebut karena takut kepada Allah”.

Perkataan Imam Ibnu Hajar mengarahkan pada makna bahwa sangat penting menghadirkan niat baik (karena Allah) dalam setiap aktifitas kita. Tanpa perlu waktu dan tenaga berlebih, kita dapat dengan mudah mendulang pahala.

Allahu Alam